Jumat, 12 Agustus 2011

LKS KEBIJAKAN MUBAZIR?



SABUR MS, S.HI, MH


“Buku LKS tiap semester pertahunnya selalu diganti padahal isi materinya sama aja, cuma cover, peletakan isi materi yang di siasati..”
Keluhan ini sempat diutarakan oleh salah satu guru swasta yang ada di Kabupaten Malang yang sedang berbincang-bincang dengan penulis. Awalnya penulis tidak begitu menanggapi, akan tetapi setelah guru tadi mengeluarkan buku LKS al-Qur’an Hadist terbitan tahun 2007 dengan buku LKS terbitan 2011 ternyata memang tidak ada perbedaannya. Kalau penulis teliti hanya bedanya terletak pada dalil yang dipakai antara ayat al-Qur’an dan Hadist Nabi serta bentuk soal tugas mandiri, sementara substansinya tetap sama. Kalau demikian, pertanyaannya adalah apakah buku LKS yang diprogramkan pemerintah masih layak untuk diteruskan.?

LKS: Program Kurang Tepat

Sepintas program pengadaan buku LKS oleh pemerintah sangat baik, Karena tujuannya agar siswa mudah dalam mempelajarinya. Akan tetapi, pada sisi tertentu program pengadaan LKS dapat pula dikatakan kurang tepat bila dilaksanakan tiap semester tiap tahunnya. Dengan materi dan pembahasan yang sama tentunya perlu ada evaluasi dimana hal-hal dalam program tersebut yang perlu di reorientasikan kembali, seperti waktu penerbitannya. Jangan sampai tujuan mulia dari adanya buku LKS justru menimbulkan kesan kurang baik dari masyarakat karena kentalnya unsur kepentingan bisnis kelompok tertentu.  Contoh terkait masalah soal atau tugas mandiri yang terdapat dalam buku LKS bisa dikembangkan secara mandiri oleh masing-masing kelompak KKM sehingga pihak sekolah lebih dituntut mandiri secara kwalitas dan profesionalitas. Karena tidak sedikit ketika guru diberi beban tugas membuat soal ujian semester justru “menjiplak” apa yang ada di buku LKS. Tentunya potret tersebut dapat mematikan kreativitas dan profesionalitas para guru kendati disatu sisi sudah mengantongi “Sertifikasi” mengajar. Terlebih barometer sebagai “guru profesional” yang di tentukan pemerintah tidak bisa mencerminkan bahwa guru yang sudah mengantongi “Sertifikasi” benar-benar guru yang professional dan mandiri secara intelektual.
Terlebih lagi, buku LKS bagi siswa kurang mendorong terhadap wawasan siswa karena keterbatasan isi buku tersebut. Pengadaan buku, menurut penulis, lebih efektif mengadopsi model pada masa Orde Baru yang lebih mengedepankan kedua-duanya (pemahaman dan wawasan) siswa, sehingga pemerintah tidak menghabiskan energi dan anggaran pendidikan yang begitu besar. System pada masa Orde Baru tidak hanya sekedar mengedepakan pemhaman dan wawasan siswa, melainkan dapat pula mengurangi beban terhadap anggaran pendidikan.
Dengan demikian, anggaran yang semula tersedot “subsidi” oleh pengadaan buku LKS dapat di alokasikan ke program yang lain. Misalnya difokuskan untuk mensubsidi dalam rangka memenuhi kelengkapan sekolah sehingga dapat mendorong secara efektif terhadap kemampuan siswa. Hal tersebut perlu untuk dipertimbangkan oleh pemerintah mengingat kelemahan lembaga pendidikan di Indonesia lebih kepada minimnya sarana penunjang yang lebih efektif. Bukankah ini yang menjadi fenomina disetiap lembaga pendidikan Bangsa ini?

Atur Penerbitannya

Kalau memang program LKS tetap akan dijadikan modul pembelajaran, tentunya ada hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Pertama, efektifitas dalam upaya menunjang terhadap pemahaman dan wawasan siswa. Kalau modul LKS yang selama ini masih tidak mencakup dua kopentensi siswa diatas, maka hendaknya perlu meniru modul pembelajaran mada masa Orde Baru. Kedua, penerbitan buku hendaknya jangan menganut system seperti yang sekarang dimana tiap semester ada “pergantian” buku LKS, sementara isi dan substansinya adalah sama. Sebab System ini justru menambah beban terhadap para wali siswa yang setiap semester harus membeli buku LKS dengan biaya yang cukup besar, khususnya siswa tingkat menengah. Kalau cara ini tetap dipetahankan, maka penulis mengatakan bahwa pemerintah justru bukan mensubsidi siswa melainkan hanya membagi-bagikan anggaran pendidikan untuk para penerbit buku. Rialitas ini tentunya cukup memperhatikan bila benar-benar terjadi. Anggaran triliunan rupiah yang seharusnya bisa gunakan secara efektif untuk membantu meningkatakan mutu pendidikan justru terserap oleh para penerbit buku LKS. Oleh sebab itu, Pemerintah, khususnya Kemendiknas RI perlu ada paradigma baru dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan agar pemerataan kwalitas lembaga pendidikan tidak terkesan simbolis. Semua lembaga pendidikan yang ada di Negeri ini harus dipahami sebagai aset Bangsa, tidak ada lagi dikotonomi antara Negeri dan Swasta yang selama ini lebih ditampakkan. Sebab dunia luar akan melihat bahwa lembaga pendidikan yang ada di Negeri ini merupakan satu kesatuan dari system yang ada. Oleh sebab itu, maksimalisasi dan efektifisasi penggunaan anggaran pendidikan sangat diperlukan agar penggunaannya tidak terkesan hanya berbentuk program namun secara substansi justru tidak mencerminkan kehendak yang diamanatkan oleh UU.
Semoga semua unsusr pengambil kebijakan dapat mentelaah kembali sehingga dunia pendidikan Bangsa ini benar-benar menjadi tonggak dalam mengawal estafet kepemimpinan Bangsa ini. Wassalam.

































Doc. 25 Mei 2011

Tidak ada komentar: