Jumat, 12 Agustus 2011

JANGAN SAMPAI SALAH MENGARTIKAN PERGAULAN BEBAS!!!


Oleh:
SABUR MS, S.H.I, M.H



Pergaulan bebas sering dikonotasikan dengan sesuatu yang negatif seperti seks bebas, narkoba, kehidupan malam, dan lain-lain. Memang istilah ini diadaptasi dari budaya barat dimana orang bebas untuk melakukan hal-hal diatas tanpa takut menyalahi norma-norma yang ada dalam masyarakat. Berbeda dengan budaya timur yang menganggap semua itu adalah hal tabu sehingga sering kali kita mendengar ungkapan “jauhi pergaulan bebas”.
Sebenarnya makna pergaulan bebas tidak sebatas itu. Pergaulan merupakan salah satu sarana interaksi social yang menyangkut segala aspek kehidupan masyarakat yang sulit untuk dihindarkan. Perspektif ini terkait juga dengan fluralisme masyarakat Indonesia yang membutuhkan interaksi sehat dengan yang lain, kebutuhan ini akan menunjukkan bagaimana kebutuhan masyarakat itu sendiri untuk saling menjiwai dan toleransi antar sesama. Justru dengan penyempitan pengertian “pergaulan bebas” akan berakibat pengkotakan yang mengarah pada social diskriminatif dalam masyarakat.
Penulis lebih cenderung bahwa “pergaulan bebas” sama halnya dengan pengertian nasionalisasi dalam konteks kebangsaan yang tidak membeda-bedakan suku, bahasa, agama dan asal daerah. Artinya perspektif “Pergaulan Bebas” harus bisa diterjemahkan sebagai sarana interaksi social yang mampu berimplikasi terhadap pola paham bagaimana kita bisa bergaul tanpa harus disekat dengan pemahaman bias  sukuisme dan daerahisme yang masih menjadi salah satu kultur masyarakat kita.
Lalu bagaimana dengan fenomina “Pergaulan Bebas” yang selama ini telah menjadi rahasia publik? Pergaulan bebas yang selama ini dipersepsikan sah-sah saja, namun ada satu hal dari kekurang tepatan penempatan devinisi tersebut. Kekurangan tepatan itu akan berimplikasi terhadap bagaimana cara mencrikan solusi yang tepat serta siapa yang dianggap paling bertanggungjawab. Contoh perbuatan ciuman dan peluk-pelukan di alun-alun atau ditempat umum. Semua masyarakat mempersepsikan bahwa perbuatan tersebut telah meresahkan masyarakat yang ada disekitarnya. Itu sudah menjadi rahasia umum, tapi bagaimana tanggapan pemerintah? Yang ada justru antara Polisi Pamongpraja dan Polisi saling menyalahkan, disatu pihak mengatakan bahwa itu termasuk kewenangan Kepolisian dengan asumsi mereka telah melanggar ketentuan KUH Pidana dikarenakan belum diatur dalam Peraturan Daerah. Disatu sisi polisi juga akan menyalahkan Polisi Pamongpraja dengan asumsi bahwa perbuatan tersebut telah mengganggu ketentraman orang lain.
Faktor-faktor Pergaulan Bebas
Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergaulan bebas dikalangan remaja yaitu:
1.      Faktor agama dan Iman
2.      Faktor lingkungan seperti orang tua, teman, tetangga dan media
3.      Pengetahuan yang minim ditambah rasa ingin yang berlebihan
4.      Perubahan zaman
5.      Lembaga pendidikan, dan
6.      Cinta

Solusinya!!
Diantara solusi yang mendesak untuk dilakukan adalah:
1.      Penempatan kurikulum keagamaan sebagai salah satu syarat kelulusan
2.      Peran serta orang tua, teman, tetangga dan media harus mulai membenah diri
3.      Penyuluhan, seminar, serasehan dan dialog yang berkaitan dengan isu-isu yang berkaitan dengan kenakalan remaja perlu diintensipkan
4.      Lembaga pendidikan harus mereorientasikan diri untuk mengembalikan tujuan utama sebagai penjaga gawang tegaknya moralitas
5.      Para remaja kita perlu lebih banyak berdiskusi tentang apa itu cinta, hakikat dan tujuannya.
Dengan demikian, perbuatan sebagaimana penulis ilustrasikan diatas lebih tepatnya disebut sebagai perbuatan Kejahatan Terhadap Kesusilaan, bukan pergaulan bebas, sebagaimana disebutkan dalam KUH Pidana Pasal 281:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun delappan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah:
Ke-1. barang siapa dengan sengaja merusak kesusilaan di hadapan umum,
Ke-2. barang siapa dengan sengaja merusak kesusilaan di muka orang lain yang
          hadir tidak dengan kemauannya sendiri.
Ketika fenomina diatas diasumsikan sebagai perbuatan Kejahatan Terhadap Kesusilaan, maka tidak ada lagi karena alasan cinta atau lain sebagainya. Lho, undang-undang tentang cinta kan belum ada, apa bisa perbuatan tersebut dengan atas nama cinta bisa dijerat dengan pasal tersebut? Kalau kamu ingin tau secara lengkap nanti bisa dibaca buku yang sedang penulis susun yang berjudul: Mencari Keadilan Cinta
                                                   







Penulis adalah Sabur, SHI, MH:
Koordinator LADHUMA Kab. Malang, Anggota PPK Kec. Gondanglegi, Sekretaris Pengurus Cabang Persatuan Tarbiyah Islamiyah Kab. Malang dan Sekretaris PAC ANSOR Gondanglegi

Tidak ada komentar: