Minggu, 14 Agustus 2011

UU No. 10 Tahun 2008 tentang 30% Keterwakilan Perempuan Hanya Sebuah Simulasi Politik


Oleh:

SABUR MS, S.H.I, M.H [1]




Keterwakilan 30% perempuan, sebagaimana di sebutkan dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 57 ayat (3) masih banya mengandung misteri politik yang belum banyak di akses dan terakses oleh kalangan perempuan. Misteri dalam UU tersebut, tentunya, tidak lepas adanya konspirasi politik, sekedar, untuk menutupi wajah para politisi laki-laki yang masih keberatan untuk melepaskan dominasinya di panggung politik atas perempuan. Untuk menutupi wajah aslinya itu dibuatlah Pasal 57 ayat (3) sebagai salah satu dasar dalam memberikan statement politik bahwa benar-benar telah mengakomodasi tuntutan adanya keterwakilan perempuan. Benarkah UU No. 10 Tahun 2008 telah mengakomodir 30% keterwakilan perempuan di parlemen? Dalam hal ini dapat di bedakan antara keterwakilan 30% perempuan di parlemen dan keterwakilan 30% perempuan di UU.

Keterwakilan 30% Perempuan  Sebatas dalam UU
Asumsi keterwakilan 30% perempuan di Parlemen tidak sepenuhnya benar, asumsi tersebut lebih tepatnya bahwa keterwakilan 30% perempuan hanya baru sebatas di UU. Perspektif ini dapat di simak bunyi UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Dalam UU tersebut Bagian Ketiga Pasal 57 ayat (3) KPU Kabupaten / Kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD Kabupaten / Kota dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnyaa 30% (tiga persepuluh) keterwakilan perempuan.
Jadi, apakah benar 30% keterwakilan perempuan sudah terakomudir? Benar dan tidaknya tergantung sejauh mana masyarakat mampu mengungkap substansi misteri dari UU tersebut. Sebab kalau di asumsikan bahwa keberadaan Pasal  57 ayat (3) bukanlah representasi dari keterwakilan 30% perempuan, nyatanya Pasal 57 ayat (3) tersebut, seakan, bersifat inperatif atau mempunyai daya paksa pada semua partai yang tidak memenuhi 30% perempuan dari calon yang diajukan. Lalu dimana letak substansi Pasal 57 ayat (3) dalam mengakomudir keterwakilan perempuan? Dan sejauh mana sifat inperatif yang dimiliki Pasal 57 ayat (3) tersebut?
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan diatas, mari kita simak potongan-potongan Pasal 57 ayat (3) sebgai salah satu referensi bahwa para pembuat UU tidak sepenuh hati untuk mengakomodir peran perempuan di parlemen.
.... KPU Kabupaten / Kota melakukan verifikasi terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPRD Kabupaten / Kota.... kalau di cermati bunyi potongan Pasal 57 ayat (3) hanya memberi tugas kepada KPU Kabupaten / Kota terkait kelengkapan administrasi para calon, hal tersebut tidak ada bedanya dengan ketentuan UU yang menerangkan tentang tugas KPU. Kemudian sifat inperatif yang termuat paada Pasal 57 ayat (3) adalah: ................ dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnyaa 30% (tiga persepuluh) keterwakilan perempuan. Dalam potongan pasal ini memang KPU mempunyai peluang untuk mengembalikan atau menolak para calon dari partai politik apabila keterwakilan perempuan masih di bawah 30%. Hal ini dapat dilihat juga bunyi Pasal 58 ayat (2) Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus persen) keterwakilan perempuan, KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten / Kota memberi kesempatan kepada Partai Politik untuk memperbaiki daftar calon tersebut. Kesempatan untuk memperbaiki sebagaimana disebutkan oleh Pasal 58 ayat (2) merupakan proses tindaklanjut dari ketentuan ayat (1) ..............  KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten / Kota mengembalikan dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten / Kota kepada Partai Politik peserta pemilu. Artinya secara substantif Pasal 57 ayat (3) dan Pasal 58 ayat (1 dan 2) masih setengah-setengah dalam memberikan wewenang kepada KPU, karena tidak ada kata-kata menolak atau membatalkan calon dari partai politik yang tidak memenuhi 30% keterwakilan perempuan. Oleh sebab itu, tidak cukup kuat bagi KPU untuk membatalkan bakal calon dari salah satu Partai peserta pemilu yang tidak memenuhi syarat 30% keterwakilan perempuan. Itulah kehebatan para pembuat UU sehingga lebih tepatnya, keberadaan Pasal tersebut penuh misteri yang sepertinya sengaja diciptakan untuk dingambangkan sehingga dengan mudah menjebak opini masyarakat demi kepentingan politisi kaum adam.
Lebih lanjut, kalau memang pembuat UU konsisten terhadap komitmen 30% keterwakilan perempuan di parlemen, penulis mengusulkan setidaknya Pasal 57 di tambah dengan ayat (4) yang menyatakan: KPU dapat menganulir para calon legaslatif dari partai peserta pemilu bila tidak terpenuhinya 30% keterwakilan perempuan di nomor urut jadi. Mengapa demikian? Kalau tidak begitu, perempuan hanya dijadikan syarat administrasi belaka, artinya secara administaritif 30% keterwakilan perempuan akan terpenuhi akan tetapi untuk 30% keterwakilan perempuan di parlemen sangat mustahil terakomudir, karena mayoritas calon dari perempuan akan menempati nomor urut sandal.
Jadi wacana adanya keterwakilan 30% perempuan baru sebatas retorika politik yang di muat kedalam UU, sehingga dalam konteks politik dan perspektif hukum semua masih sama-sama ngambang, orientasi keberpihakannya pada keterwakilan perempuan di parlemen masih kabur dan butuh waktu lama untuk menyadarkan para pembuat UU. Baagaimana cara menyadarkan mereka? Selama para Ketua Umum Partai di kuasai kaum Adam, selama itu pula dominasi politik kaum Adam pada kaum Hawa. Namun masih ada lubang untuk mengimbangi dominasi politik kaum Adam, salah satunya adalah politisi perempuan harus lebih kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang kontraproduktif sehingga keberadaannya dapat diperhitungkan.

Keterwakilan 30% Perempuan Hanya Simulasi Politik
Seperti disebutkan diatas, keberadaan wacana keterwakilan 30% perempuan baru sebatas simulasi politik. Simulasi dalam konteks bahwa para pembuat UU seakan ingin memberikan tontonan terhadap keberpihakaannya pada keterwakilan perempuan, namun pada sisi lain substansi yang mereka tontonkan tidak ubahnya sebuah permainan yang telah mengaburkan substansi perjuangan itu sendiri. Sebab pada sisi lain, mekanisme nomor urut masih menjadi sebuah mekanisme partai dalam menempatkan kader yang akan duduk di parlemen. Inilah yang akan menjadi krikil bagi keterwakilan perempuan di parlemen.
Tiadanya sinkronisasi antara Pasal 57 ayat (3) dengan sistem nomor urut sudah dapat di analisis bahwa pada akhirnya kaum perempuan hanya akan dijadikan sebuah simbol politik atau foto-foto yang terpampang manis namun tidak dapat berbuat banyak terhadap wacana-wacana politik yang melibatkan dirinya. Ini mencerminkan bagaimana nasip sesunggunya para politisi perempuan dikancah perpolitikan nasional yang selalu dijadikan iklan-iklan politik kaum laki-laki. Politisasi ini sama halnya dengan mengekploitasi perempuan, artinya eksploitasi perempuan, sebagaimana di ributkan selama ini, tidak hanya diasumsikan sebatas menampilkan foto-foto yang berbau pornografi maupun pornoaksi, selebihnya Pasal 57 ayat (3) seharusnya tidak di cantumkan dalam UU No. 10 Tahun 2008, mengingat substansi pasal tersebut merupakan salah satu bentuk eksploitasi perempuan dalam konteks perpolitikan. Tapi apa bedanya mengeksploitasi perempuan dalam konteks bisnis dan politik? Penulis berpendapat bahwa kedua bentuk ekploitasi tersebut hampir tidak ada dinding pemisah, kedua-duanya sama-sama berorientasi mencari keuntungan dan sama-sama ”menjual” orang untuk kepentingan diri sendiri.
Dengan demikian, tidak ada alasan kuat bagi siapapun untuk memarjinalisasi perempuan dalam pentas politik dengan dalih agama maupun dalih-dalih yang lain. Politik adalah masalah kebangsaan yang memerlukan keterlibatan semua elemen bangsa dengan konsep politik kesetaraan dan keadilan terhadap peran-peran politik secara proporsional dan profesional tanpa harus bias gender. Untuk itu, setidaknya semua pihak jangan menghalang-halangi dan memberi kesempatan agar para politis perempuan dapat mengaplikasikan kemampuan yang sebenarnya. Sadar atau tidak, dominasi politisi laki-laki selama perjalanan sejarah perpolitikan nasional, disitupula kegagalan dalam memecahkan persoalan bangsa selalu menghiasi negara ini. Fakta tesebut semestinya dijadikan sebuah referensi bagaimana potensi besar yang dimiliki kaum perempuan perlu diberdayakan sebagai salah satu wujud perubahan terhadap paradigma partai dalam merekrut kader-kader terbaiknya.
Kendati demikian, perempuan jangan hanya bisa menerima apa adanya, terutama yang ada di parlemen, perempuan dituntut berbuat lebih untuk meraih hak-hak politiknya yang selama ini hanya sebatas dijadikan wacana dan bahan eksploitasi demi kepentingan politik laik-laki. Penguatan peran dan penampakan eksistensi merupakan sebuah keharusan agar kontrubusi mereka dapat dijadikan referensi untuk dapat menuntut hak politik sebagaimana disebutkan Pasal 57 ayat (3). Yang menjadi pertanyan adalah, sejauh mana eksistensi politisi perempuan ketika berada di Parlemen? Entah karena jumlahnya terlalu sedikit atau memang SDM yang dimiliki kalah bersaing dengan politisi laki-laki, namun peranan perempuan yang ada di parlemen seakan tetutup debu, artinya peran mereka masih belum tampak.
Untuk itu, perempuan tidak hanya bisa menuntuk hak namun lemah dalam tatanan konsep. Untuk itu, intlektualitas kaum perempuan harus dapat pula mengimbangi intlektualitas yang dimiliki kaum laki-laki, sehingga ada keseimbangan antara hak dan kapasitas yang dimilikinya. Hal ini penting untuk diperhatikan agar nantinya keberadaan kaum perempuan tidak sekedar untuk memenuhi keterwakilan 30% di parlemen, melainkan keberadaan dan pemikirannya memang dirasa diperlukan dalam memecahkan berbagai permasalahan, mulai dari aspek ekonomi, sosial, budaya, hukum dan permasalahan lain yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan Negara.




[1]. Penulis adalah: Alumni Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Malang,

Tidak ada komentar: