Selasa, 03 April 2012

FENOMINA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN MISKINNYA KEPEMIMPINAN YANG VISIONER 

 Oleh: SABUR MS, S.H.I, S. Pd, MH 


 Ketika berbicara tentang lembaga pendidikan selalu yang dijadikan topik adalah masalah anggaran dan kesejahteraan guru dengan argumentasi harus secepatnya mengimplementasikan amanat UUD 45 untuk mengalokasikan 20% anggaran pendidikan dalam APBN tanpa diimbangi dengan pengawasan dan pembinaan yang memadai. Opini tersebut sebenarnya akan menjatuhkan nama tenaga kependidikan yang diorientasikan sebagai ajang pemenuhan kebutuhan. Pada hal, berbicara pendidikan tidak hanya terkait dengan permasalahan anggaran, berbicara pendidikan juga erat kaitannya dengan profil kepemimpinan seorang Kepala Sekolah/Madrasah yang perlu diukur kelayakan untuk duduk sebagai Kepala. Yang menjadi pertanyaan penulis adalah, apakah permasalahan kwalitas kepemimpinan Kepala Sekolah sudah mendapat perhatian serius dari pemerintah? Ada yang Terlupakan Ada hal yang tersisa dalam perhatian publik tentang fenomina pendidikan yang ada di negara ini, yaitu kepemimpinan yang visioner. Selama ini kalau penulis perhatikan publik hanya melihat bahwa mutu sustu lembaga pendidikan dinilai secara parsial-matrealistik, semua tertuju dan diorientasikan pada minimnya kesejahteraan guru dan minimnya sarana yang memadai. Tentunya argumentasi tersebut tidak bisa salahkan, namun adanya sarana-prasarana yang memadai tidak akan bisa menutupi “lubang” secara signifikan apabila tidak diringi dengan kepemimpinan yang memiliki arah program yang akan tercapai. Program kerja merupakan salah satu instrumen bagaimana obsesi yang dimiliki seorang kepala dalam upaya mengarahkan lembaga pendidikan yang berorientasikan terhadap mutu dan kwalitas yang akan diperoleh. Fenomina ini masih menjadi momok bagi mayoritas lembaga pendidikan terutama pendidikan swasta, sehingga solusi pemenuhan kesejahteraan serta sarana-prasarana nantinya akan hanya dijadikan semacam benda bersejarah; disimpan tampa diambil manfaatnya. Rialitas ini tidak sedikit terjadi sekolah/madrasah; seperti ada lab tapi tidak pernah difungsikan pada siswanya namun tetap dikenai biaya Lab. Sekarang lembaga pendidikan kita tidak hanya sekedar membutuhkan alokasi dana yang banyak, melainkan pembinaan manajemen kepemimpinan yang sangat mendesak untuk dilakukan. Sementara ini, pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah hanya baru sekedar ada tapi masih jauh dari apa yang diharapkan. Karena manajemen pembinaan dari pemerintah sendiri masih jauh dari kesan serius, mulain dari system pelatihan, pengawasan, evaluasi dan kontrol terhadap lembaga masih terkontaminasi oleh system manajemen ewuh pakewuh. Hal ini tentunya akan merugikan semuanya baik pengelola pendidikan, pemerintah terutama anak didik itu sendiri. Barometer manajemen mutu lembaga pendidikan sementara ini hanya terfokus pada penilaian administratif-formalistik. Barometer tersebut merupakan salah satu fenomina kebijakan yang sangat berperan terhadap bagaimana kegagalan pengelolaan suatu lembaga pendidikan. Sebab system penilaian tersebut hanya akan mengajarkan bagaimana para pengelola lemabaga pendidikan untuk berbuat manipulatif hanya sekedar untuk menutupi kelamahan dan ketidakmampuan dalam mengelola pendidikan yang baik. Maka tidak mau tidak, pemerintah harus segera membuat relugasi baru terkait kriteria seorang kepala sekolah/madrasah dengan menggunakan system yang benar-benar profesional dan obyektif agar dapat disinergikan oleh Yayasan (bagi swasta). Miskinnya Visi dan Misi Kepala Untuk mengukur kwalitas suatu lembaga pendidikan sangatlah tidak sulit, panggil saja kepalanya dan tanyakan apa Visi dan Misi yang akan diterjamahkan dalam suatu program selama satu semester.!! Sebab lembaga pendidikan merupakan salah satu tiang jangkar negara ini, sehingga pengelolaan pendidikan sangat dituntut agar benar-benar dikelola dengan baik agar out put-nya menghasilkan generasi yang dapat di banggakan. Kita sangat tidak relevan bila membicarakan pendidikan hanya terfokus pada kesejahteraan guru tetapi melupakan kepemimpinannya. Menjadi Kepala sekolah/madrasah sama halnya dengan menjadi Presiden, yang membedakan Cuma tugas serta cakupan wilayahnya yang berbeda. Sementara visi dan misi adalah hukum wajib yang harus dimiliki, sebab sebagai nahkoda bertanggungjawab terhadap keselamatan “penumpang” agar bisa sampai kepada tujuannya masing-masing. Kebutuhan Lembaga pendidikan kita saat ini adalah kepemimpinan yang visioner: berintegritas dan memiliki loyalitas tinggi terhadap kemajuan sebuah pendidikan, tanpa adanya hal tersebut maka seorang tersebut akan hanya memperburuk cintra pendidikan karena hanya akan menghasilkan mimpi tapi tidak mampu bagaimana mimpi dapat menjadi inspirasi dalam upaya penataan diri melalui dunia pendidikan yang ada. Kita sangat sedih tentunya bila melihat realitas dunia pendidikan yang masih jauh dari harapan yang sesungguhnya. Namun harapan tersebut masih terbuka lebar dalam upaya membangun dunia pendidikan yang sesungguhnya, yaitu mari kita reformasi manajemen yang berbasis administratif menuju system manajemen berbasis kompetensi. Perubahan pola system manajemen tersebut akan berpengaruh besar terhadap kepemimpinan dan pengelolaan sekolah/madrasah. Kendati demikian, perubahan system manajemen tersebut tidak akan memberikan pengaruh yang cukup bila tidak diiringi dengan pola rekrutmen mulai dari tingkat pusat. Karena hal tersebut bersifat integratif dan adanya saling keterkaitan, baik yang akan mengevaluasi, memonitoring dan mengontrol dengan lembaga pendidikan yang akan dijadikan obyek. Jadi, kebutuhan lembaga pendidikan untuk menjadi salah satu lembaga pendidikan yang berdaya saing dan berdaya tawar harus dilihat sebagai kebutuhan yang bersifat integratif bukan parsialitatif. Oleh sebab itu, sinkronisasi harus diwujudkan terlebih dahulu dengan membuat suatu regulasi yang steril dari kepentingan parsial/kelompok tertentu. Setelah itu penataan system manajemen harus ikuti dengan paola rekrutmen yang trasparan. Pola tersebut diharapkan pada akhirnya akan menghasilkan para aparat yang benar-benar bertanggungjawab terhadap tugasnya sesuai dengan amanat yang telah ditetapkan dalam sebuah peratuaran atau UU. Untuk mewujudkan hal tersebut, membutuhkan perangkat hukum yang lebih kenyal dan tidak kaku sehingga proses reformasi system manajemen pendidikan kita akan membawa angin segar bagi perkembangan dan kemajuan bagi masyarakat. Bisakah kita? Kita Pinter Tapi Tidak Kreatif Mungkin secara ke ilmuan Bangsa Indonesia adalah jagonya. Tetapi sayang kita masih terbelenggu oleh yang ada sehingga mematikan sifat kreatifitas kita sebagai seorang ilmuan. Matinya kreatifitas ini diantaranya dilatar belakangi oleh rasa bangga berlebihan terhadap apa yang terjadi dinegara lain atau karya yang dihasilkan orang luar. Tentunya perlu banyak rasa bersyukur lagi bahwa sebenarnya potensi besar yang dimiliki bangsa Indonesia sangat lengkap sehingga sangat naif bila kita selalu terbelenggu oleh teori yang diciptakan para ilmuan terlebih dahulu. Seharusnya pemerintah justru menciptakan sebuah system manajemen pendidikan yang merdeka sesuai dengan kebutuhan dan budaya bangsa. Pesantren misalnya, semenjak berdiri telah mandiri dalam segala hal termasuk system yang diciptakan dalam proses pembelajaran yang tengah dijalankan. Sejak berdiri sampai perjalannanya sekarang pesantren masih mampu mempertahankan Indepedensinya dalam melaksanakan dan menciptakan karya-karya ilmiahnya. Miskinnya kreatifitas yang tengah melanda pada generasi bangsa ini sudah mencapai titik nadir yang kemudian ditopangi dengan kebijakan pemerintah yang cenderung parsial dan penuh dengan Nepotisme; semua bentuk peraturan selalu dibuat dengan “bolong-bolong” sehingga memberikan lubang untuk ditafsirkan dan berbuat nepotisme. Hal ini menunjukkan bahwa kita belum memanfaatkan secara maksimal kreatifitas yang ada, melainkan memilih untuk memanfaatkan kesempatan apa adanya. Tentunya harapan kita semua tidak begitu, tetapi bagaimana potensi yang ada benar-benar dimanfaatkan untuk memperoleh hasil yang maksimal. Inilah terkadang yang menjadi fenomina bagi lembaga pendidikan kita yang cenderung berjalan (dijalankan) apa adanya tanpa ada inovasi yang bisa menghasilkan sebuah wawasan yang mampu dijadikan referensi dalam upaya pengembangan dan kemajuan sekolah/madrasah. Ironisnya lagi tidak jarang justru lembaga pendidikan hanya dijadikan ajang penghidupan atau bisnis demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja. Potret ini tentunya akan tambah membahayakan bagi masa depan pendidikan bila kenyataan tersebut benar-benar telah melanda bagi dunia pendidikan negeri ini. Sebab pada akhirnya pendidikan bukan lagi ajang membantu manusia keluar dari kebuta huru-pan melainkan justru akan semakin memperjarak lembaga pendidikan dari visi-misi awalnya, yaitu; menyelamatkan generasi bangsa dari jurang kebuta huru-pan. Kreativitas seorang Kepala Sekolah dan Guru sangat dibutuhkan sebagai konsekwensi dasar agar sebuah lembaga pendidikan dapat melahirkan generasi yang cakap dan mumni dalam menterjamahkan pesatnya perkembangan dunia. Kreatifitas yang dimaksud tidak hanya bertumpu pada program-program pendidikan yang basis kurikuler melainkan ekstra kurikuler merupakan suatu kompenen pendidikan yang mampu memberikan nilai signifikan dibidang pengembangan skiil dan lain sebagainya. Disamping itu, pemerintah setidaknya harus menekankan pula agar semua lembaga pendidikan mempunyai buletin atau sejenisnya, tidak hanya perguruan tinggi saja. Tujuannya untuk menumbuhkan kreatifitas siswa dan guru dalam mengasah ketajaman intelektualnya secara mandiri. Dari Administratif ke Kompetensingat Paradigma baru yang harus segera diwujudkan dalam upaya menata lembaga pendidikan tidak hanya sekedar bagaimana penataan administrasi sekolah, program “sertifikasi guru” yang sedang “seksi” untuk mengukur kompetensi guru telah menghasilkan out put yang tidak sesuai dengan harapan sesuai amanat UU. Ini merupakan salah satu kegagalan kita bersama dalam merumuskan sebuah regulasi yang terkesan dipaksakan agar segera direalisasikan. Hal tersebut dapat kita cermati bahwa persolan sepenting (sertifikasi ) tersebut hanya diatur dengan Surat Peraturan Menteri, padahal amanat UU setidaknya harus dilaksankan Peraturan Pemerintah yang secara hirarki kedudukan hukumnya berada diatasnya. Dengan demikian, sehingga baromiter “kompetensi” seorang guru sangat kabur dan sulit dipertanggungjawabkan secara keilmuan karena implementasi dari program tersebut bukan karena dilandasi asas propesionalitas melainkan kerena ada target politik jangka pendek yang harus di kejar. Inilah yang penulis sebutkan diatas bahwa regulasi tentang peningkatan kwalitas mutu pendidikan harus diimplementasikan secara utuh dan tidak dipolitisasi agar mendapatkan hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dari ketidakjelasan orientasi tersebut sehingga tidak sedikit guru yang telah mengantongi gelar Sertifikasi tidak mampu memberikan kontribusi terhadap lembaga pendidikan yang telah menaunginya, baik kinerja, mutu dan perkembangan serta kemajuan lembaga pendidikan tersebut. Fenomina tersebut telah berjalan beberapa tahun, oleh sebab itu perlu ada audik kembali terhadap regulasi yang telah dijadikan pijakan hukum pelaksanaan program sertifikasi guru dari system portofolio (administrasi) ke basis kompetensi murni. Diantara salah satu kompetensi murni, menurut penulis, adalah: pertama; buatlah makalah tentang penataan pendidikan kedepan. Kedua; buatlah program-program berikut penjabarannya secara konkrit. Ketiga; membuat kerangka kerja kurikulum berbasis kompetensi sesuai dengan kearifan lokal yang ada dimasing-masing daerahnya. Dll. Ketiga uji kompetensi diatas hanya sebatas untuk menguji dan merealisasikan amanah UU Guru dan Dosen dengan syarat minimal lulusan S.1 bagi guru. Apabila hal tersebut dapat dilaksanakan, maka perubahan besar tidak hanya terjadi kepada kwalitas tenaga kependidikan, melainkan akan mengarah pada kelayakan sebuah perguruan tinggi dalam mencetak serjana yang handal. Karena permasalahan kwalitas guru tidak semata permasalahan individu, permasalahan kwaliatas guru juga erat kaitannya dengan system pendidikan yang ada dipeguruan tinggi yang bersangkutan. Artinya, perguruan tinggi yang selama ini hanya mengejar profit dan kwantitas diharapkan dapat mengubah paradigmanya menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi yang berbasis mutu. Namun jargon “mutu dan kwalitas” sebuah perguruan tinggi tidak sedikit hanya sebatas jargon dan miskin dalam tatanan implementasi sehingga berakibat lulusan yang di keluarkan menjadi sebuah fenomina dalam konteks wacana pengembangan dan kemajuan sebuah lembaga pendidikan. Apabila seorang guru tadi bisa melewati tiga tahap ujian sebagai syarat untuk memperoleh gelar “sertifikasi”, maka harapan dalam penataan dan pembangunan kwalitas lembaga pendidikan di Indonesia akan terbuka lebar. Penutup Diakhir tulisan ini penulis menggugah agar semua komponen perlu melihat secara utuh terhadap fenomina yang terjadi terhadap lembaga pndidikan kita. Tujuannya agar antar komponen bisa saling bersinergi dan memahami bahwa lembaga pendidikan yang baik memerlukan seorang yang visioner agar out put yang di hasilkan benar-benar terjamin kwalitasnya. Read More..