Selasa, 23 Agustus 2011

PANDANGAN ISLAM TERHADAP POLIGAMI



Oleh:
SABUR MS, S.H.I., M.H



Eksistensi hukum poligami dalam Islam baru-baru ini mendapat kritikan tajam dari sebagian msyarakat negeri ini. Kritikan bias dan pragmatik itu otentik dengan kritikan atau cibiran orang-orang barat yang nasrani. Padahal poligami tidak lepas dari akar sejarah yang cukup panjang, sepanjang sejarah peradaban manusia itu sendiri. Perspektif bias yang kerap terpublikasikasi tentang poligami lebih cendrung mengedepan pola fikir pragmatik dari pada mengembangan pola fikir substantif secara obyektif. Pola fikir pragmatik sebagian masyarakat tentang poligami masih menyisakan segudang tanda tanya tentang konkritisasi pemahaman mereka mengenai konsep poligami dalam ajaran Islam. Hal ini sangat menyayangkan mengingat semakin banyaknya ke “alergian” masyarakat untuk mempelajari ajaran Islam, justru semakin banyak yang mengkritisi ajaran Islam.
Dengan demikian, “kecemburuan” sebagian masyarakat terhadap konsep poligami sungguh spekulatif dan propokatif, mengingat eksistensi dari konsep poligami bukan hanya didasarkan kepada pertimbangn kepuasan seks belaka, melainkan pertimbangan-pertimbangan manusiawi yang sangat penting, baik secara individual maupun secara sosial. Sehingga , kendati dengan batasan-batasan, Islam masih memberi ruang bagi seorang muslim menikah dengan lebih dari satu perempuan. Sebenarnya, konsep poligami merupakan peninggalan bangsa-bangsa dan agama-agama terdahulu yang tidak mengenal jumlah batas maksimal. Kedatangn Islam ini hanya ingin memberikan batasan atau menata dalam kerangka menjaga dan melindungi hak dan harkat seorang perempuan. Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia dan realistis. Ia enghadapi rialita kehidupan ini dengan kearifan yang mendidik, menjauhkannya dari sikap melampaui batas sekaligus sikap ceroboh.1
Poligami Perspektif Islam
Keberadaan hukum poligami erat kaitannya dengan historis dan fenomina sosial pada masa sebelum Islam turun dan menertibkannya. Penertiban poligami oleh Islam dengan di turunkannya salah satu ayat al-Qur’an, yaitu surah An-Nisa”: 3.


“ Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat”
Kemudian yang menjadi perdebatan dimasyarakat ialah terkait dengan potongan ayat berupa:

“.. dua, tiga, empat. (An-Nisa’: 3)
Nikahilah wanita manapun yang kamu sukai selain dari anak yatim; jika kamu suka, boleh menikahi mereka dua orang; dan jika kamu suka, boleh tiga orang; dan jika kamu suka, boleh empat orang. Seperti pengertian yang terdapat di dalam Firman-Nya:


“Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat (Fatir: 1)
Maksudnya, dintara mereka ada yang mempunyai dua buah sayap, tiga buah sayap, dan pula yang mempunyai empat buah sayap. Akan tetapi, hal ini bukan berarti meniadakan adanya malaikat yang selain itu karena adanya dalil yang menunjukkan adanya selain itu.2
Tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama’ sepakat tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bermacam-macam. As-Sarakhsi mengatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani menyatakan lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya. As-Syafi’I juga mensyaratkan keadilan diantara para istri, dan menurutnya keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi istri di malam atau di siang hari.3 Namun, terkait dengan ketentuan surah An-Nisa’: 3, dan an-Nisa’: 129, Asghar menginterpretasikan bahwa sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Qur’an berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada maka al-Qur’an memperbolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus adil. Dengan mengutip at-Tabari, menurut Asghar, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.4
Batas dan Syarat Poligami
a. Batasan Poligami
Sebagaimana disebut diatas, sebelum Islam menertibkan berpoligami, poligami yang dilakukan tanpa batas sehingga seorang laki-laki bisa memiliki puluhan isrtri. Poligmi pada masa itu dapat disebut poligami tak terbatas yang berpotensi melanggar terhadap HAM. Lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah yang menentukan sepenuhnya siapa yang paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk memperoleh ke adilan. Oleh sebab itu, Islam tetap memperbolahkan poligami dengan batasan maksimal, yaitu empat orang istri. Gahilan Ats-Tsaqafi ketika masuk Islam, ia beristri sepuluh orang. Nabi saw pun berkata padanya,

“Pilihlah empat diantaranya dan tinggalkan sisanya”
Sedangkan perkawinan Rasulalloh saw dengan sembilan orang istri, ini adalah kekecualian yang Allah swt berikan kepada beliau untuk kebutuhan dakwah di masa hidupnya. Selain itu, juga kebutuhan umat kepada mereka setelah beliau meninggal.5
Imam Syafi’I menyatakan, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah saw yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah saw tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita.” Apa yang dikatan Imam Syafi’I ini telah disepakati dikalangan para ulama’, kecuali apa yang diriwayatkan dari seolongan ulama’ Syi’ah yang menyatakan, “Seorang lelaki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari empat orang sampai sembilan orang.” Sebagian dari kalangan Syi’ah ada yang mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan Rasulullah saw dalam hal menghimpun istri lebih banyak dari pada empat orang sampai sembilan orang wanita, seperti yang sebutkan di dalam hadis Sahih.
Adapun mengenai boleh menghimpun istri sebanyak sebelas orang, seperti yang disebutkan didalam lafaz hadis yang diketengahkan oleh Bukhori: Sesunggunya Imam Bukhori sendiri telah men- ta’liq (memberinya komentar). Telah diriwayatkan kepada kami, dari Anas, bahwa Rasulullah saw menikah dengan lima belas orang istri, sedangkan yang pernah beliau gauli hanya tiga belas orang, yang berkumpul dengan beliau ada sebelas orang, dan beliau wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri.6
Pada garis besarnya tersimpulkan bahwa seandainya di perbolehkan menghimpun lebih dari empat orang istri, niscaya Rasulullah saw memperbolehkan tetapnya semua istri Gailan yang sepuluh orang itu, mengingat mereka semua masuk Islam. Setelah Nabi saw memerintahkan Gailan memegang yang empat orang dan menceraikan yang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh memiliki istri lebih dari empat orang dengan alasan apapun.7
b. Syarat-syarat Poligami
Syarat yang dituntut Islam dari seorang muslim yang akan melakukan poligami adalah keyakinan dirinya bahwa bisa berlaku adil di antara dua istri atau istri-istrinya dalam hal makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian, dan nafkah. Barang siapa kurang yakin akan kemampuannya memenuhi hak-hak tersebut dengan seadil-adilnya, haramlah baginya menikah dengan lebih dari satu perempuan. Allah swt berfirman:


“Lalu jika kalian khawatir tak bisa berlaku adil, cukuplah satu saja.” (An-Nisa’: 3).
Karena itulah, Rasulullah saw dahulu membagi-bagi secara adil dan berkata;


“Ya Allah, inilah pembagianku sebatas apa yang aku miliki. Karena itu, janganlah Kau siksa aku dalam hal yang Engkau miliki dan tidak aku miliki.” (HR. Ashabus Sunan)
Maksudnya, jangan siksa karena hal yang tidak dimilikinya, menyangkut masalah hati dan kecendrungan perasaan secara khusus kepada salah satu diantara mereka.
Jika hendak bepergian, Beliau saw mengundi mereka. Barang siapa diantara mereka namanya muncul, dialah yang berhak ikut bersamanya. Beliau lakukan itu tidak lain kecuali untuk menghindari penyesalan dan demi kelegaan hati semua pihak.8
Jika disederhanakan, pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya di adopsi oleh ulama’-ulama’ fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki suami. Pertama, seorang lelaki yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.
Sementara, bila berkenaan dengan keadaan darurat yang memperbolehkan poligami, menurut Abdurahman setidaknya ada delapan keadaan. (1) Istri mengidap suatu penyakit yang membahayakan dan sulit disembuhkan. (2) Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tak dapat melahirkan. (3) Istri sakit ingatan. (4) Istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri. (5) Istri memiliki sifat buruk. (6) Istri minggat dari rumah. (7) Ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya. (8) Kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak menimbulkan kemudharatan didalam kehidupan dan pekerjaannya.9
Terkait setelah terjadi perang yang biasanya banyak menelan korban kaum laki-laki dan anak-anak muda. Dalam keadaan seperti itu, akan menjadi maslahat bagi masyarakat dan bagi perempuan itu sendiri, jika mereka menjadi madu, tidak menjadi perawan tua yang sepanjang hidupnya terhalang dari kehidupan rumah tangga dengan segala ketentraman, cinta, kasih, kehormatan, kesucian, dan nikmat keibuan, sementara panggilan fitrahnya juga selalu mendambakannya.
Ada satu diantara pilihan bagi perempuan yang jumlahnya berlebihan di banding dengan jumlah laki-laki:
1. Menghabiskan seluruh masa hidupnya dengan menelan kenyataan pahit tidak mendapat jodoh.
2. Melepaskan kendali, menjadi pemuas nafsu bagi laki-laki hidung belang yang diharamkan.
3. Atau menikah dengan seorang laki-laki beristri yang mampu memberi nafkah dan berlaku baik.
Tidak diragukan lagi, cara terakhir adalah alternatif yang adil, dan merupakan solusi terbaik terhadap permasalahan yang di hadapinya.10 Dan itulah keputusan hukum Islam.


“Dan siapakah yang lebih baik hukumnya di banding (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.” (Al-Qur'an-Maidah: 50).
Penutup.
Mencermati uraian serta konsep dan alasan yang di kemukakan oleh para Ualam’ dan intlektual Islam, dapat disimpulkan sebagi berikut:
1. Islam memperbolehkan kaum muslim yang memenuhi syarat berpoligami
2. Poligami dalam Islam suatu jawaban dalam menjaga hak-hak perempaun
3. Poligami bisa dilakukan bila sudah memenuhi syarat-syarat diatas
4. Poligami adalah warisan orang barat Nasrani yamg dilkukan tanpa batas






DAFTAR PUSTAKA




Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 4, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2000
Amiur Nuruddin, Dr. MA. H, Azhari Akmal Tarigan, Drs. M. Ag, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Kencana, Jakarta, 2004
Yusuf Qardawi, Syaikh. Dr. Halal Haram dalam Islam, Era Inter Media, 2000

Tidak ada komentar: