Jumat, 12 Agustus 2011

REKONSILIASI DI TENGAH PESTA DEMOKRASI Kal-Bar




Oleh:
SABUR MS, S.H.I, M.H
Ketua Umum ISKAB Kab. Malang
Koordinator Lembaga Advokasi Hukum Malang,  
Sekretaris PAC ANSOR Gondanglegi


Pada hari minggu, 5 Agustus 2007 di aula kantor Jiwasraya Kota Malang telah berkumpul putra-putra daerah yang diwadahi oleh Ikatan Keluarga Kalimantan Barat (IKKB) yang dihadiri oleh perwakilan Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Kalimantan Barat (KPMKB) dan Pengurus Daerah Ikatan Santri Kalimantan Barat (ISKAB) Kabupaten Malang (beranggotakan 3000 lebih santri asal Kal-Bar yang tersebar diberbagai Pesantren di Kabupaten Malang). Memang dalam acara pertemuan tersebut agenda utamanya adalah masalah halal bihalal, namun ada sisipan keprihatinan oleh salah satu tokoh Kal-Bar yang ada di malang yaitu bapak Drs. Idris Manaf (Regional Manager Jiwasraya) terkait situasi politik menjelang PILGUB Kal-Bar yang semakin mendekat. Keprihatinan tersebut dapat penulis maklumi mengingat ditengah transisi demokrasi masih rentan keberadaan masyarakat untuk di kotak-kotak dalam suatu kelompok kecil. Namun kekhawatiran ini semua tergantung bagaimana para elit politik memainkan perannya sebagai tokoh.

Bersatunya Putra Daerah
Terlepas dari itu masyarakat Kal-Bar tak lama lagi akan menentukan masa depan melalui pemilihan kepala daerah, pemilihan orang nomor 1 Kal-Bar ini tentunya banyak yang berharap tidak hanya sebatas demokrasi serimonial, atau demokrasi cangkruaan, selebihnya terselenggaranya pesta ini pada akhirnya mampu memberi pembenahan dalam segala sektor kehidupan masyarakat baik itu prilaku, budaya dan pemahaman masyarakat tentang arti kehidupan berbangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di satu sisi, pesta demokrasi ini pula dikatakan sebagai babak baru dalam menatap dan melangkah Kal-Bar untuk 5 tahun kedepan yang lebih maju dalam berbagai aspek, terutama sempitnya ruang gerak perekonomian masyarakat, lamahnya penegakkan hukum dan pendidikan yang masih tertinggal jauh dengan provinsi lain terutama dengan Malang. Tiga macam fenomena ini akan menjadi agenda besar bagi pemerintahan yang kelak akan di percaya oleh masyarakat. Kendati demikian tentunya kurang fair apabila fenomena tersebut hanya dibebankan kepada seorang kepala daerah sementara komponen yang lain, termasuk masyarakat, apektasi terhadap fenomena sosial dan ketata negaraan yang ada. Untuk itu perlu adanya sinergi antara kepentingan masyarakat dan pemerintah, artinya kedua unsur dalam negara tersebut agar lebih aktif menjalin komunikasi yang lebih etik bukan komunikasi musiman yang kini menjadi kultur politisi kita selama ini. Masyarakat hanya dijadikan obyek untuk bisa menghidupi mereka dengan meraih jabatan dan kedudukan, setelah itu, dalam jangka 4,5 tahun mereka akan duduk manis sambil bernyanyi, baru akan menjelang Pemilu atau pemilihan-pemilihan seperti PILKADA baik pemilihan Bupati, Wali Kota dan Gubernur mereka berlomba-lomba mengelu-elukan masyarakat.
Disharmonisasi antar sesama warga dan putra daerah sangat disayangkan. Sebagai bagian unsur terpenting, semestinya antar warga dan putra daerah bahu membahu bagimana Kal-Bar kedepan lebih baik mengejar ketinggalan dengan provinsi-provinsi lain sehingga program-program pemerintah dapat berjalan sesuai dengan target. Untuk itu, merupakan harga mati, ditengah akan dilaksanakannya pesta demokrasi, menyatunya semua komponen warga dan putra daerah dalam satu visi-misi membangun kehidupn yng kondusif. Bukan suatu yang sulit untuk diwujudkan apabila semua unsur mau dan mampu menghilangkan atau menaggalkan interes individualistik maupun calss tertentu yang selama ini menghantui semua unsur yang ada. Jadikanlah semua pengalaman masa lalu sebagai sejarah, kenangan, renungan dan bahan intropeksi diri guna menatap kepada sebuah arena yang dipenuhi cahaya, senyum, canda dan tawa, dan indahnya hidup berdampingan laksana disebuah rumah tangga susah payah selalu menjadi beban bersama. Semoga harapan dan mimpi ini tidak hanya terjadi dalam angan-angan penulis, akan tetapi dapat terwujud pada kehidupan masyarakat Kal-Bar yang sesungguhnya.
Dengan demikian, menjelang akan dilaksanakannya peta demokrasi yang membuat tensi politik cukup tinggi. Para aktor-aktor politik harus mampu memerankan politik sebagai ajang rekonsiliasi semua unsur warga dan putra daerah yang ada. Suguhkan mereka pendidikan politik kebangsaan, karena itulah sebenarnya tujuan politik, bukan malah semakin mengkotak-kotak masyarakat yang kini mulai menata kehidupan baru dengan pemahaman yang lebih maju guna melepaskan diri dari belenggu pemahaman etnisme yang selama ini mempenjara rasionalisasi wawasan kebangsaan dan nasionalisme mereka. Kita harus berani mengatakan bahwa asumsi tentang putra daerah tidak terkait dengan etnisme, istilah pendatang, atau istilah lain yang tidak sesuai dengan paham nasionalisme, semua yang terdaftar sebagai warga Kal-Bar adalah putra daerah yang mempunyai tanggung jawab yang sama mengenai bagaimana nasib Kal-Bar kedepan, baik itu suku dayak, melayu, bugis, jawa, madura dan suku-suku lain yang ada di Kal-Bar adalah putra daerah yang tidak mungkin dipisahkan dari nasib Kal-Bar yang akan datang.

Taring hukum tumpul?
Sebagi salah satu instrumen terpenting dalam sebuah negara hukum adalah menegakkan hukum secara imparsial, tidak memihak pada kelompok atu etnis tertentu, melainkan harus dilakukan pemberlakuan hukum secara merata tanpa terbelenggu oleh etnis maupun kelompok tertentu. Sebab, salah satu unsur timbulnya fenomena sosial di masyarakat karena tumpulnya taring hukum pada kelompok tertentu dan berfungsinya taring hukum pada kelimpok tertentu pula. Akhirnya, deskripsi ini akan menjadi kecurigaan dan kecemburuan  antara sesama masyarakat. Nah inilah realitas yang terjadi di masyarakat, khususnya, di Kal-Bar. Bermula dari inilah akhirnya yang berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang berkuasa. Tentunya hal ini kurang cukup baik dan menguntungkan bagi semua lapisan yang ada di Kal-Bar, terutama keamanan, politik dan perekonomian masyarakat akan menjadi taruhan yang harus di bayar mahal. Regional ekonami terkavling-kavling, disemua regional akan terbentuk kerajaan-kerajaan kecil di masyarakat, akhirnya perputaran ekonomi berjalan disebuah ruang sempit yang mematikan efektifitas perkembangan ekonomi mikro, pengangguran semakin tidak terkendali, kemiskinan kian menjadi-jadi, anak putus sekolah semakin banyak, buta huruf semakin tak tertangani.
Kepincangan terhadap penegakan hukum akan berimplikasi terhadap pola pikir masyarakat yang cenderung meruncing atas kepercayaan kepada lembaga dan aparat penegak hukum. Parsialisme ini bukan lagi sebuah wacana melainkan fakta ini semakin mencolok mulai terjadinya kasus 1997 yang sampai sekarang belum ada kepastian hukum. Semua seakan dibiarkan terlonta-lonta, membiarkan pelangaran HAM mengakar dan anarkisme di legalkan. Tentunya bukanlah harapan para pendiri negara ini yang susah payah menyatukan berbagi daerah dan etnis dalam wadah Negara Repoblik Indonesia, begitu juga bukanlah harapan mayoritas warga dan putra daerah sehingga Kal-Bar menjadi provinsi yang tertinggal!. Semua itu mempunyai relevansi dengan aparat penegak hukum sejauh mana momitmen mereka terhadap penegakan hukum yang menjadi salah satu tulang punggung negara ini. Untuk itu kurang relevan bila semua fenomina sosial yang terjadi justru masyarakat dijadikan kambing hitam. Masyarakat hanya meminta keadilan hukum, perlakuan semua di depah hukum. Mereka juga menginginkan aparat penegak hukum tidak hanya pandai berhias diri dengan mempermainkan pasal-pasal, sementara kesabaran masyarakat sudah kritis.
Oleh sebab itu, sebagai putra daerah, penulis mengajak kepada semua unsur masyarakat Kal-Bar untuk bersama-sama membangun Kal-Bar kedepan yang lebih baik. Jangan lagi kita mau di kotak oleh kepentingan sesaat para elit politik, kita harus mampu menunjukkan jati diri sebagi kaum demokrat sejati yang tak alergi terhadap perbedaan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, kita jauhi segala pemahaman etnis dan asal daerah, kita adalah satu putra daerah yang mempunyai visi dan misi membangun Kal-Bar agar menjadi kota yang dapat dijadikan contoh, bukan menjadi gunjingan atau sorotan masyarakat Internasional karena adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia yang belum tertangani.
Apabila taring hukum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, maka program-program seperti peningkatan ekonomi masyarat akan mendapat apresiasi positif dari para investor untuk melakukan investasi, konstelasi politik akan berjalan seimbang, masyarakat merasa aman, tentram dalam menjalankan segala aktifitas ekonomi, tidak merasa dikejar-kejar oleh rasa takut sehingga kehidupan sosial ekonomi masyarakat dapat terpantau perkembangan dan kendala-kendala yang dihadapinya. Sebab tanpa dukungan adanya kepastian hukum, sangat mustahil kepercayaan dari investor dan masyarakat sendiri akan tumbuh kepada pemerintah daerah. Seperti korupsi, calo-calo diberbagai instansi pemerintah dibiarkan berkembang dan memeras masyarakat. Hal ini akan mambawa harga yang amat mahal sehingga berimplikasi terhadap pola hidup, pola pikir, dan pola-pola (negatif) lain yang seharusnya tidak perlu terjadi pada masyarakat                          
Dengan demikian,  maka diperlukan kesadaran semua komponen masyarakat untuk merefleksikan kembali arti Bhineka Tunggal Ika, wawasan kebangsaan dan paham pluralisme yang selalau diserukan oleh                      KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai bapak bangsa Indonesia.





Tidak ada komentar: