Jumat, 12 Agustus 2011

JOGYAKARTA DAN DEMOKRASI


Oleh: SABUR, S.HI, MH[1]



“Biarlah nanti sejarah yang akan berbicara……..”

Kata-kata ini sering diucapkan oleh Gus Dur ketika kebijakan pemerintahanya dikritik oleh public. Beliau juga kerap berpesan agar Bangsa ini jangan sampai melupakan sejarah berdirinya Negara ini.  Pesan ini sepintas sangat sederhana namun tidak bisa dikatakan hanya sebatas analisis perspektif belaka. Sebab pesan beliau kini telah menjadi sebuah rialitas bagaimana pemimpin Bangsa telah terhanyut oleh pragmatisme politik dengan membenturkan Jogyakarta dengan UUD 45 Pasal 18 ayat (4) yang ditafsiri sebagai bentuk “penolakan” adanya system “Monarki” di Indonesia. Benarkah Jogyakarta masih relevan dikatakan “Monarki”?
Jogya: Spektrum Sejarah NKRI
Memahami Jogya tentu harus memahami sejarah serta perannya dalam turut serta mewujudkan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Membenturkan Jogya dengan Demokrasi dalam rialitas perkembangan dunia adalah suatu kewajaran bila dilandasi dengan cara yang demokratis dan tidak dipaksakan. Akan tetapi, kewajaran ini tentunya tidak bisa menghilangkan spectrum sejarah yang melekat pada Jogya yang berakibat hilangnya substansi keadilan itu sendiri. Untuk tetap menghasilkan substansi keadilan tersebut, pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono harus dimulai dengan keikhlasan dalam melihat Jogya seutuhnya sehingga analisis dan perspektif “Monarki” yang distempelkan terhadap system pemerintahan Jogya dapat benar-benar obyektif sesuai dengan “ruh” UUD 45 sebagai jangkar hukum Negara ini. Akan tetapi pada kenyataannya, asumsi Jogya sebagai system “Monarki” lebih cenderung terhadap rivalitas politik (Golkar vs Demokrat). Hal ini karena asumsi Jogya sebagai “Monarki” tidak dilandasi dengan argumentasi hukum dan sejarah yang kuat sehingga mayoritas Para Guru Besar Hukum Tata Negara menolak argumentasi pemerintah. Artinya pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono lebih cenderung memaksakan kehendak dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk menghilangkan Jogya sebagai satu-satunya keistimewaan peninggalan sejarah Negara ini. Padahal tidak ada urgensinya “mengoyak” Jogya tanpa dilandasi hukum yang kuat.!!
Membenturkan dan mempersoalkan “legalitas” system Jogya dengan Demokrasi multi perspektif sama halnya dengan mengabaikan “ruh” UUD 45 Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Yang mana sampai saat ini masih mengakui keistimewaan dan ke khususan sebuah provinsi di Negara ini. Keberadaan Pasal 18 ayat (4) dan Pasal 18B ayat (1) UUD 45 merupakan satu kesatuan yang saling menyempurnakan terhadap cerminan sejarah berdirinya Negara Indonesia yang memiliki ciri khas tersendiri, namun demikian keduanya memiliki asas yang berbeda iaitu asas lex generalis (Pasal 18 ayat (4)) dan asas lex spesialis (Pasal 18B ayat (1)) yang harus dipahami secara berbeda pula. Kendati demikian, penulis sadari peluang untuk mempolitisasi Pasal 18B ayat (1) masih cukub besar dengan memanfaatkan celah pada kalimat: .......... yang diatur dengan Undang-undang.  
UUD 45 Masih Mengakui Jogya
Perjalanan Bangsa ini telah melahirkan dinamika demokrasi yang membawa dampak terhadap sejarah perpolitikan Bangsa ini. Namun pada akhirnya telah melahirkan sebuah konsensus bersama bahwa Negara ini mendeklarasikan sebagai Negara hukum berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demokrasi yang telah disebutkan dalam UUD 45 Pasal 18 ayat (4) sebagai salah satu contoh konsensus sebagai upaya memberikan format ”keterpaksaan” terbaik dari jenis system yang dianggap kurang baik, akan tetapi tentunya tidak harus menghilangkan nilai-nilai sejarah Bangsa ini yang masih eksis dan di akui oleh Hukum. Hal ini telah di sebutkan dalam UUD 45 Pasal 18B ayat (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. Pasal 18B ayat (1) seakan menegaskan bahwa Indonesia ini menganut system Desentralisasi Asimetris seperti yang terjadi di Jogya, Aceh dan DKI Jakarta.  Ketiganya mempunyai ciri tersendiri sehingga ke khususan dan keistimewaan provinsi tersebut tidak bisa hanya sekedar ditafsiri menurut sahwat politik sesaat. Seperti Jogya letak ke Istimewaannya melekat pada diri Sultan. Oleh sebab itu, pola tafsir terhadap UUD 45 Pasal 18 ayat (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Dan Pasal 18B ayat (1): ”..............yang diatur dengan Undang-undang” seharusnya melihat pola demokrasi yang berlaku pada Kesultanan Jogya sehingga tidak terkesan adanya kesengajaan membenturkan Jogya dengan Demokrasi. Baik Pasal 18 dan Pasal 18B, menurut penulis, semuanya mengakui terhadap system yang tengah dikehendaki rakyat Jogya. Sebab system tersebut masih dalam koridor hukum sehingga masuk dalam konteks Demokrasi Konstitusionil Asimitris. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, menjelaskan bahwa Indonesia menganut sistem desentralisasi yang asimetris. "Sehingga tidak mutlak seragam, ada variasi di sana-sini,”. "Yogyakarta istimewa secara eksekutif, itu saja”. Dalam format keistimewaan secara eksekutif, Gubernur DIY tidak dipilih lewat pemilihan umum, melainkan berasal dari Kesultanan Yogyakarta. Keistimewaan ini merupakan produk sejarah dan tidak pernah jadi masalah selama 65 tahun Indonesia berdiri.[2] Standar ganda pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono terhadap penafsiran UUD 45 Pasal 18 ayat (4) sangat irasional. Sebab disatu sisi Susilo Bambang Yudoyono mengajukan Revisi UU Pemda yang memuat klausul Pemilihan Gubernur cukup dilaksanakan di gedung dewan, disisi lain menghendaki RUU Keistimewaan Jogya Gubernur Yogya agar dipilih secara langsung oleh Rakyat.
Jadi pemaksaan sahwat politik sesaat pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono terhadap format Keistimewaan Jogyakarta akan berdampak terhadap pemerintahan Jogya itu sendiri. Sebab format keistimewaan Jagya yang di usulkan pemerintah dalam RUU kurang memiliki jangkar hukum yang kuat sehingga apabila hal tersebut lolos di DPR akan mudah di mentahkan oleh Mahkamah Konstitusi. Keyakinan penulis ini dilatar belakangi oleh paradigma baru penegakan hukum oleh Mahkamah Konstitusi yang bertitik pada adanya substansi keadilan. Dengan demikian, penulis berharap pemerintah dan DPR segera sadar dan terbuka akan konsekwensi stabilitas politik yang akan terjadi sehingga tidak perlu memaksakan sahwat politik pragmatis-nya. Karena masih banyak yang perlu menjadi prioritas pemerintah daripada sekedar mempermasalahkan Jogya yang sedang kondusif.


[1]. Penulis adalah: Alumni Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Malang, Koordinator Lembaga Advokasi Hukum Malang dan Pengajar Sejarah di salah satu Sekolah Swasta

Tidak ada komentar: