Rabu, 12 November 2014

PRESIDEN JOKO WIDODO VS UPORIA “MASYARAKAT” 

Oleh: SABUR MS, S.H.I., M.H 
Ahli Hukum Lulusan Magister Hukum Universitas Islam Malang 

Kita rakyat Indonesia sudah sepantasnya mengucapkan Selamat kepada Bapak Ir. H. Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia. Mengamati sejarah disetiap pergantian Presiden, masyarakat selalu mengharapkan yang lebih baik dari sebelum-sebelumya. Harapan baru yang lebih baik dikarenakan adanya kekurangan-kekurangan yang belum sempat tersentuh secara maksimal oleh pemerintah yang sebelumnya. Suatu yang sangat manusiawi dimana manusia tidak bisa lepas dari selimut tebalnya berupa sifat kekurangan yang dimilikinya. 
Harapan dan Mimpi 
Antusiasme masyarakat terhadap dilantiknya Ir. H. Jako Widodo sebagai Presiden RI dapat diindikasikan sebagai wujud betapa besarnya harapan masyarakat kedepan yang lebih baik. Harapan masyarakat kecil tidaklah berlebihan bahkan harapan yang diinginkan tentu sanagat sederhana, yaitu perbaikan ekonomi yang dapat mendongkrak tarap kehidupannya. Harapan yang melampaui batas yang diekspresikan mungkin sebagai wujud betapa lelahnya masyarakat terhadap potret politik Bangsa ini yang penuh dengan sandiwara dan sinetron kejar tayang, yaitu kebijakan pragmatif dan sepi dari orientatif sering tidak menyentuh terhadap substansi kebutuhan masyarakat. Mungkin darama politik bangsa ini tidaklah sama dengan sinetron-sinetron yang ada ditelevisi, tetapi apabila kita amati tahapan proses yang bersifat pragmatif kemungkinan sulit dapat dibedakan. Letak kesamaannya terdapat pada dua unsur: pertama mungkin berkaitan dengan keuntungan; dan yang kedua berkaitan dengan kematangan dalam mempersiapkan naskahnya. Oleh sebab itu, antusiasme masyarakat yang cukup besar ini janganlah diapresiasi sebagai wujud kegembiraan semata tanpa ada keinginan besar yang diharapkannya. Pesta rakyat yang dilakukan oleh sebagian masyarakat sebagai simbol dan hak kedaulatannya yang dipercayakan kepada sang Presiden. Kita semua harus peka dan menfsirkan keinginan rakyat tanpa harus terikat dengan motode tafsir apapun. Karena kebutuhan dan harapan rakyat adalah fakta, bukan mimpi yang sering disuguhkan oleh polisi Negara ini. Harapan bahkan mimpi yang begitu besar dari masyarakat ini memberikan isyarat bahwa perubahan fundamintal berkaitan dengan masa depan kesejahteraan masyarakat menjadi harapan dan mimpi terbesar. Oleh sebab itu semoga Presiden Joko Widodo beserta para pembantunya benar-benar dapat memahami dan menterjemahkan dalam sebuah keputusan politik berupa kebijakan yang pro rakyat. Kebijakan secara obyektif yang berorientasi terhadap kesejahteraan masyarakat harus mempunyai master plan yang jelas dan terarah jauh kedepan, bukan sebuah kebijakan yang hanya berorientasikan terhadap kepentingan politik sesaat. Masyarakat tidak lagi membutuhkan “masakan siap saji”, melainkan masyarakat membutuhkan “peralatan yang dapat digunakan” masakan siap saji yaitu modal usaha. 
Uporia: Kultur Lima Tahunan 
Sudah menjadi tradisi dimana setiap adanya pergantian Presiden baru selalu muncul harapan baru dengan menampilkan ekpresi kegembiraan yang berlebihan. Menyajikan ekspresi dengan kegembiraan yang berlebihan bukan suatu yang dilarang dalam sistem hukum Indonesia, tetapi jangan sampai harapan dan mimpi yang begitu besar tersebut justru menjadi bom waktu untuk meratapi nasib yang akan berakhir dengan sebuah kekecewaan. Oleh karenanya, uporia yang dimulai dengan kebahagiaan dengan harapan dan mimpi yang besar tidak jarang justru sebaliknya menjadi kultur “kekecewaan” lima tahunan juga. Sebab uporia yang di publikasikan di media-media masa dan elektronik bukan sebagai gambaran dari masyarakat itu sendiri, melainkan hanya sebatas uporia atas kemenangan dari sebuah pendukung dan simpatisan saja. Kegembiraan yang berlebihan tidak dilahirkan dari masalah substantif, uporia dilahirkan hanya dari rasa kepuasan “nafsu” atas kemenangan seseorang yang dianggap Jago-nya. Kerena demikian, uporia terhadap kemenangan dari hasil Pemilu (apaun bentuknya) ibaratkan sebuah pertandingan antar masyarakat itu sendiri. Memang hal tersebut tidak dilarang, karena uporia apapun bentuknya merupakan hak asasi dari semua masyarakat Indonesia sebagai imbas dari kebebasan dalam menentukan pilihannya. Dari sinilah kemudian pesta “uporia” dijadikan ajang lima tahunan disetiap berakhirnya Pemilu yang penulis sebut sebagai “kultur lima tahunan”. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, memang Bangsa Indonesia banyak mendapat pujian dari negara besar. Pujian tersebut karena adanya perspektif bahwa masyarakat yang tergolong masih labil dan belum mengetahui roh arti demokrasi itu sendiri tetapi dapat menjalankan dengan baik, sehingga potret ini menggambarkan kematangan bangsa kita dalam berdemokrasi dapat dijadikan salah satu contoh oleh dunia lain. Itulah yang sampaikan oleh Presiden Negara Adidaya Amerika Serikat Barak Husen Obama. Tapi ada pertanyaan, apakah benar opini tentang kematangan Bangsa dalam berdemokrasi? Kalau menurut penulis, potret demokrasi yang tengah berjalan di Negara kita ini bukan bentuk kematangan, melainkan potert masyarakat kita masih lugu, polos dan jujur sehingga mereka mudah dipolitisasi oleh para politisi bangsa ini. Masyarakat sudah menjadi langganan diakalin oleh para pemimpin bangsa ini melalui orasi kampanyenya dengan segudang janji-janji yang terkadang tidak rasional.! Andai masyarakat kita sadar dan matang berdemokrasi, apakah layak mereka di kibuli disetiap pelaksanaan Pemilu? Lalu apakah layak kita mendapat pujian dari Negara lain? Tentunya tidak. Oleh sebab itu, pujian-pujian dari negara luar terhadap pelaksanaan demokrasi bangsa ini sepatutnya perlu direvieu untuk dikaji terhadap objektivitasnya. Pujian yang terkadang menyimpan sebuah misteri terselubung membuat seseorang akan melupakan jati dirinya sendiri yang sebenarnya, sehingga membuat orang terbuai dan tidak berdaya ketika melihat sebenarnya akan terjadi. 
Penutup 
Kesimpulan dari uaraian diatas, penulis memiliki harapan besar agar Pemerintahan Presiden Ir. H. Joko Widodo benar-benar merealisasikan “reformasi mental” dengan lebih mengoptimalkan pendidikan politik terhadap masyarakat. Bangsa ini tidak hanya membutuhkan reformasi sistem, selebihnya bagaimana permasalah fundamintal bangsa ini dapat dicermati, diamati untuk dicarikan solusi konkritnya.
Read More..

Sabtu, 18 Oktober 2014

PENDIDIKAN YANG MENJAMUR, PARADIGMA YANG TERKELUPAS 
(Sebuah Renungan Realitas Lembaga Pendidikan Indonesia) 

Oleh: 
SABUR MS, S.H.I, S. Pd, M.H
 Ahli Hukum Lulusan Magister Hukum Universitas Islam Malang

Selamat datang Kurikulum 2013 dan selamat tinggal Kurikulum 2006

Mungkin inilah kalimat yang pas untuk disampaikan pada tahun pelajaran 2014/2015. Ditengah ketidakpastian nasib kurikulum 2013 dan masih banyaknya sarana prasarana sekolah khususnya swasta yang belum memiliki sarana pendukung ini akan menjadi masalah tersendiri, belum lagi ditambah semakin menjamurnya lembaga pendidikan swasta sampai ditingkat RT. Konsep kurikulum 2013 yang sejatinya merupakan konsep masa depan untuk menghadapi persaingan dunia pendidikan global semakin hari
semakin dipertanyakan. Karena konsep yang dikemas dengan indah belum tentu memiliki paradigma yang bagus dalam konteks sinergitas dengan rialitas objektifitas lembaga pendidikan yang ada. Paradigma sebagai kerangka berfikir harus bermitra dengan konsep-konsep sebagai pengembangan dari paradigma itu sendiri. Semua itu tentunya tidak lepas dikeluarkannya UU tentang Guru dan Dosen yang memberikan “Air Conditioner” (AC) telah melahirkan “gairah masyarakat” untuk mendirikan lembaga pendidikan yang dibungkus dengan kata “perjuangan” dalam mengentas buta huruf yang konon masih banyak dimasyarakat. Respon imbas dari dinginnya “Air Conditioner” (AC) yang ditimbulkan oleh UU tentang Guru dan Dosen seakan menemukan intan berlian yang mendorong kita untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Tentunya hal tersebut sangat baik, karena akan membantu pemerintah dalam upaya pengentasan buta hurup di Negara ini apabila didukung dengan sebuah Paradigma yang berorientasikan terhadap rialitas diri secara objektif. Sementara ini apakah kita sudah termasuk didalamnya? Lagi-lagi kita akan terkepung oleh Paradigma itu sendiri. Sebagai bangsa yang besar yang memilki mimpi yang besar tentunya tidak hanya memilki konsep-konsep besar, tetapi harus dilandasi dengan paradigma yang kokoh sebagai ujung tombak dalam mewujudkan mimpi besar tersebut. Sementara ini, kita baru hanya memiliki konsep yang justru mengelupasi paradigma itu sendiri sehingga arah pembangunan pendidikan Indonesia baru sebatas diatas kertas yang tertata rapi di dalam loker lemari. Apakah masih relevan kita mengatakan “Indonesia Hebat”? Bukan Paradigma, Tapi Mimpi 
Konsep pembangunan pendidikan kita tidak boleh hanya berdasarkan pada pemikiran parsial yang dihasilkan dari sebuah mimpi dan sahwat belaka. Membangun Dunia pendidikan tidak hanya sekedar didasari apa adanya atau adanya apa. Sekarang kita ini berada diposisi yang mana? Apa adanya atau adanya apa? Sebuah pertanyaan yang cukup dijadikan renungan karena tidak membutuhkan jawaban. Pembangunan yang tidak memiliki paradigma akhirnya hanya akan berjalan tanpa orientasi yang terarah dan terukur. Hal tersebut hendaknya perlu diperhatikan oleh pemerintah sebagai jangkar dalam turut membangun pendidikan yang berkwalitas. Kesalahan orientasi terhadap pembangunan pendidikan dapat dirasakan bagaimana menjamurnya lembaga pendidikan sampai pada tingkat Rt, bahkan ditingkat Rt terbangun beberapa lembaga pendidikan sejenis. Padahal yang dibutuhkan sekarang tidak lagi kwantitas lembaga pendidikan melainkan bagaimana membangun kwalitas pendidikan yang berdaya saing dengan mekanisme pembinaan yang terarah dan terukur. Semakin menjamurnya lembaga pendidikan yang tidak terkontrol akan melahirkan persaingan yang tidak sehat dengan cara menjelek-jelekkan lembaga pendidikan yang lain. Mengapa demikian? Karena pola pembangunan lembaga pendidikan tidak dibangun dengan sebuah paradigma. Hal tersebut menunjukkan ketidaksiapan untuk bersaing sehingga berbagai cara dilakukan untuk memuaskan konsep “hawa nafsu” yang dibungkus dengan kata “perjuangan” dalam mencerdaskan generasi bangsa ini. Rialitas tersebut akan menjadi ancaman terhadap apa yang telah diamanatkan dalam UU no. 20 tahun 2003 Pasal 3 yang menitikberatkan terhadap pembangunan karakter akhlak mulia. Kalau cara-caranya sudah tidak berorientasikan terhadap pembangunan karakter akhlak mulia bagaimana mungkin kita akan mewujudkan suatu lembaga pendidikan yang akan melahirkan anak didik yang berkarakter akhlak mulia? Pada akhirnya yang menjadi korban tidak lain kecuali masyarakat. Terlebih secara konseptual masyarakat kita sebenarnya belum siap menghadapi semua itu dengan berbagai keterbatasan SDM-nya. Permasalahan ini sampai sekarang belum ada pemecahan bahkan tidak ada regulasi yang mengaturnya. Padahal fenomina tersebut bagian dari salah satu hamcurnya masyarakat baik segi sosial budaya, prilaku dan moralitasnya. Pembentukan karakter anak didik tidak hanya dilakukan pada saat dibangku sekolah oleh sebuah sistem formal, pembentukan karakter anak didik yang berorientasikan terhadap pembangunan moralitas masa depan harus dimulai dari diri pribadi seorang guru dan pengelola pendidikan tersebut. Jadi jangan salahkan anak didik bila suatu saat mereka menjadi anak yang tidak bermoral, melainkan harus ada evaluasi dan introveksi secara konprehensif terhadap pemangku pendidikan itu sendiri agar mau membuka “topeng” yang selama ini terbungkus dengan kata-kata dan senyuman yang berbisa. 
Lahir Sarjana Yang Bukan Sarjana 
Imbas dari lahirnya UU Guru dan Dosen tidak sedikit perguruan tinggi melahirkan prodak-prodak yang tidak layak menyandang sebuah kebanggaan akademik. Seperti menjamurnya program kelas jauh baik di didang program Strata Satu (S.1) maupun program Strata Dua (S.2) yang dilaksanakan apa adanya yang berorientasi terhadap adanya apa. Padahal program tersebut sudah dilarang dengan payung hukum Peraturan Menteri Pendidikan Nasionak terkecuali bagi Perguruan Tinggi yang telah Terakreditasi A. Alasan Menteri Pendidikan Nasional bukan tidak beralasan, karena keberadaan program kelas jauh prosesnya sangat sederhana dan juah dari standar kompetensi akademik sehingga hasil lulusannyapun akan menjadi dipertanyakan kwalitasnya. Mengapa demikian? Inilah yang penulis sebut bahwa orientasi pendidikan bangsa ini sebagian kehilangan paradigmanya sebagai jangkar dalam upaya mencetak generasi bangsa yang kuat dan bermartabat. Akibat dari hal tersebut, lulusan yang sering disebut “Sarjana” juga kehilangan arah, karena “titel” akademik yang mereka peroleh masih jauh dari standar proses yang diharapkan. Kompleksitas potret lembaga pendidikan bangsa ini tidak hanya bisa dibenahi dengan cara-cara konvensional dengan menitikberatkan terhadap pola manajemen yang bertumpuk terhadap dokumen-dokumen administrasi yang didesain dengan rapi. Proses pembinaan memerlukan suatu konsep yang jelas, terarah serta mempunyai tujuan yang lebih jauh kedepan dengan penerapan regulasi yang konsisten dan bertanggungjawab. Sebab pembentukan SDM yang sebenarnya akan ditentukan bagaimana paradigma perguruan tinggi dalam turut berpartisipasi mamberikan sumbangsihnya terhadap kemajuan bangsa ini dengan melahirkan kwalitas Sarjananya. Jangan sampai ada seorang bertitel Magister (Ahli) Pendidikan atau Magister (Ahli) Hukum justru tidak paham pendidikan dan hukum atau titel-titel akademik lainnya. Bila faktanya seperti itu imbasnya juga masyarakat yang menjadi korban. Jadi sangat rasional pada zaman sekrang ini bila orang-orang ingin melepaskan diri dari statusnya sebagai rakyat dengan cara mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, DPR, DPD, Bupati, Wali Kota, Gubernur bahkan Presiden sekalipun modal ledership dan keilmuannya masih jauh dibawah standar. Secara tidak langsung dapat kita katakan bahwa masyarakat sudah bosan bila selalu di politisasi. Pembentukan karakter yang menjadi jargon dunia pendidikan disemua tingkatan ternyata baru sebatas mimpinya orang yang sedang tidur pulas, indah tapi tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Salah satu penyebabnya adalah dissingkronisasi pemerintah, pemangku pendidikan dengan regulasi yang ada tidak berjalan secara maksimal. Akibatnya dunia pendidikan bangsa ini mengalami stagnan dan hanya berkutat pada wacana. Sekrang gelar akademik sudah tidak lagi berorientasikan terhadap nilai-nilai kompetensi, melainkan ibarat pakaian di pasar kaki lima yang diobral untuk sekedar dijadikan “pebalut” badan yang sedang kedinginan. Kendati demikian, tentunya tidak adil bila yang dijadikan objek kesalahan adalah masyarakat pemangku pendidikan. Kita harus melihat secara integral dan tidak bisa secara parsial. Karena kedua unsur antara pemerintah dengan masyarakat saling berkaitan yang dikemas dengan sebuah Peraturan Perundang-Undangan. 
Perlu Regulasi Yang Jelas 
Sementara ini bangsa kita belum memiliki mekanisme regulasi yang pasti, terarah dan orientatif terhadap pembangunan pendidikan jangka panjang. Akibatnya mungkin pada akhirnya tidak hanya dibidang ekonomi yang memerlukan undang-Undang Persaingan Tidak Sehat, di dunia pendidikanpun pada akhirnya diperlukan Undang-Undang Persaingan Tidak Sehat. Hal tersebut tidak tutup kemungkinan dimana negara ini berdasarkan negara hukum yang perlu mengatur segala aktivitas masyarakat dengan sebuah norma termasuk persaingan dalam masalah pendidikan. Tampaknya lucu, tapi penulis anggap hal yang biasa mengingat sebagian moralitas oknum pengelola pendidikan telah terjangkiti virus yang dapat membunuh karakter masyarakat secara pelan-pelan. Penataan pendidikan dengan penetapan regulasi pendirian suatu yang sangat mendesak yang mungkin sulit untuk ditunda lagi. Keterdesakan ini sebagai respon bahwa pendirian lembaga pendidikan akhir-akhir ini telah melengceng dari tujuan awal sebagai media dan sarana perjuangan dalam upaya menata moralitas generasi bangsa ini. Statemen ini mungkin suatu yang akan dianggap kontroversi, namun inilah sebenarnya fakta yang sejatinya tidak memerlukan jawaban secara terbuka. Penilaian ini tidaklah sulit untuk diprediksi, fakta ini dapat dijadikan suatu indikator dari pola-pola gerakan yang dilakukan oleh oknum-oknum dalam rekrutmen peserta didik baru. Pola-pola provokatif dengan menjelek-jelekkan lembaga lain suatu fakta bagaimana karakter jajjalisme untuk memecah belah masyarakat hanya demi kepentingan nafsunya sendiri. Potret ini mungkin tidak sesederhana yang kita lihat kemudian diopinikan suatu yang wajar sehingga diabaikan merusak sendi-sendi dunia pendidikan bangsa ini. Hal inilah yang kurang diketahui dan disadari oleh para pemangku kebijakan sehingga apa yang tersirat didalam UU no. 20 tahun 2003 Pasal 3 yang menitikberatkan terhadap pembangunan karakter akhlak mulia akan menjadi bomerang terhadap perjalanan sejarah pendidikan bangsa ini kedepannya. Mungkinkah kita kalah dengan manusia purba pada zaman prasejarah (zaman batu tua?) yang memiliki pola fikir serta selalu berusaha meninggalkan jejak sejarah yang baik sesudah meninggal.!! Tentu jawabannya tidak! Sudah saatnya pemerintah mengubah pola kebijakan terkait dengan perdirian suatu lembaga pendidikan. Mengubah dalam kanteks bahwa bukan berarti tidak lagi memberi peluang bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam mencerdaskan generasi bangsa ini, melainkan penulis maksud adalah ada penekanan orientasi dengan mengedepankan aspek-aspek penataan dan pembinaan lembaga pendidikan yang ada secara kontinu dan terarah. Sementara akhir-akhir ini, proses pendirian lembaga pendidikan masih bersifat subjektif, non orientatif dan tidak memiliki konsep yang jelas. Ibaratkan mendirikan lembaga pendidikan sebagai lahan dan perusahaan untuk menampung keluarga agar dapat memiliki status sosial sebagai “Pekerja Guru”. Tentunya itu bukan hal yang salah, tetapi perspektifnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Lembaga pendidikan membutuhkan paradigma, konsep yang utuh dengan bertitikberatkan terhadap kwalitas dan moralitas baik dari segi proses implementasi dan proses pra implementasi yang perlu pemahaman secara terintegrasi, tidak parsial. Proses ini masih mengalami kekeringan terhadap sebagian lembaga pendidikan bangsa ini terutama yang berbasis swasta. Maka pembinaan secara terarah, terstruktur dan terprogram terhadap lembaga pendidikan harus lebih dimaksimalkan termasuk membina agar dalam suatu proses dapat menjaga serta mengedepankan etika sebagai tonggak moral. Kalau tidak mau, ya dibubarkan aja lembaga pendidikan tersebut. Masalahnya bangsa ini membutuhkan lembaga pendidikan yang menjadi suritauladan bagi masyarakat bukan malah menjadi virus dalam masyarakat dengan cara meracuni dan memprovokasi masyarakat sehingga menjadi terbelah antara masyarakat itu sendiri. Mungkinkah hal ini terjadi atau bahkan kita sudah menjadi bagian dari itu? 
Kesimpulan 
Kesimpulan dari renungan diatas, penulis berharap lembaga pendidikan bangsa ini akan menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan bangsa ini, tentunya bila didukung dengan kinerja serta aspek moralitas semua unsur didalam dunia pendidikann tersebut. Problem bangsa ini sudah cukup pelik, sementara yang diharapkan untuk mengatasi hal tersebut adalah dunia pendidikan yang mendidik, bukan pendidikan yang justru menjadi bagian masalah. Mari kita jadikan lembaga pendidikan bangsa ini sebagai bagian dari solusi berbagai masalah, jangan lembaga pendidikan bangsa ini justru dijadikan sumber masalah. Doc/15/10/2014
Read More..

Selasa, 07 Oktober 2014

Buntut Polemik UU Pilkada, Koalisi Merah Putih vs Koalisi Indonesia Hebat 

Oleh: SABUR MS, S.H.I, M.H 
Ahli Hukum Lulusan Magister Hukum Universitas Islam Malang 

Drama politik tentang UU Pilkada yang baru disahkan oleh DPR sepertinya tidak hanya akan berhenti di palu Ketua DPR RI, palu Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung sepertinya harus turut ikut ambil bagian dalam upaya untuk menemukan ke absahan UU Pilkada tersebut. Kedua lembaga tinggi negara tersebut sekarang menjadi salah satu pusat perhatian setelah seminggu ini bertumpu pada “nyanyian-nyanyian” DPR disenayan. Siapakah yang berhak menangani polemik UU Pilkada ini?
Melihat Pokok Masalah 
Permasalahan hukum berkaitan dengan pokok yang dijadikan suatu perkara. UU Pilkada yang baru di sahkan oleh DPR RI masih menyisakan masalah berkaitan dengan proses Pemilihan langsung dan tidak langsung. Serpihan masalah hukum ini berkaitan dengan kata “demokrasi” yang mengundang banyak tafsir dengan berbagai argumentasinya. Tafsir jalanan yang tengah marak tentang kata “deokrasi” sedikitnya akan membawa dampak legalitas suatu prodak hukum yang telah ditetapkan sebagai UU. Terlepas dari hiruk pikuk dilapangan, maka perlu dianalisis benarkah UU Pilkada yang baru disahkan perlu di yudiciel review atau yudiciel konstitusi? UUD 1945 Bab VI Pasal 18 ayat (4) hanya menyebutkan bahwa: Gubernur, Bupati dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, dan dipilih secara demokratis. Kata demokratis banyak yang mengertikan suatu proses langsung yang menitikberatkan terhadap keterlibatan langsung masyarakat sebagai pemegang kedaulatan. Namun disisi yang lain memahami kata “demokrasi” tidak harus ditafsirkan sebagai proses dengan keterlibatan langsung masyarakat. Argumen tersebut didasari sistem pemerintahan kita yang manganut sistem keterwakilan. Oleh sebab itu, demokrasi dalam konteks Pilkada dapat dipilih langsung oleh anggota DPRD sebagai justifikasi masyarakat itu sendiri. Perbedaan tefsir terhadap UUD 45 Pasal 18 ayat (4) tentang “demokratis” menurut penulis bukan masalah ada dan tidaknya pertentangan pada sistem pemilihan kepala daerah yang baru di sahkan dalam UU Pilkada. Hal ini merujuk tiadanya pengertian kata “demokratis” yang menyebutkan adanya pemilihan langsung atau pemilihan melalui sistem demokrasi perwakilan melalui DPRD, melainkan yeng terjadi lebih cenderung pada masalah keyakinan argumentasi dan angin politik yang berhembus pada saat ini. Proses Hukum Lebih Lanjut Melihat argumentasi dari pihak yang merasa kalah dalam proses penetapan UU Pilkada menganggap masih ada sela hukum yang dapat mewujudkan keinginannya, yaitu melalui Judiciel Konstitusi ke Mahkamah Konstitusi. Anggapan ini tentu sangat wajar mengingat perbedaan tafsir terhadap UUD 45 Pasal 18 ayat (4) tidak dapat dibatasi oleh norma apapun. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah benar UU Pilkada yang baru di sahkan ada norma yang bertentangan dengan UUD 45 Pasal 18 ayat (4) sehingga MK harus mengotori palunya? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat tugas pokok atau kewenangan Mahkamah Konstitusi secara jernih sebagai gerbang terakhir dalam mencari “keadilan” politik hukum di Negara ini. Sebab kekurang jernihan dalam melihan tugas atau kewenangan Mahkamah Konstitusi terkadang memunculkan opini publik seakan-akan yang disalahkan lembaga MK itu sendiri. Untuk lebih mengetahui apakah polemik UU Pilkada layak diajukan ke MK, maka perlu dipahami Pasal 10 ayat (1) huruf (a). Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menguji dalam hal ini yaitu berkaitan dengan ada dan tidaknya suatu UU bertentangan dengan UUD 45. Dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) memberikan pemahaman bahwa disamping keputusan MK bersifat final dan mengikat, akan tetapi MK tidak boleh memberikan Putusan yang melebihi kewenangannya, yaitu membuat norma baru. Terlepas apa itu benar atau tidak, langkah hukum yang akan diambil oleh para pihak civil sociaty ke Mahkamah Konstitusi harus dianggap sebagai suatu proses pendidikan hukum yang sedang berjalan di Negara ini. Artinya semua harus menghargai karena itu adalah suatu hak setiap warga negara dalam upaya mewujudkan impian keadilan sesuai dengan keyakinannya. Sebagai negara yang demokratis, kita harus mampu membangun opini publik yang bersifat mendidik dengan menghargai segala hak konstitusional warga negara ini. Janganlah masyarakat dijadikan bahan pembodohan dengan cara menggiring kearah budaya syu’udhon, karena hal tersebut sangat jauh dari konsep bersosio-budaya yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. 
MK Tidak Berwenang Menguji UU Pilkada? 
Kalau mengatakan bahwa MK tidak memiliki wewenang menguji UU Pilkada, maka ada dua hal yang perlu dipahami yaitu: Pasal 18 ayat (4) UUD 45 dan UU MK Pasal 10 ayat (1) huruf (a). Kedua pasal dalam perundang-undangan ini memiliki kesinambungan karena berkaitan dengan pokok materi dan kewenangan sekalipun berbeda secara hirarki. Pasal 18 ayat (4) UUD 45 misalnya berkaitan dengan pokok materi dalam norma UU Pilkada, pokok materi sebagaimana disebut adalah berkaitan ada dan tidaknya pertentangannya, sementara UU MK Pasal 10 ayat (1) huruf (a) berkaitan dengan masalah kewenangan MK itu sendiri. Kalau memang UU Pilkada ditafsirkan bertentangan dengan UUD 45 itu masih baru tahap penafsiran tekstual, maka belum tentu dapat dibenarkan secara kontekstual. Sebab “kata Demokratis” yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 45 masih berbentuk amvibalen. Berbeda dengan pemilihan presiden dan wakil presiden yang secara jelas disebutkan dengan “Pemilihan Langsung”. Kata “demokrasi” dengan kata “Pemilihan langsung” yang terdapat dalam UUD 45 tentunya tidak hanya sekedar permainan bahasa, melainkan memilki kandungan makna tersendiri yang tidak secara general dapat disamakan. Karena dalam leteratur manapun, makna demokrasi lebih kepada pengertian suatu kegiatan yang bersifat terbuka dan tidak menutup-nutupi dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Kemudian bagaimana dengan mekanisme pemilihan lewat DPRD, apakah dapat dijustifikasikan sebagai sebuah tindakan yang tidak demokratis dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat? Tentunya tidak semudah itu kita menafsirkan bahwa kata “Demokratis” adalah suatu proses pemilihan yang tidak melibatkan langsung masyarakat, melainkan harus dilihat secara konprehensif mulai dari system ketatanegaraan yang dianut bangsa ini yang berimplikasi terhadap implementasinya. Melihat uraian diatas, sekalipun tidak secara langsung saya mengatakan bahwa MK tidak berwenang menguji UU Pilkada karena masih lemahnya argumen yang mengatakan bahwa telah terjadi pertentangan dengan UUD 45, akan tetapi jika Pasal 18 ayat (4) UUD 45 di analisis dengan keberadaan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) sepertinya tidak ada celah hukum bagi MK untuk menangani masalah ini. Artinya, polemik UU Pilkada bila di bawa ke Mahkamah Konstitusi bukan suatu langkah tepat karena 99% MK akan menolaknya. 
Peratuara Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) 
PERPPU memang salah satu mekanisme hukum yang dilindungi oleh UUD 45 yang diberikan kepada Presiden sebagai inisiator, akan tetapi PERPPU membutuhkan kalkulasi politik di DPR. Hal ini disebutkan dalam UUD 45 Pasal 22 ayat (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang. Kemudian dalam ayat (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Selanjutnya dalam ayat (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Jadi secara politik, penyelesaian polemik UU Pilkada melalui mekanisme Perppu belum akan bisa menyelesaikan permasalahan dalam waktu singkat. Karena ketentuan UUD 45 Pasal 22 ayat (3) bersifat mengikat terhadap Presiden sehingga tidak terlalu banyak memberikan ruang terhadap peluang akan diterimanya Perppu oleh DPR yang mayoritas dikuasai oleh Koalisi Merah Putih. Tidak hanya permasalahan politik disenayan, mengeluarkan Perppu saya kira juga tidak cukup kuat argumentasi hukumnya. UUD 45 sendiri menyebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa...... pertanyaannya, sejauhmana “kegentingan yang memaksa” terkait polemik UU Pilkada? Kalau memang polemik UU Pilkada dianggap “kegentingan yang memaksa” tentunya berkaitan dengan masalah keamanan dan masa depan Negara dan hal tersebut juga harus atas persetujuan DPR.! Kalau memang “kegentingan yang memaksa” merupakan hak subjektifitas Presiden, apa tidak lebih baik Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden saja (?) Dekrit adalah pengambilan suatu keputusan didalam bentuk pernyataan dalam situasi yang genting oleh pemegang kekuasaan dan mendapat legalitas berdasarkan undang-undang. Apakah memungkinkan Dekrit Presiden dikeluarkan terkait polemik UU Pilkada? Sebab syarat bisa dikeluarkannya Dekrit Presiden adalah: Munculnya kemacetan dalam pemerintahan (staknasi) dalam situasi yang genting munculnya suatu ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintahan Tergantung pada situasi politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan yang perlu penataan. Sementara keberadaan Negara tidak mengalami goncangan politik ditataran masyarakat bawah. Padahal syarat “kegentingan yang memaksa” sebagaimana diamanahkan UUD 45 yang dijadikan tolak ukur anggota DPR yang berakrobat disenayan melainkan situasi sosial, budaya, politik, hukum dan ekonomi. 
Judicial Legislatif 
Judicial Legislatif juga bagian dari mekanisme dalam memperbaiki sebuah UU yang telah berlaku. Prosesnya kurang lebih dengan perubahan melalui mekanisme PERPPU. Kesamaannya adalah terletak pada peta kekuatan politik di senayan sebagai bagian dari eksekutor. Mekanisme judicial legislatif untuk sementara ini hanya sebatas teori sementara dalam tataran implementasi masih jarang diopinikan sebagai bagian dari sebuah solusi dalam memperbaiki hukum yang dianggap bertentangan dengan UU yang lain. Namun dalam kaitan dengan polemik UU Pilkada, judicial legislatif lebih memberi kepastian hukum sekalipun prosesnya memerlukan waktu dan tenaga. Ketepatan ini dikarenakan UU Pilkada secara substantif tidak bertentangan dengan UUD 45 Pasal 18 ayat (4) sehingga secara tidak langsung Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang untuk menanganinya. Keberadaannya ini sangat tegas disebutkan di dalam UU MK Pasal 10 ayat (1) huruf (a). Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu, kendati UU Pilkada sudah disahkan dalam sidang paripurna DPR, akan tetapi eksistensinya masih belum dapat di implementasikan. Hal tersebut dikarenakan UU Pilkada tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan juga dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang lebih bersifat sepesialis. Didalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 24 ayat (5) disebutkan bahwa: Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Bila dilihat pertentanagn dua norma dalam UU yang berbeda, semakin memperkuat tiadanya hak dan wewenang secara hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk menanganinya. Kemudian, dalam segi norma, UU Pilkada tidak memenuhi asas kepastian Hukum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 5 huruf (a) kejelasan tujuan dan hurup (d) dapat dilaksanakan dan Pasal 6 ayat 1 huruf (i) ketertiban dan kepastian hukum;. Tiadanyan kesinkronan antara UU yang memiliki keterkaitan menunjukkan bahwa UU no. 22 tahun 2014 tentang Pilkada tidak dapat dilaksanakan karena tiadanya tujuan yang jelas, ketertiban dan kepastian hukum. Menurut penulis, kepastian hukum sebagaimana disebutkan dalam UU no. 10 tahun 2004 Pasal 5 huruf (i) berkaitan dengan masalah pertentangan norma yang terkadung dalam UU no. 22 tahun 2014 tentang Pilkada, khususnya tentang system pemilihan kepala daerah sehingga kandungan norma yang ada tidak memiliki daya mengikat. Oleh sebab itu, UU Pilkada ibaratkan macan ompong yang tidak memiliki kekuatan apapun sehingga tidak perlu dijadikan suatu kegaduhan hukum. 
Penutup 
Pasca penetapan RUU Pilkada sebagai UU, pro dan kontra terus menggelinding, kendati belum sampai kepada situasi “kegentingan yang memaksa”, penetapan UU Pilkada terkesan tergesa-gesa dan dipaksakan sehingga kurang menyentuh terhadap substansinya. Artinya, DPR yang baru dilantuk harus lebih peka terhadap aspirasi masyarakat banyak. Oleh sebab itu, penulis berpendapat, dalam menyimak polemik UU Pilkada solusi politik dan hukum yang paling elegan adalah dengan cara judicial legislatif. Mengapa harus judicial legislatif? Proses judicial legislatif diyakini oleh penulis sebagai solusi yang memberikan peluang untuk saling menghargai karena tahapan dan proses yang akan dilakukan dapat mengakomodasi unsur kepentingan Koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat yang berorientasi terhadap kemaslahatan bangsa dan negara. Memang solusi judicial legislatif membutuhkan waktu yang cukup dan memangharus demikian. Karena untuk menata tatanan demokrasi ini ke arah yang terbaik tidak bisa dengan cara-cara instan seperti adanya PERPPU terkecuali keadaan yang genting sebagaimana diamanatkan oleh UUD 45. Untuk itu dalam sila ke 4 Pancasila permasalahan yang ada sebisa mungkin dapat diselesaikan dengan musyawaroh mufakat sebagai wujud karakter asli bangsa ini. 
Doc. 02/09/2014. http://saburmh.blogspot.com
Read More..

Selasa, 25 Februari 2014

KPK GENIT ATAU AROGAN.(?)

Oleh: 
 SABUR MS, S.H.I., M.H 



Beberapa hari ini isue terkait rencana pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP cukup menarik untuk diperhatikan. Menariknya bukan terletak pada rencana pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP oleh Pemerintah bersama DPR, melainkan sifat genit dari pernyataan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seakan memposisikan diri sebagai anak tunggal sang “Pewaris” bangsa ini. Kegenitannya menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK tidak berdasarkan ketulusan tetapi lebih kepada sifat-sifat arogansi individualistik. 
KPK Jangan Memprovokasi Publik 
Pemberantasan korupsi harus kita bangun dengan asas kebersamaan, kejujuran dan adanya saling percaya. Jangan ada yang merasa paling benar, paling hebat atau bersih seperti yang ditampakkan oleh oknum KPK pada saat ini. Jika pondasi pemberantasan korupsi dibangun dengan dasar emosi, arogan dan sok bersih dan hebat sendiri, maka pemberantasan korupsi yang dibangun selama ini tidak akan menemukan hakikat yang sebenarnya. Sebab bila diperhatikan selama ini, KPK seakan melihat penegak hukum lembaga yang lain tidak serius dan tidak memiliki keberanian. Kenyataan ini sungguh kurang baik bagi penegakan hukum bangsa ini, karena bila ini yang terjadi maka bukan sinergitas antar lembaga yang akan diperoleh, justru diantara lembaga penegak hukum akan saling intip atau mencari kesalahan dan kelemahan masing-masing yang ujungnya membahayakan bangsa ini. Sementara selama ini KPK sangat piawai dalam memprovokasi Publik dalam upaya membangun image sebagai satu-satunya lembaga penegak hukum yang berani, bersih, dan kuat. Kesan ini sebagai wujud bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK masih jauh dari cerminan dari soritauladan Nabi sebagai pemimpin Dunia. Yang mana dalam segala aspek kehidupan selalu menekankan kejujuran dan keikhlasan, bukan diawali dengan sifat arogansi dan syu’udhon pada orang atau lembaga lain. Sementara statemen-statemen yang dibangun melalui media cenderung sarat dengan nilai-nilai provokatif, entah itu disengaja atau tidak akan tetapi setidaknya telah menimbulkan nilai adanya kecurigaan pada lembaga penegak hukum yang lain. Apa ini yang dikatan hebat, berani dan jujur.! Oleh sebab itu, kalau memang KPK benar-benar ingin memberantas korupsi lakukanlah dengan rasa tulus bukan dengan menciptakan rasa benci publik kepada lembaga penegak hukum yang lain. Karena bila hal itu benar, maka tidak ubahnya KPK memposisikan diri sebagai lembaga penegak hukum yang gemar memprovokatif atau menciptakan kebencian terhadap orang lain. Inilah yang penulis anggap kurang baik terhadap prospek penegakan hukum di Indonesia kedepan. Indonesia tidak hanya sekedar butuh orang yang berani, pintar dan tegas, tetapi Indonesia juga sangat membutuhkan seorang yang tulus dan pemersatu bagi komponen bangsa ini. 
Penegakan Hukum Yang Konprehensif
KPK harus memperbaiki paradigma penegakan hukum dengan paradigma yang berorientasikan masa depan, bukan pragmatis yang selama ini dilakukan. Perbaikan paradigma yang penulis maksud adalah bagaimana teknik pencitraan dan teknik provokatif terhadap publik tak ubahnya teknik-teknik yang tidak dapat dibenarkan secara manusiawi. Ketidak benaran sebagaimana tersebut karena ada unsur-unsur merugikan lembaga lain, karena secara tidak langsung telah teknik tersebut cenderung berbau tidak sedap baik ditinjau dalam perspektif agama maupun perspektif yang lain. Oleh sebab itu, pola-pola pencitraan semacam itu sejatinya akan merusak nuansa indah dibentuknya lembaga KPK itu sendiri. Nuansa indah dalam penegakan hukum akan tercipta atau terwujud bila proses dan pola-polanya tidak menyimpang dari ideologi bangsa yang besar ini, yaitu Pancasila sila ke dua: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sementara teknik-teknik penegakan hukum yang bermuara dari pencitraan ala saudara Busro Muqadas dan saudara Bambang W yang dijadikan “pokok” sangat tidak pancasilais, karena tidak menyentuh pada substansi penegakan hukum itu sendiri. Penegakan hukum secara konprehensif barometernya tidak hanya sekedar banyak dan tidaknya koruptor yang di cebloskan ke penjara, sementara tidak memiliki nilai alias hampa. Maka perlu intropeksi diri, mengapa semakin gencarnya KPK justru pelaku korupsi semakin menjadi-jadi? Inilah yang dimaksud penulis bahwa penegakan hukum masih sebatas kulitnya saja. Dalam perspektif agama, sebuah pekerjaan akan memiliki nilai dan pengaruh positif jika dilaksanakan oleh para eksekutor-eksekutor yang memiliki jiwa ikhlas. Saya tidak akan menuduh bahwa para penegak hukum tidak ikhlas, melainkan bagiamna membangun pondasi terdasar dalam proses pemberantasan korupsi ini mempunyai nilai-nilai substantif dengan membenahi getaran hati kearah yang lebih baik dan bernilai religi. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan penegakan hukum secara konprehensif; dimulai dari niat sehingga penegakan hukum dapat mempersatukan masyarakat. Janganlah penegakan hukum yang luhur dilakukan justru akan memperpecah belah masyarakat akibat ulah oknum aparat penegak hukum itu sendiri. 
KPK Tetap Harus Ada 
Institusi lembaga KPK sampai saat sangat dibutuhkan keberadaannya sebagai suatu sistem lex spesialis. Sebagai benda mati, institusi KPK tidak bisa diperdebatkan antara salah dan benar. KPK harus tetap dikawal bukan berarti karena institusi lembaga penegak hukum mengalami kecapean, melainkan karena fungsinya sebagai lembaga lex spesialis. Yang perlu dibangun dan diperbaiki adalah para pelaku yang mengendarai institusi KPK agar dapat menjadi sopir berjalan sesuai dengan koridor hukum, nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang beradab, termasuk didalamnya tidak menuduh lembaga lain sebagai lembaga yang tidak peka terhadap proses pemberantasan korupsi. Kendati didunia ini bersifat subjektif, tetapi manusia harus berusaha bersifat objektif dalam melihat dan menilai “orang lain”, karena menilai orang lain itu lebih mudah daripada menilai diri sendiri. Hukum boleh saja tidak boleh berlaku surut, tetapi dalam konteks menilai harus berlaku surut artinya, lntropeksi diri itu lebih negarawan ketimbang sibuk menilai orang lain. Oleh sebab itu, semua unsur perlu mendorong dang mengawal bagaimana semua lembaga penegak hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Peradilan dapat berisnergi dalam proses penegakan hukum secara luas. Hal ini hanya bisa dibangun apabila dibangun dengan pondasi dan nilai-nilai yang berbudi luhur. 
Wassalam 
Penulis adalah: Ketua Umum Deawan Pengurus Pusat Ikatan Alumni Pondok Pesantren Miftahul Ulum (IKAPMI) Malang dan Alumni Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Malang
Doc. 2014
Read More..

Kamis, 20 Februari 2014

MOMENTUM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 UNTUK MEWUJUDKAN MIMPI-MIMPI YANG TERABAIKAN

Oleh: SABUR MS, S.H.I., M.H 


Pembinaan, Pengawasan dan Visi Misi Kepala Sekolah bagian tak terpisahkan dari sistem Pendidikan.. Setiap perubahan kurikulum selalu menimbulkan pro dan kontra baik dari kalangan politisi, masyarakat dan pengelola pendidikan. Fenomina tersebut ibarat suatu yang wajar mengingat potret demokrasi identik dengan perbedaan sehingga pemerintah terus berjalan sesuai dengan keyakinan Ijtihadnya.
Secara substantif, setiap perubahan kurikulum yang dilakukan pemerintah tentu mempunyai niat dan angan-angan yang lebih baik kedepannya dan itu tidak disalahkan menurut Hukum. Akan tetapi niat dan angan-angan yang baik tidaklah cukup hanya sekedar dirubah “tema kurikulumnya” sementara proses implementasinya masih tetap mengalami stagnan. Proses Pembinaan dan Pengawasan Perubahan sistem kurikulum selalu berjalan pincang dalam proses implementasinya, kepincangan tersebut berkaitan dengan proses pendukung dari kurikulum itu sendiri. Proses pendukung sangat menentukan keberhasilan setiap “pergantian” kurikulum yang selalu di desain dengan cantik. Pendukung proses implementasi yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan SDM yang kurang memadai. Karena keterbatasan SDM yang selama ini dijadikan kambing hitam bukan permasalahan yang fundamintal sebagai satu-satunya tolak ukur keberhasilan dan kegagalan dari setiap pergantian kurikulum. Melainkan yang paling fundamintal adalah proses pembinaan dan pengawasan dari setiap implementasi kurikulum tersebut. Sebagai penjangga dari semua bentuk program, proses implementasi pembinaan dan pengawasan tidak hanya sekedar asal dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan peraturan yang ada, proses tersebut membutuhkan komitmen dari perangkat pelaksana sebagai ujung tombak. Oleh sebab itu, proses pembinaan dan pengawasan harus benar-benar berjalan mulain dari pusat sampai tingkat kabupaten dan kota sehingga objeknya tidak hanya pengelola sekolah melainkan disemua tingkatan saling memberikan evaluasi dan penilaian secara objektif. Ini merupakan sebuah mimpi yang diharapkan menjadi kenyataan sehingga angan-angan untuk menjadikan lembaga pendidikan yang berkwalitas dan berdaya saing dapat diwujudkan. Proses pembinaan dan pengawasan yang berjalan hanya bertumpu kepada penilaian administratif yang dipenuhi dengan aneka macam pewarna sehingga tampak cantik dan bersih sehingga membuat semua terpesona. Dunia pendidikan kita selalu dibayangi dengan mimpi-mimpi besar akan tetapi tidak serius mempermasalahkan proses pembinaan dan pengawasannya. Yang sering menjadi permbicaraan justru masalah kesejahteraan, masalah bantuan, masalah anggaran dll. Manusia tidak akan pernah merasa sejahtera, karena kesejahteraan tidak bisa sekedar diukur dengan seberapa besar gaji yang diterima melainkan sejauhmana rasa “tasyakur”-nya kepada Alloh sebagai dzat pemberi rezeki. Contoh program sertifikasi guru yang tengah berjalan, apa yang didapatkan dari program tersebut? Ternyata tidak membawa perubahan signifikan terhadap kwalitas pendidikan kita.! Yang ada justru berlomba-lomba bagaimana bisa masuk dan lolos sertifikasi sementara bagaimana lembaga pendidikan yang berkwaliatas hanya dijadikan pemikiran dan bahan pemoles di kerta putih saja. Potret ini mengingatkan kita betapa mudahnya seseorang terkesima oleh sebuah kecantikan semu sehingga tidak mampu membedakan dan memposisikannya. Kecantiakan dalam konteks pengelolaan dan implementasi sebuah lembaga seharusnya tidak bertumpu kepada aspek formal yang justru sering menjebak kita kepada sesuatu yang menjadi inti dari penilaian tersebut. Rendahnya Kinerja Kepala Sekolah Disamping maksimalisasi proses pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga pendidikan, seorang kepala sekolah merupakan ujung tombak terakhir dalam mensukseskan setiap implementasi kurikulum pendidikan. Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya melakukan kerjasama yang baik dengan lembaga atau yayasan yang menaunginya. Kerjasama ini dapat dilakukan berupa pemberian pemahaman tentang bagaimana membangun sistem pendidikan yang berkwalitas. Membangun lembaga pendidikan yang berkwalitas harus dimulai dari rekrutmen kepala sekolah itu sendiri, mulai dari visi misi, kemampuan dan target yang akan dicapai selama menjabat. Kepemimpinan tidak bisa hanya difokuskan kepada sarjana tertentu, karena kepemimpinan berkaitan dengan pemikiran atau gagasan-gagasan yang memiliki orientasi terhadap kemajuan lembaga tersebut. Maksimalisasi peran kontrol yayasan sebagai penaung terhadap lembaga pendidikan sangat membantu proses pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai baromiter perkembangan sustu lemabaga pendidikan. Kerjasama seperti tersebut diatas belum sama sekali dilakukan oleh pihak pemerintah. Sehingga tidak sedikit, yayasan hanya diposisikan sebagai tukang stempel dan tidak melaksanakan tugas kontroling yang telah menjadi keajibannya. Hal ini dikarenakan pihak yayasan tidak mengetahui fungsi yang sebenarnya, sementara pihak pemerintah tidak menyentuh apalagi memperhatikan eksistensi yayasan sebagai penaung sustu lembaga pendidikan. Akibatnya, rekrutmen kepala sekolah tidak didasari kepada kemampuan, tetapi berorientasi kepada terhadap hubungan nasab kekeluargaan. Kendati dalam Undang-undang tidak dilarang, akan tetapi proses pendidikan yang berkwalitas tidak bisa dibangun dengan asas tersebut. Terlebih pendidikan berkaitan dengaan masa depan siswa/i untuk mencapai tujuan yang diimpikannya. Maka dari itu, paradigma terhadap pengelolaan pendidikan perlu diperbaiki dan dikembangkan agar bisa menjadi pijakan. Jangan paradigma “Ikhlas” yang diwariskan oleh para ulama’ kemudian dikotori dengan paradigma “materi” yang bersifat pragmatis. Sebab sifat pragmatisme hanya akan mewariskan instanisasi dalam upaya memperoleh suatu tujuan yang kerap mengabaikan nilai-nilai etik serta tujuan awal didirikannya pendidikan itu sendiri. Penataan Mental Sebagai bagian dari “sub sistem” dari pendidikan, maka pembinaan dan penataan mental moral bagi semua unsur yang terlibat harus dianggap sebagai sub sistem yang harus dilakukan dengan target maksimal. Prof. Dr. H. M. Mahfud MD dalam suatu diskusi disalah satu stasiun telivisi mengatakan bahwa permasalahan bangsa ini tidak lagi bergantung pada sistem, melainkan pada aspek moralitas manusianya. Moralitas tentunya sangat erat kaitannya dengan masalah-masalah spiritual religius setiap manusia sebagai fundamin dalam mengontrol prilaku manusia. Sementara sistem hanya bagian terkecil dalam upaya mengontrol prilaku manusia secara dhohir. Kontrol terhadap prilaku manusia tentunya kurang relevan bila hanya bertumpu pada sisi dhohirnya, sementara dari aspek moral religiusnya diabaikan. Padahal awal perbuatan manusia tidak akan begitu saja direalisasikan bila tidak ada dorongan dari dalam (hati sanubari), sementara hati sanubari akan dapat memancarkan sinyal positif bila dibangun dengan pondasi spritual religius yang mencukupi. Konsep ini merupakan pola sistem pembinaan dan pengawasan secara integratif sehingga diharapkan manusia dapat melatih dirinya agar bisa belajar malu dan takut kepada Alloh, bukan takut kepada penegak hukum seperti Polisi, Kejaksaan maupun KPK. Akibat garingnya nilai-nilai moral religius yang di miliki, maka tidak jarang para pejabat Negeri ini terjebat pada perbuatan syirik kepada Alloh. Mengapa harus terjadi demikian(?) mungkin permasalahannya tidak sesederhana yang kita fikirkan, akan tetapi realitas ini perlu mendapat perhatian serius mengingat kondisi aparatur negara ini sudah mengami krisis berkepanjangan yang belum ditemukan solusinya. Sisa mimpi ini merupakan bagian dari permasalahan bangsa ini yang perlu mendapat perhatian untuk mencapai dan membawa lembaga pendidikan bangsa ini yang benar-benar memiliki daya saing dan disegani oleh bangsa lain.
Doc. 12 Januari 2014 Read More..

Minggu, 04 Agustus 2013

PUASA DALAM PERSPEKTIF SEHARI-HARI

Oleh: 
SABUR MS, S.H.I, M.H



Pendahuluan
Bulan Ramadlan adalah bulan yang identik dengan kewajiban berpuasa bagi umat Islam. Pemaknaan puasa bagi masyarakat cenderung diartikan sebuah perbuatan yang tidak makan dan minum pada siang hari. Pemaknaaan yang sangat sederhana ini merupakan pengertian umum yang telah mngakar disegenap lapisan masyarakat. Dengan pengertian puasa yang cukup sederhana tersebut, masyarakat muslim mudah mengimplementasikan bagaimana cara ketika tiba datangnya bulan Ramadlan. Semua tempat-tempat ibadah, musolla maupun masjid penuh dengan semarak lantunan kalamulloh sehingga suasana Ramadlan sangat indah dan menyejukan hati. Terlepas dari semua itu, apakah benar puasa hanya sekedar menahan lapar dan dahaga seperti yang diartikan oleh masyarakat pada umumnya?
Yang Tersisa dalam Puasa
Semua orang akan selalu bermimpi akan besarnya pahala yang akan diperoleh sehingga surga seakan sudah ada dihadapannya. Hal yang demikian bukan suatu kesalahan, berharap sesuatu yang ia lakukan merupakan suatu yang wajar termasuk menharap pahala bagi orang yang melakukan ibadah puasa. Akan tetapi, apakah harapan besar yang mereka angan-angankan sudah sesuai dengan hakikat substansi Ibadah Puasa tadi? Menahan makan dan minum hanya bagian dari substansi Ibadah Puasa. Tujuannya agar orang-orang yang mampu dapat merasakan bagaimanan susah payahnya menahan rasa lapar bagi orang miskin ketika tiada makanan yang akan dimakan. Hikmah dari hal tersebut diharapkan akan menimbulkan kepekaan sosial yang lebih mendalam bagi orang yang mampu secara ekonomi untuk berbagi dan peduli terhadap masyarakat yang lemah dalam segi ekonomi. Akan tetapi, melakukan ibadah puasa yang hanya bertumpu pada katahanan menahan lapar dan dahaga sangatlah tidak cukup bahkan masih jauh dari substansi Ibadah Puasa tersebut. Melainkan bagaimana nilai ibadah puasa yang dilakukan dapat memberi nilai yang lebih substantif, yaitu menahan diri dari segala bentuk perbuatan yang dapat membatalkan nilai atau pahala puasa tersebut. Menahan lapar dan dahaga hanya merupakan syarat formal yang dapat dikategorikan ibadah puasa itu sah. Syarat formal tidak akan memberi nilai lebih bila tidak diiringi dengan syarat materiil yang terkandungnya. Apa itu syarat materiil dalam puasa tersebut? Syarat materiil dalam melakukan ibadah puasa adalah bagaimana kita dapat menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat menghilangkan pahala puasa. Seperti contoh, kita disuruh mencangkul lahan tapi tidak diberi pahala apakah kita mau? Tentunya tidak.!!! Sekalipun melakukan ibadah puasa tidak sama dengan orang mencangkul, akan tetapi motivasi orang untuk melakukan ibadah puasa tidak hanya semata-mata karena adanya ancaman sisksaan dari Alloh melainkan pahala besar yang Alloh janjikan akan menjadi motivasi tersendiri. Hal itu tidak bisa dipungkiri. Dan hal tersebut memang janji Alloh kepada orang yang melakukannya yang tidak akan Alloh ingkari. Realitas ini memebrikan hikmah pada kita semua bahwa sebelum berharap pahala besar dari ibadah puasa yang dilakukan, baiknya intropeksi diri lebih jauh; apakah ibadah puasa kita sudah memenuhi syarat materiil(?) Bila ibadah puasa yang kita lakukan hanya bersifat serimonial (tidak makan dan tidak minum) maka kita akan terbak terhadap kesederhanaan pengertian tentang ibadah puasa itu sendiri. Kaitannya dengan hal ini, kita cenderung menjaga bagaimana perut tidak di isi bentuk makanan apapun. Tetapi kita tidak mampu menjaga kemurnian ibadah puasa dengan mengunci “mulut dan hati” untuk tidak berbuat hal-hal yang dilarang Alloh, seperti menggunjing, memfitnah, hasud, dengki dan lain sebagainya. Hal itulah yang cenderung kita lupakan, padahal perbuatan tersebut dapat menguburkan mimpi-mimpi yang diharapkannya. 
Puasa Seutuhnya
Oleh sebab itu, agar harapan dan mimpi yang diharapkan dalam melakukan Ibadah Puasa tersebut kita harus mampu mengartikan ibadah puasa secara konprehensif. Artinya puasa tidak hanya di identikan dengan menahan lapar dan dahaga, puasa merupakan bentuk amaliah yang diwajibkan untuk dilakukan oleh segenap unsur-unsur yang ada pada diri anggota badan manusia. Mulai dari mulut, mata, hati, tangan, kaki dan lain sebagainya. Artinya kita ketika melakukan ibadah puasa harus seutuhnya, sehingga semua unsur yang terdapat pada anggota badan saling mendukung antara satu sama yang lain. Seperti “mulut’ harus mendengar bagaimana rintihan “perut” karena menahan lapar sehingga “mulut” jangan sampai melakukan perbuatan maksiat yang dapat merusak nilai pahala ibadah puasa. Begitu juga unsur badan yang lain. Kesenergian inilah yang nantinya akan mendapat namanya “pahala puasa”, tanpa demikian kita hanya melakukan suatu perbuatan yang bersifat serimonial yang miskin dari nilai-nilai pahala ibadah puasa itu sendiri. Apa ini yang kita harapkan dalam ibadah puasa kita.!! Dalam Puasa ada dua bentuk kata mem-Batal-kan: 1. Membatalkan Puasa dan Pahalanya Membatalkan puasa dan pahalanya apabila kita melakukan tindakan yang memasukan makanan kedalam perut pada waktu siang. 2. Membatalkan nilai pahala Puasa Sementara membatalkan nilai pahala puasa adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang kita lakukan selama melakukan ibadah puasa. Seperti korupsi dll. Dua persepektif tersebut secara hukum ada pebedaannya, namun secara substansinya kedua bentuk kata “membatalkan” saling berkaitan sehingga tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling melengkapi, ibarat suami istri yang selalu saling “memberi” terhadap kekurangan masing-masing. Sungguh indah sekali bila hal tersebut bisa kita lakukan dan kita artikan secara baik sehingga kita akan mendapat dua keuntungan; keutungan dunia dan keuntungan akhirat. Ibadah Puasa terasa nikmat bila dapat kita lakukan seutuhnya. 
Penutup
Sebagai kata penutup, mari kita renungi apakah ibadah puasa yang kita lakukan selama sebulan ini telah memenuhi unsur darI syarat-syarat yang diuraikan diatas(?) Hanya kita sendirlah yang bisa menjawabnya secara objektif. Wallohu a’lam bissowaf.. Malang, 04 Agustus 2013.
Read More..

Senin, 08 Juli 2013

DIBALIK “INDAHNYA” PERSELINGKUHAN

Oleh: 
SABUR MS, S.H.I., S. Pd, M.H


Pendahuluan
Hari sabtu, 04 Mei 2013 jam 11:20 ada satu anggota msyarakat yang berkonsultasi kepada penulis mengenai Istrinya yang berselingkuh (sampai punya anak berusia 1 tahun) dengan laki-laki lain. Dia minta pendapat hukum agar lelaki selingkuhan istrinya di hukum. Sebelum mendatangi penulis, dia pernah melaporkan kasusnya tadi baik ke Polsek maupun ke Polres, tapi pihak kepolisian ternyata tersandra oleh KUHP Pasal 284 ayat (5) yang mensyaratkan agar pihak suami sah (pelapor) menceraikan istrinya terlebih dahulu. Akibatnya, pihak suami tadi tidak jadi melaporkan karena masih cinta dan sayang pada istrinya yang berselingkuh karena faktor adanya anak.
Penggalan kisah diatas merupakan kisah nyata yang dialami oleh seorang. Terlepas dari itu, penulis sempat kaget ketika laporannya ditolak oleh Polres Malang karena alasan KUHP Pasal 284 ayat (5) Dalam KUHP Pasal 284 ayat (5), memang menyebutkan bahwa ketika istri yang berselingkuh ketika mau dipidanakan harus diceraikan terlebih dahulu. Benarkah KUHP Pasal 284 ayat (5) berlaku generalis? Umat Islam Tidak Terikat KUH Perdata Pasal 27 Didalam hukum yang berkaitan dengan masalah Perkawinan ada dua jenis hukum yang mengatur, yaitu KUH Perdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua jenis hukum tersebut memiliki ruang dan cakupan yang berbeda. Perbedaan tersebut terkait dengan status agama seseorang, artinya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan lebih bersifat lex spesialis karena norma hukumnya hanya mengikat kepada orang-orang yang beragama Islam. Seentara KUH Perdata hanya belaku terhadap masyarakat yang beragama non Muslim. Hal ini di tegaskan dalam BAB XIV Ketentuan Penutup UU no. 1/974 Pasal 66 menyatakan bahwa: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diataur dalam KUH Perdata ................ sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.. Kedua jenis UU yang mengatur tentang perkawinan seharusnya betul-betul difahami oleh pihak penegak hukum khusunya Kepolisian. Karena perbedaan tersebut tidak hanya sebatas perbedaan nama/judul melainkan juga berkaitan dengan norma-norma hukum yang terkandung didalamnya. Insiden penolokan laporan masyarakat terkait dengan perselingkuhan sebagaimana diuraikan diatas dengan alasan KUHP Pasal 284 ayat (5) merupakan kesalahan besar. Dampaknya adalah akan terjadi “seakan-akan” telah terjadi kekosangan hukum dan terbengkalainya keadilan hukum dan rasa keadilan hukum dimasyarakat. Tentunya hal tersebut tidak perlu terjadi bila para penegak hukum kita dapat terus meningkatkan kwalitas keilmuannya dibidang hukum serta terus mengikuti perkembangan hukum yang ada. Bila kita fahami bersama, sebenarnya Pasal 66 telah mempertegas bahwa kaitan dengan permasalahan perkawinan, umat Islam hanya tunduk kepada UU no. 1/1974. Oleh sebab itu, sekalipun sama-sama menganut asas monogami, akan tetapi semenjak di undangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, umat Islam secara yuridis telah memiliki UU tersendiri yang kemudian disempurnakan dengan Kompilasi Hukum Islam. Konsekwensi dari lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, ketentuan Pasal 284 ayat (5) secara yuridis sudah tidak lagi bisa dikaitkan dengan seorang yang beragama Islam selama ketentuan ayat (5) ditafsikan sebuah keharusan tanpa dilihat substansi kandungan normanya. Karena ststus lex generalis-nya KUH Perdata tidak bisa menyentuh terhadap status lex spesialis yang dimiliki oleh UU No. 1/1974, terlebih keberadaan Pasal 284 ayat (1) tidak bisa dengan semerta-merta menjustifikasikan terhadap ayat (5) melainkan ayat (5) secara tidak langsung telah mengakui keberadaan norma yang terkandung dalam Pasal 66 UU n0. 1/1974. Rialtas ini dapat kita fahami kalimat dan kata demi kata yang termuat dalam Pasal 284 ayat (5). Untuk itu, bila kita cermati bunyi Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana sebenarnya tidak sekaku yang dibayangkan oleh sebagian penegak hukum kita, karena dalam susunan kalimatnya Pasal 284 ayat (5) didahului dengan kalimat: Jika bagi suami-istri berlaku Pasal 27 BW................................. Dengan demikian, apakah ummat Islam masih terikat dengan KUH Perdata? Tentu jawabannya TIDAK. Dalam UU No. 1/1974 Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya disebutkan oleh pasal 39 ayat (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa anatara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Alasan yang dimaksud diperjelaskan dalam Penjelasannya, diantaranya adalah salah satu pihak berbuat zina .................. Begitu juga yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116 bahwa norma perzinahan yang dilakukan oleh seorang yang telah berumah tangga hanya bersifat fakultatif. Jadi norma yang terkandung bila kita fahami secara benar hanya bersifat fakultatif, bukan inperatif karena tiadanya secara konkrit menjelaskan bahwa perbuatan zinah dapat membatalkan Pernikahan atau wajib bagi sang suami menceraikan istrinya. Artinya Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana tidak mengikat secara hukum sehingga perselingkuhan/perzinhan yang dilakukan oleh suami/istri tidak harus bercerai terlebih dahulu ketika kasus pidananya akan diproses secara hukum. Apakah tidak bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 284 Ayat (1) angka 1 huruf a, b dan angka 2 huruf b? Dimana dalam normanya masih menyebut keberadaan Pasal 27 KUH Perdata terkecuali ayat (1) angka 2 huruf a yang sengaja diperuntukan kepada seorang suami yang melakukan perzinahan. Kendati Pasal 284 ayat (1) masih sangat kental aromanya terhadap keberadaan Pasal 27 KUH Perdata, akan tetapi norma-norma yang terkandung dalam angka 1 dan 2 tidak bisa semerta-merta dapat menyingkirkan keberadaan Pasal 284 ayat (5). Artinya kekuatan norma hukum lebih mengikat yang terdapat dalam Pasal 284 ayat (5) ketimbang norma yang ada di sebutkan dalam angka 1 dan 2 Pasal 284 ayat (1). Sebab antara ayat (1) dan ayat (5) merupakan satu kesatuan norma yang terintegral dan tidak dapat dipahami secara parsial. Terkecuali apabila kandungan norma yang terdapat dalam Pasal 284 ayat (1,5) KUH Pidana bersifat alternatif sehingga antara ayat (1) dan (5) tidak mempunyai keterikan norma. Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa keberadaan ayat (5) dalam Pasal 284 KUH Pidana yang menitik beratkan perselingkuhan kepada KUH Perdata Pasal 27 tidak bisa secara hukum diajadikan sebuah alasan ditolaknya laporan perselingkuhan/perzinahan yang dilakukan seorang Istri. Sebab kendati asas perkawinan dalam UU no. 1/974 tentang Perkawinan Pasal 3 ayat (1) mempunyai kesamaan dengan KUH Perdata Pasal 27, akan tetapi UU no. 1/1974 melalui Pasal 66 secara inplisit telah menjelaskan tentang wilayah kewenangan masing-masing. Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana Bentuk Legalisasi Perzinahan? Justru Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana merupakan bentuk norma yang cukup anti terhadap perselingkuhan/perzinahan. Andai Pasal 284 KUH Pidana tidak menempatkan ayat (5) sebagai bagian dari Pasal 284, maka perbuatan zinah yang dilakukan oleh seorang muslimah akan sulit diproses secara pidana terlebih dalam pasal selanjutnya tidak menyinggung terhadap delik pidana yang secara spesifik mengaturnya. Dikatakan sulit untuk diproses, sebagaimana disebutkan diatas, berkaitan dengan keberadaan UU no. 1/1974 yang berfungsi sebagai leg spesialis bagi orang muslim. Artinya, seorang muslim hanya tunduk kepada UU no. 1/1974 bukan kepada KUH Perdata, sementara Pasal 284 Ayat (1) secara jelas lebih mengkaitkan delik perzinahan terhadap Pasal 27 KUH Perdata. Bila hal itu terjadi, maka yang akan terjadi adalah tiadanya kepastian hukum karena dianggap terjadi kekosongan hukum. Jangan sampai ada anggapan bahwa Pasal 284 justru sebagai penghalang seorang suami untuk mempertahankan cintanya kepada sang istri (yang berselingkuh/berzinah dengan dengan laki-laki lain). Karena pada prinsipnya, penegakan hukum sebagai salah satu upaya bagaimana menanamkan rasa jera, demikian juga seorang suami ketika ingin melaporkan delik pidana yang dilakukan sang istri kemungkinan hanya bentuk pendidikan dan pembelajaran agar dikemudian hari perbuatan zinah tidak diulangi lagi. Dalam konteks ilmu hukum dan HAM tentunya tidak ada yang perlu dipermasalahkan, berbeda dengan konteks sosial karena masih sangat kental dengan adat dan kebudayaan yang berlaku sehingga bila ada seorang istri berzinah dengan laki-laki lain maka solusinya cuma satu, yaitu “diwajibkan” bagi suami untuk mencerainya. Tentunya antara norma hukum dengan adat tidak semerta-merta bisa di adu atau dibenturkan begitu saja. Untuk itu, penulis berpendapat bahwa permasalahan Perselingkuhan/perzinahan yang dilakukan oleh seorang yang beragama Islam tidak ada kaitannya dengan ketentuan Pasal 27 KUH Perdata sebagaimana di sebutkan Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana. Demi kepastian hukum dan keadilam hukum dimasyarakat, seorang muslimah yang berumah tangga namun melakukan perzinahan dengan laki-laki lain tetap wajib tindak pidananya diproses oleh penegak hukum tanpa harus menunggu adanya perceraian bila seorang suami melaporkannya. Lalu Pasal yang mana untuk dijadikan dasar hukum? Penulis tetap berpendapat, Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana tetap bisa dijadikan dasar hukum untuk menjerat para pelaku perzinahan. Karena 284 ayat (5) KUH Pidana yang dengan jelas memberikan alternatif hukum, sementara pasal-pasal selanjutnya justru hanya berkaitan dengan perkawinan dibawah umur dan persetubuhan dengan paksa. Perlu Tingkatkan SDM Penegak Hukum Kita Selama ini, penegak hukum kita masih memposisikan diri sebagai corong UU, bukan sebagai pencipta rasa keadilan dimasyarakat. Peran corong hanya menyuarakan apa yang disuarakan dari yang ia baca. Dalam konteks kajian ilmiah, peran sebagai corong (murni) bagi seorang penegak hukum sangat tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu hukum yang semakin modern. Dinegara-negara maju seperti Eropa, substansi pengakan hukum bukanlah semata-mata terletak pada penegakan norma, melainkan sudah berjalan pada substansi penegakan hukum itu sendiri, yaitu penegakan keadilan dimasyarakat. Apakah di Indonesia belum mengarah kesana? Kalau kita pahami secara konprehenshif, UU Kehakiman sudah mengarahkan bagaimana penegakan hukum tidak hanya terjerat oleh bunyi sebuah norma, akan tetapi seorang hakim masih diberi kewenangan agar memutus sebuah kasus berdasarkan keyakinan-nya. Artinya ada keseimbangan antara ketentuan norma hukum dengan keyakinan seorang hakim, sehingga seorang hakim bisa melakukan ijtihad hukum apabila norma yang ada justru mendistorsi rasa keadilan dimasyarakat. Ijtihad hukum tentunya tidak hanya dimaknai sebagai kewenangan seorang Hakim, penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan juga harus melakukan juga sekalipun sifatnya masih permulaan. Karena demikian, semestinya semua unsur penegak hukum mampu menterjamahkan kekuasaan seorang hakim yang luar biasa tersebut sehingga tidak terjadi alasan-alasan yang justru akan mencederai keadilan masyarakat. Sangat aneh, bila sebuah negara hukum tapi masih ada sebuah kasus ditelantarkan karena semata-mata alasan norma hukum yang dilanggar kurang relevan. Contoh kasus diatas, apabila seorang suami tetap tidak mau menceraikan apakah lantas delik pidananya lalu dibiarkan? Hal ini yang akan menjadi benih tumbuhnya hukum rimba dimasyarakat. Para penegak hukum harus mempunyai keberanian melakukan diskresi baik polisi maupun kejaksaan, jangan terlalu kaku melihat dan menterjemahkan sebuah teks yang ada dalam UU. Akan tetapi bagaimana teks mati tersebut bisa hidup dengan pola interpretasi yang terintegratif sesuai dengan kaedah-kaedah ilmu hukum. Untuk mengantisipasi terjadinya main hukum sendiri oleh masyarakat, tidak ada alasan lain kecuali dengan meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM)nya dimasing-masing instansi penegakan hukum kita, mulai dari kepolisian, kejaksaan dan kehakiman termasuk anggota DPR sebagai pembuat norma hukum.
Read More..