Minggu, 04 Agustus 2013

PUASA DALAM PERSPEKTIF SEHARI-HARI

Oleh: 
SABUR MS, S.H.I, M.H



Pendahuluan
Bulan Ramadlan adalah bulan yang identik dengan kewajiban berpuasa bagi umat Islam. Pemaknaan puasa bagi masyarakat cenderung diartikan sebuah perbuatan yang tidak makan dan minum pada siang hari. Pemaknaaan yang sangat sederhana ini merupakan pengertian umum yang telah mngakar disegenap lapisan masyarakat. Dengan pengertian puasa yang cukup sederhana tersebut, masyarakat muslim mudah mengimplementasikan bagaimana cara ketika tiba datangnya bulan Ramadlan. Semua tempat-tempat ibadah, musolla maupun masjid penuh dengan semarak lantunan kalamulloh sehingga suasana Ramadlan sangat indah dan menyejukan hati. Terlepas dari semua itu, apakah benar puasa hanya sekedar menahan lapar dan dahaga seperti yang diartikan oleh masyarakat pada umumnya?
Yang Tersisa dalam Puasa
Semua orang akan selalu bermimpi akan besarnya pahala yang akan diperoleh sehingga surga seakan sudah ada dihadapannya. Hal yang demikian bukan suatu kesalahan, berharap sesuatu yang ia lakukan merupakan suatu yang wajar termasuk menharap pahala bagi orang yang melakukan ibadah puasa. Akan tetapi, apakah harapan besar yang mereka angan-angankan sudah sesuai dengan hakikat substansi Ibadah Puasa tadi? Menahan makan dan minum hanya bagian dari substansi Ibadah Puasa. Tujuannya agar orang-orang yang mampu dapat merasakan bagaimanan susah payahnya menahan rasa lapar bagi orang miskin ketika tiada makanan yang akan dimakan. Hikmah dari hal tersebut diharapkan akan menimbulkan kepekaan sosial yang lebih mendalam bagi orang yang mampu secara ekonomi untuk berbagi dan peduli terhadap masyarakat yang lemah dalam segi ekonomi. Akan tetapi, melakukan ibadah puasa yang hanya bertumpu pada katahanan menahan lapar dan dahaga sangatlah tidak cukup bahkan masih jauh dari substansi Ibadah Puasa tersebut. Melainkan bagaimana nilai ibadah puasa yang dilakukan dapat memberi nilai yang lebih substantif, yaitu menahan diri dari segala bentuk perbuatan yang dapat membatalkan nilai atau pahala puasa tersebut. Menahan lapar dan dahaga hanya merupakan syarat formal yang dapat dikategorikan ibadah puasa itu sah. Syarat formal tidak akan memberi nilai lebih bila tidak diiringi dengan syarat materiil yang terkandungnya. Apa itu syarat materiil dalam puasa tersebut? Syarat materiil dalam melakukan ibadah puasa adalah bagaimana kita dapat menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat menghilangkan pahala puasa. Seperti contoh, kita disuruh mencangkul lahan tapi tidak diberi pahala apakah kita mau? Tentunya tidak.!!! Sekalipun melakukan ibadah puasa tidak sama dengan orang mencangkul, akan tetapi motivasi orang untuk melakukan ibadah puasa tidak hanya semata-mata karena adanya ancaman sisksaan dari Alloh melainkan pahala besar yang Alloh janjikan akan menjadi motivasi tersendiri. Hal itu tidak bisa dipungkiri. Dan hal tersebut memang janji Alloh kepada orang yang melakukannya yang tidak akan Alloh ingkari. Realitas ini memebrikan hikmah pada kita semua bahwa sebelum berharap pahala besar dari ibadah puasa yang dilakukan, baiknya intropeksi diri lebih jauh; apakah ibadah puasa kita sudah memenuhi syarat materiil(?) Bila ibadah puasa yang kita lakukan hanya bersifat serimonial (tidak makan dan tidak minum) maka kita akan terbak terhadap kesederhanaan pengertian tentang ibadah puasa itu sendiri. Kaitannya dengan hal ini, kita cenderung menjaga bagaimana perut tidak di isi bentuk makanan apapun. Tetapi kita tidak mampu menjaga kemurnian ibadah puasa dengan mengunci “mulut dan hati” untuk tidak berbuat hal-hal yang dilarang Alloh, seperti menggunjing, memfitnah, hasud, dengki dan lain sebagainya. Hal itulah yang cenderung kita lupakan, padahal perbuatan tersebut dapat menguburkan mimpi-mimpi yang diharapkannya. 
Puasa Seutuhnya
Oleh sebab itu, agar harapan dan mimpi yang diharapkan dalam melakukan Ibadah Puasa tersebut kita harus mampu mengartikan ibadah puasa secara konprehensif. Artinya puasa tidak hanya di identikan dengan menahan lapar dan dahaga, puasa merupakan bentuk amaliah yang diwajibkan untuk dilakukan oleh segenap unsur-unsur yang ada pada diri anggota badan manusia. Mulai dari mulut, mata, hati, tangan, kaki dan lain sebagainya. Artinya kita ketika melakukan ibadah puasa harus seutuhnya, sehingga semua unsur yang terdapat pada anggota badan saling mendukung antara satu sama yang lain. Seperti “mulut’ harus mendengar bagaimana rintihan “perut” karena menahan lapar sehingga “mulut” jangan sampai melakukan perbuatan maksiat yang dapat merusak nilai pahala ibadah puasa. Begitu juga unsur badan yang lain. Kesenergian inilah yang nantinya akan mendapat namanya “pahala puasa”, tanpa demikian kita hanya melakukan suatu perbuatan yang bersifat serimonial yang miskin dari nilai-nilai pahala ibadah puasa itu sendiri. Apa ini yang kita harapkan dalam ibadah puasa kita.!! Dalam Puasa ada dua bentuk kata mem-Batal-kan: 1. Membatalkan Puasa dan Pahalanya Membatalkan puasa dan pahalanya apabila kita melakukan tindakan yang memasukan makanan kedalam perut pada waktu siang. 2. Membatalkan nilai pahala Puasa Sementara membatalkan nilai pahala puasa adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang kita lakukan selama melakukan ibadah puasa. Seperti korupsi dll. Dua persepektif tersebut secara hukum ada pebedaannya, namun secara substansinya kedua bentuk kata “membatalkan” saling berkaitan sehingga tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling melengkapi, ibarat suami istri yang selalu saling “memberi” terhadap kekurangan masing-masing. Sungguh indah sekali bila hal tersebut bisa kita lakukan dan kita artikan secara baik sehingga kita akan mendapat dua keuntungan; keutungan dunia dan keuntungan akhirat. Ibadah Puasa terasa nikmat bila dapat kita lakukan seutuhnya. 
Penutup
Sebagai kata penutup, mari kita renungi apakah ibadah puasa yang kita lakukan selama sebulan ini telah memenuhi unsur darI syarat-syarat yang diuraikan diatas(?) Hanya kita sendirlah yang bisa menjawabnya secara objektif. Wallohu a’lam bissowaf.. Malang, 04 Agustus 2013.
Read More..

Senin, 08 Juli 2013

DIBALIK “INDAHNYA” PERSELINGKUHAN

Oleh: 
SABUR MS, S.H.I., S. Pd, M.H


Pendahuluan
Hari sabtu, 04 Mei 2013 jam 11:20 ada satu anggota msyarakat yang berkonsultasi kepada penulis mengenai Istrinya yang berselingkuh (sampai punya anak berusia 1 tahun) dengan laki-laki lain. Dia minta pendapat hukum agar lelaki selingkuhan istrinya di hukum. Sebelum mendatangi penulis, dia pernah melaporkan kasusnya tadi baik ke Polsek maupun ke Polres, tapi pihak kepolisian ternyata tersandra oleh KUHP Pasal 284 ayat (5) yang mensyaratkan agar pihak suami sah (pelapor) menceraikan istrinya terlebih dahulu. Akibatnya, pihak suami tadi tidak jadi melaporkan karena masih cinta dan sayang pada istrinya yang berselingkuh karena faktor adanya anak.
Penggalan kisah diatas merupakan kisah nyata yang dialami oleh seorang. Terlepas dari itu, penulis sempat kaget ketika laporannya ditolak oleh Polres Malang karena alasan KUHP Pasal 284 ayat (5) Dalam KUHP Pasal 284 ayat (5), memang menyebutkan bahwa ketika istri yang berselingkuh ketika mau dipidanakan harus diceraikan terlebih dahulu. Benarkah KUHP Pasal 284 ayat (5) berlaku generalis? Umat Islam Tidak Terikat KUH Perdata Pasal 27 Didalam hukum yang berkaitan dengan masalah Perkawinan ada dua jenis hukum yang mengatur, yaitu KUH Perdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua jenis hukum tersebut memiliki ruang dan cakupan yang berbeda. Perbedaan tersebut terkait dengan status agama seseorang, artinya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan lebih bersifat lex spesialis karena norma hukumnya hanya mengikat kepada orang-orang yang beragama Islam. Seentara KUH Perdata hanya belaku terhadap masyarakat yang beragama non Muslim. Hal ini di tegaskan dalam BAB XIV Ketentuan Penutup UU no. 1/974 Pasal 66 menyatakan bahwa: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diataur dalam KUH Perdata ................ sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.. Kedua jenis UU yang mengatur tentang perkawinan seharusnya betul-betul difahami oleh pihak penegak hukum khusunya Kepolisian. Karena perbedaan tersebut tidak hanya sebatas perbedaan nama/judul melainkan juga berkaitan dengan norma-norma hukum yang terkandung didalamnya. Insiden penolokan laporan masyarakat terkait dengan perselingkuhan sebagaimana diuraikan diatas dengan alasan KUHP Pasal 284 ayat (5) merupakan kesalahan besar. Dampaknya adalah akan terjadi “seakan-akan” telah terjadi kekosangan hukum dan terbengkalainya keadilan hukum dan rasa keadilan hukum dimasyarakat. Tentunya hal tersebut tidak perlu terjadi bila para penegak hukum kita dapat terus meningkatkan kwalitas keilmuannya dibidang hukum serta terus mengikuti perkembangan hukum yang ada. Bila kita fahami bersama, sebenarnya Pasal 66 telah mempertegas bahwa kaitan dengan permasalahan perkawinan, umat Islam hanya tunduk kepada UU no. 1/1974. Oleh sebab itu, sekalipun sama-sama menganut asas monogami, akan tetapi semenjak di undangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, umat Islam secara yuridis telah memiliki UU tersendiri yang kemudian disempurnakan dengan Kompilasi Hukum Islam. Konsekwensi dari lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, ketentuan Pasal 284 ayat (5) secara yuridis sudah tidak lagi bisa dikaitkan dengan seorang yang beragama Islam selama ketentuan ayat (5) ditafsikan sebuah keharusan tanpa dilihat substansi kandungan normanya. Karena ststus lex generalis-nya KUH Perdata tidak bisa menyentuh terhadap status lex spesialis yang dimiliki oleh UU No. 1/1974, terlebih keberadaan Pasal 284 ayat (1) tidak bisa dengan semerta-merta menjustifikasikan terhadap ayat (5) melainkan ayat (5) secara tidak langsung telah mengakui keberadaan norma yang terkandung dalam Pasal 66 UU n0. 1/1974. Rialtas ini dapat kita fahami kalimat dan kata demi kata yang termuat dalam Pasal 284 ayat (5). Untuk itu, bila kita cermati bunyi Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana sebenarnya tidak sekaku yang dibayangkan oleh sebagian penegak hukum kita, karena dalam susunan kalimatnya Pasal 284 ayat (5) didahului dengan kalimat: Jika bagi suami-istri berlaku Pasal 27 BW................................. Dengan demikian, apakah ummat Islam masih terikat dengan KUH Perdata? Tentu jawabannya TIDAK. Dalam UU No. 1/1974 Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya disebutkan oleh pasal 39 ayat (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa anatara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Alasan yang dimaksud diperjelaskan dalam Penjelasannya, diantaranya adalah salah satu pihak berbuat zina .................. Begitu juga yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116 bahwa norma perzinahan yang dilakukan oleh seorang yang telah berumah tangga hanya bersifat fakultatif. Jadi norma yang terkandung bila kita fahami secara benar hanya bersifat fakultatif, bukan inperatif karena tiadanya secara konkrit menjelaskan bahwa perbuatan zinah dapat membatalkan Pernikahan atau wajib bagi sang suami menceraikan istrinya. Artinya Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana tidak mengikat secara hukum sehingga perselingkuhan/perzinhan yang dilakukan oleh suami/istri tidak harus bercerai terlebih dahulu ketika kasus pidananya akan diproses secara hukum. Apakah tidak bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 284 Ayat (1) angka 1 huruf a, b dan angka 2 huruf b? Dimana dalam normanya masih menyebut keberadaan Pasal 27 KUH Perdata terkecuali ayat (1) angka 2 huruf a yang sengaja diperuntukan kepada seorang suami yang melakukan perzinahan. Kendati Pasal 284 ayat (1) masih sangat kental aromanya terhadap keberadaan Pasal 27 KUH Perdata, akan tetapi norma-norma yang terkandung dalam angka 1 dan 2 tidak bisa semerta-merta dapat menyingkirkan keberadaan Pasal 284 ayat (5). Artinya kekuatan norma hukum lebih mengikat yang terdapat dalam Pasal 284 ayat (5) ketimbang norma yang ada di sebutkan dalam angka 1 dan 2 Pasal 284 ayat (1). Sebab antara ayat (1) dan ayat (5) merupakan satu kesatuan norma yang terintegral dan tidak dapat dipahami secara parsial. Terkecuali apabila kandungan norma yang terdapat dalam Pasal 284 ayat (1,5) KUH Pidana bersifat alternatif sehingga antara ayat (1) dan (5) tidak mempunyai keterikan norma. Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa keberadaan ayat (5) dalam Pasal 284 KUH Pidana yang menitik beratkan perselingkuhan kepada KUH Perdata Pasal 27 tidak bisa secara hukum diajadikan sebuah alasan ditolaknya laporan perselingkuhan/perzinahan yang dilakukan seorang Istri. Sebab kendati asas perkawinan dalam UU no. 1/974 tentang Perkawinan Pasal 3 ayat (1) mempunyai kesamaan dengan KUH Perdata Pasal 27, akan tetapi UU no. 1/1974 melalui Pasal 66 secara inplisit telah menjelaskan tentang wilayah kewenangan masing-masing. Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana Bentuk Legalisasi Perzinahan? Justru Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana merupakan bentuk norma yang cukup anti terhadap perselingkuhan/perzinahan. Andai Pasal 284 KUH Pidana tidak menempatkan ayat (5) sebagai bagian dari Pasal 284, maka perbuatan zinah yang dilakukan oleh seorang muslimah akan sulit diproses secara pidana terlebih dalam pasal selanjutnya tidak menyinggung terhadap delik pidana yang secara spesifik mengaturnya. Dikatakan sulit untuk diproses, sebagaimana disebutkan diatas, berkaitan dengan keberadaan UU no. 1/1974 yang berfungsi sebagai leg spesialis bagi orang muslim. Artinya, seorang muslim hanya tunduk kepada UU no. 1/1974 bukan kepada KUH Perdata, sementara Pasal 284 Ayat (1) secara jelas lebih mengkaitkan delik perzinahan terhadap Pasal 27 KUH Perdata. Bila hal itu terjadi, maka yang akan terjadi adalah tiadanya kepastian hukum karena dianggap terjadi kekosongan hukum. Jangan sampai ada anggapan bahwa Pasal 284 justru sebagai penghalang seorang suami untuk mempertahankan cintanya kepada sang istri (yang berselingkuh/berzinah dengan dengan laki-laki lain). Karena pada prinsipnya, penegakan hukum sebagai salah satu upaya bagaimana menanamkan rasa jera, demikian juga seorang suami ketika ingin melaporkan delik pidana yang dilakukan sang istri kemungkinan hanya bentuk pendidikan dan pembelajaran agar dikemudian hari perbuatan zinah tidak diulangi lagi. Dalam konteks ilmu hukum dan HAM tentunya tidak ada yang perlu dipermasalahkan, berbeda dengan konteks sosial karena masih sangat kental dengan adat dan kebudayaan yang berlaku sehingga bila ada seorang istri berzinah dengan laki-laki lain maka solusinya cuma satu, yaitu “diwajibkan” bagi suami untuk mencerainya. Tentunya antara norma hukum dengan adat tidak semerta-merta bisa di adu atau dibenturkan begitu saja. Untuk itu, penulis berpendapat bahwa permasalahan Perselingkuhan/perzinahan yang dilakukan oleh seorang yang beragama Islam tidak ada kaitannya dengan ketentuan Pasal 27 KUH Perdata sebagaimana di sebutkan Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana. Demi kepastian hukum dan keadilam hukum dimasyarakat, seorang muslimah yang berumah tangga namun melakukan perzinahan dengan laki-laki lain tetap wajib tindak pidananya diproses oleh penegak hukum tanpa harus menunggu adanya perceraian bila seorang suami melaporkannya. Lalu Pasal yang mana untuk dijadikan dasar hukum? Penulis tetap berpendapat, Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana tetap bisa dijadikan dasar hukum untuk menjerat para pelaku perzinahan. Karena 284 ayat (5) KUH Pidana yang dengan jelas memberikan alternatif hukum, sementara pasal-pasal selanjutnya justru hanya berkaitan dengan perkawinan dibawah umur dan persetubuhan dengan paksa. Perlu Tingkatkan SDM Penegak Hukum Kita Selama ini, penegak hukum kita masih memposisikan diri sebagai corong UU, bukan sebagai pencipta rasa keadilan dimasyarakat. Peran corong hanya menyuarakan apa yang disuarakan dari yang ia baca. Dalam konteks kajian ilmiah, peran sebagai corong (murni) bagi seorang penegak hukum sangat tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu hukum yang semakin modern. Dinegara-negara maju seperti Eropa, substansi pengakan hukum bukanlah semata-mata terletak pada penegakan norma, melainkan sudah berjalan pada substansi penegakan hukum itu sendiri, yaitu penegakan keadilan dimasyarakat. Apakah di Indonesia belum mengarah kesana? Kalau kita pahami secara konprehenshif, UU Kehakiman sudah mengarahkan bagaimana penegakan hukum tidak hanya terjerat oleh bunyi sebuah norma, akan tetapi seorang hakim masih diberi kewenangan agar memutus sebuah kasus berdasarkan keyakinan-nya. Artinya ada keseimbangan antara ketentuan norma hukum dengan keyakinan seorang hakim, sehingga seorang hakim bisa melakukan ijtihad hukum apabila norma yang ada justru mendistorsi rasa keadilan dimasyarakat. Ijtihad hukum tentunya tidak hanya dimaknai sebagai kewenangan seorang Hakim, penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan juga harus melakukan juga sekalipun sifatnya masih permulaan. Karena demikian, semestinya semua unsur penegak hukum mampu menterjamahkan kekuasaan seorang hakim yang luar biasa tersebut sehingga tidak terjadi alasan-alasan yang justru akan mencederai keadilan masyarakat. Sangat aneh, bila sebuah negara hukum tapi masih ada sebuah kasus ditelantarkan karena semata-mata alasan norma hukum yang dilanggar kurang relevan. Contoh kasus diatas, apabila seorang suami tetap tidak mau menceraikan apakah lantas delik pidananya lalu dibiarkan? Hal ini yang akan menjadi benih tumbuhnya hukum rimba dimasyarakat. Para penegak hukum harus mempunyai keberanian melakukan diskresi baik polisi maupun kejaksaan, jangan terlalu kaku melihat dan menterjemahkan sebuah teks yang ada dalam UU. Akan tetapi bagaimana teks mati tersebut bisa hidup dengan pola interpretasi yang terintegratif sesuai dengan kaedah-kaedah ilmu hukum. Untuk mengantisipasi terjadinya main hukum sendiri oleh masyarakat, tidak ada alasan lain kecuali dengan meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM)nya dimasing-masing instansi penegakan hukum kita, mulai dari kepolisian, kejaksaan dan kehakiman termasuk anggota DPR sebagai pembuat norma hukum.
Read More..

Minggu, 03 Maret 2013

DUNIA PENDIDIKAN KITA TERKEPUNG OLEH WACANA 

Oleh: 
SABUR MS, S.H.I., M.H  



Prolog
Dunia pendidikan sebagai salah satu tongkat bangsa ini menjadi suatu yang urgen untuk terus di diskusikan. Diskusi yang terarah dan fundamin sangatlah menunjang terhadap upaya pembentukan karakter lembaga pendidikan, tanpa hal tersebut sangatlah sulit untuk mewujudkan siswa/i yang berkarakter yang selama ini menjadi desain kurikulum kita. Harapan tersebut mungkin terlalu keburu-buru sehingga kurang memperhatikan bagaimana format mendesain lembaga pendidikan secara mendasar. Tidak bisa dipungkiri, karakter suatu lembaga pendidikan yang tidak memiliki bagaimana duduk dan fungsi yang sebenarnya akan berpengaruh terhadap bagaimana upaya atau ikhtiar kita menjadikan anak didik yang benar-benar berkarakter sesuai dengan harapan didalam kurikulum. Akan tetapi, dunia pendidikan kita sepertinya sekarang sedang tersandra oleh mimpi, ilustrasi dan harapan ketidak matangan. Kekurang matangan terhadap konsep yang seharusnya dilaksanakan akan selalu menyuguhkan masakan mentah yang mudah basi dan kempes. Implikasi dari semuanya akan berpengaruh terhadap bagaimana sebenarnya desain lembaga dan kurikulum pendidikan ini dibentuk secara kokoh yang tidak mudah dimakan angin intelektual individualistik. Maka pondasi yang kokoh sangat mendesak bagaimana prosfek dunia pendidikan kedepan mendapatkan jati dirinya sebagai sebuah lembaga yang berfungsi mengeluarkan dan mengantarkan generasi bangsa ini menjadi sebuah generasi yang kokoh pula. Konsep Kurikulum Pragmatis Semenjak lahirnya konsep KBK, KTSP dan Kurikulum yang konon mnengedepankan interaktif antara siswa dan guru menunjukkan bahwa sebenarnya kita masih terjebak dalam pola fikir pragmatis dan tidak prospektif. Pola seperti itu seakan memberikan peluang bagi masyarakat bahwa sebenarnya pemerintah beserta ilmuan negeri ini masih belum mampu memberikan kontribusi mendasar terhadap dunia pendidikan kita. Inkonsistensi sebagai cermin betapa rentannya intelektualitas bangsa ini sehingga dunia pendidikan bangsa ini terombang ambing oleh wacana yang masih terselimuti oleh remang-remangnya embun pagi akan tetapi telah dianggap sesuatu yang harus dikerjakan tanpa harus mereveiu kembali. Sebenarnya hal tersebut sebuah insiden intelektual yang perlu disikapi dengenan rialitas lembaga pendidikan yang ada. Tidak perlu memaksakan sesuatu yang belum benar-benar “matang”, karena dunia pendidikan memerlukan konsep yang “kenyal”, lentur dan memiliki bobot ilmiah yang cukup memadai. Artinya, dunia pendidikan ini jangan hanya dijadikan bahan insperimen guna untuk memuaskan intelektual pribadi maupun kelompok yang cenderung selalu berfikiran pragmatik. Dunia pendidikan adalah penentu didesain bagaimana negeri ini terus berkembang dan dapat mengayomi seluruh lapisan rakyat. Oleh sebab itu, semuanya harus ditata dengan konsep yang matang dan ikhlas, jangan karena ada tendensi lain sehingga kebijakan tentang desain kurikulum pendidikan memerlukan waktu dan pemikiran yang cukup menguras keringat. Tujuannya adalah agar desain kurikulum yang akan dijadikan bagian dari proses pengajaran tidak mudah luntur dan tidak mudah dimakan oleh wacana yang berterbangan. Sangat ironis sekali, ditengah ketertinggalan peringkat pendidikan kita dengan negara lain masih ditambah lagi dengan sebuah insperimen-insperimen sehingga mengakibatkan semakin terombang ambingnya dunia pendidikan kita. Fenomina ini tanpa disadari telah menjerumuskan dunia pendidikan kedalam sebuah lorong gelap yang setiap saat bisa membahayakan bagi siapapun yang akan menjalaninya. Sebab dengan tiadanya konsistensi pemerintah terkait politik pendidikan bangsa ini menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah belum sepenuhnya memahami secara objektif permasalahan mendasar yang tengah dihadapi dunia pendidikan kita. Sehingga dengan demikian, solusi yang disodorkan oleh pemerintah selama ini pada dasarnya bukanlah suatu solusi melainkan memberikan permasalahan baru yang terus bertumpuk-tumpuk. Kurikulum Ditengah Indahnya Mimpi Melihat inkonsistensi pemerintah terhadap model kurikulum selama ini memberikan suatu indikasi bahwa kebingungan telah membuat suatu kebijakan yang dikepung sebuah mimpi-mimpi indah; semua terlihat meyakinkan dan akan memberikan harapan dan cahaya terang bagi masa depan dunia pendidikan bangsa ini. Bangsa ini memang harus mempunyai mimpi besar, tetapi tidak harus terhanyut oleh buayan mimpi yang nota bena adalah suatu peristiwa irasional dan sulit ditebak didalam dunia nyata. Ditengah mimpi besar inilah sejatinya pemerintah hendaknya dibarengi dengan sebuah tindakan yang konsisten dan percaya diri agar tidak mudah terbuai oleh mimpi-mimpi negara tetangga. Sebab kesuksesan tidak bisa diraih dengan selalu melakukan instrumen, melainkan mimpi akan diraih bila diimbangi dengan ke istiqomah-an terhadap apa yang telah ditetapkan dan dijalankan. Dunia pendidikan kita masih butuh waktu untuk menjadi dunia pendidikan yang dapat diperhitungkan dunia. Sebenarnya, kelemahan dunian pendidikan kita bukan terletak pada instrumen kurikulumnya melainkan proses implementasi dilapangan kurang mendapat pengawasan dan pembinaan yang maksimal, sehingga apapun konsep pendidikan yang akan diterapkan tidak akan membawa perubahan yang signifikan. Akhirnya jadilah dunia pendidikan kita ini sebagai dunia pendidikan yang diliputi oleh indahnya sebuah Mimpi. Patut kita sadari bahwa keindahan sebuah mimpi selalu memberikan harapan besar. Harapan besar tersebut lebih cenderung kepada instanisasi wujud yang menjadi ciri khas sebuah mimpi sehingga tidak jarang kita terjebak untuk segera merealisasikan ‘terkadang’ tanpa memikirkan secara matang melalui kajian-kajian secara konprehensif. Fenomina ini seakan menjadi “budaya” politik bangsa ini mengingat suatu permasalahan tidak pernah dilihat secara mendasar yang sejatinya suatu pokok utama yang perlu dipahami bersama. Menurut penulis, permasalahan pendidikan bangsa ini tidak hanya terletak pada tatanan konsep kurikulum yang cenderung sering dijadikan kambing hitam, akan tetapi permasalahan pendidikan bangsa kita melebihi dari skedar konsep kurikulum baru yang menawarkan sebuah mimpi besar “pata morgana”. Permasalahn dasar pendidikan bangsa ini harus dilihat bagaimana proses pelaksanaan/pengelolaan yang penuh dengan “budaya-budaya” yang perlu dibenahi, dibina dan dikawal dengan serius oleh pemerintah, terutama dari segi manajemen pengelolaan secara profesional. Konsep atau sistem kurikulum yang ada semuanya sebenarnya sudah sangat cukup baik, namun kesalahan kita adalah sekolah di identikkan dengan keberhasilan dalam konteks lembaran “naskah” administrasi saja. Budaya dan paradigma itu saya rasa sudah sangat mendesak untuk direformasi dari bentuk budaya “keberhasilan lembaran administarasi” menuju “keberhasilan yang bersifat kwalitas”. Memang hal tersebut tidaklah gampang, namun hal itu tentunya akan menjadi tantangan bagi pemerintah dan para pengelola pendidikan untuk benar-benar menjadikan sebuah lembaga pendidikan yang mengedepankan kwalitas dan profesional. Lembaran Kertas Yang Menipu Sistem penilaian keberhasilan yang bersifat administratif pada suatu lembaga pendidikan bangsa ini telah banyak memberikan kontribusi bagaimana upaya kita untuk bangkit, berbenah dan berubah agar kita tidak selalu dipermaikan dan terkungkung pada suatu lembar kertas putih yang sarat dengan kata “ada dusta diantara kita”. Pernyataan ini sebenarnya bukan suatu yang haram untuk ditulis, kendati tidak semuanya seperti itu akan tetapi persentasinya kemungkinan lebih banyak yang seperti itu. Saya rasa itu sudah menjadi rahasia umum. Sekarang tinggal pemerintah bersama pengelola pendidikan mau menyadari, apakah relevan lembaga pendidikan bangsa ini kita biarkan dengan bahasa “ada dusta diantara kita”(?) sementara kita selalu mendengungkan bagaimana kwalitas lembaga pendidikan bangsa ini terus ditingkatkan.! Ibarat sebuah parodi politik bahwa persoalan-persoalan yang mengkambing hitamkan pada sistem kurikulum pada lembaga pendidikan hanya menggambarkan kesan ke lucuan yang tidak mampu menembus dn menyentuh pada tatanan rialitas; enak didengar, enak dilihat tapi tidak bisa dirasakan. Kendati demikian, proses administratif bukan berarti tidak penting sebagai sarana skunder dalam upaya mendukung mutu pendidikan. Akan tetapi bagaimana kita mampu berubah dari paradigma yang selama ini dijadikan standar mutu suatu lembaga pendidikan agar tidak mudah terjebak oleh “untaian oretan” di kertas putih tersebut. Sementara substansi dari ujung tombak proses administratif yang dijadikan standar kwalitas kerap kehilangan ruh-nya. Artinya, ruh dari sebuah proses penilaian mutu tadi tidak berjalan sehingga tidak menghasilkan apa yang seharusnya diperoleh. Realitas tersebut sampai sekarang kwalitas mutu pendidikan belum bisa bersaing dengan lembaga pendidikan negara lain. Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya tidak memposisikan “lembaran putih” sebagai sumber primer dalam hal menentukan melainkan mengacu pada realitas lapangan yang sebenarnya. Jadi bila kita urai fenomina dunia pendidikan bangsa ini sebenarnya bukan terletak dari model kurikulum yang sering manjadi berdebatan dikalangan masyarakat, melainkan sistem pengawasan dan pembinaan yang tidak berfungsi secara maksimal sesuai dengan tujuan dan harapan. Pengawasan dan pembinaan terhadap suatu pendidikan yang diperankan pemerintah cenderung tanpa arah, tujuan dan target dimana capaian yang akan dihasilkan benar-benar konkrit. Sebab evaluasi yang diwujudkan dengan adanya pengawasan dan pembinaan terhadap sekolah masih bersifat dan berbasis administratif “kertas yang dioret-oret”, sementara evaluasi yang bersifat kwalitas justru dijadikan sumber subsider. Paradigma tersebut tentunya yang paling utama dan mendesak untuk segera direformasi daripada model kurikulum yang diobok-obok. Mengapa sangat mendesak? Mengevaluasi sistem pengawasan dan pembinaan tidak hanya berkaitan dengan suatu konsef yang ada dikertas akan tetapi berkaitan langsung dengan mentalitas dan profesionalitas para petugas lapangan. Sebab mereka merupakann ujung tombak dalam upaya memperoleh data dan info yang akan dijadikan dasar utama bagi pembuat kebijakan sehingga para pengambil kebijakan tidak tertipu indahnya kata-kata yang sengaja di desaen dalam kertas tersebut. Wassalam Read More..