Jumat, 12 Agustus 2011

Nikah Sirri dan Fenomina Hukum: Sebuah Analisis Pasal 2 Ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.



Oleh:
SABUR, S.H.I., M.H.

Pendahuluan
Perkawinan merupakan salah satu kewajiban bagi ummat manusia, kewajiban tersebut tentunya memiliki beberapa tujuan mulia yang harus di junjung tinggi sebagai asas untuk mengimplementasikan dari sebuah proses menuju pembinaan rumah tangga yang sakinah mwaddah warohmah. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya memerlukan mekanisme atau aturan yang dapat mengikat sebagai jaminan terhadap hak dan kewajiban masing-masing. Sementara UU yang khusus mengatur tentang perkawinan masih banyak yang menganggap terlalu longgar sehingga mudah di ambil celahnya, terutama tiadanya kekuatan eksekutorial terhadap parasuami yang melanggarnya. Dengan demikian tidak sedikit para suami melakukan kawin dibawah tangan atau kawin sirri. Dari fenomina inilah Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. H. M. Mahfud MD, SH, SU, mengeluarkan gagasan yang cukup mengagetkan semua orang, yaitu agar pelaku kawin sirri dimasukkan sebagai delik pidana. Tentunya MUI, NU dan ormas lain sangat terkejut sehingg dengan tegas menolak gagasan tersebut dengan alasan bahwa perkawinan merupakan masalah perdata sehingga tidak bisa di intervensi oleh siapapun termasuk pemerintah.
Kategori Pernikahan

Perkawinan yang terjadi di masyarakat masih terperangkap pada kata “sah”. Perspektif ini bukan berarti salah Karena dalam Islam pernikahan tersebut dapat dikatakan “sah” ketika telah memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan. Ketentuan ini selaras dengan bunyi UU no. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Otoritas agama dalam perkawinan tampaknya tidak bisa diambil alih oleh kekuatan UU Perkawinan sehingga keberadaan UU hanya sebatas memperkuat posisi ketentuan agama dalam melihat sah dan tidaknya suatu perkawinan. Kendati demikian, Syekh Dr. Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq membagi ketentuan yang mengatur pernikahan kepada dua kategori:
1. Peraturan syara’, yaitu perturan yang menentukan sah atau tidak sahnya sebuah pernikahan.
2. Peraturan yang bersifat tawsiqy, yaitu peraturan tambahan yang bermaksud agar pernikahan di kalangan ummat Islam tidak liar, tetapi tercatat dengan memakai surat Akta Nikah secara resmi yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang. Menurut Undang-undang Perkawinan Republik Arab Mesir Nomor 78 tahun 1931, tidak akan didengar suatu pengaduan tentang perkawinan atau tentang hal-hal yang didasarkan atas perkawinan, kecuali berdasarkan adanya pencatatan akad nikah atau adanya dokumen resmi pernikahan.
Sementara Wahbah az-Zuhaili secara tegas ia membagi syarat nikah menjadi dua macam. Pertama, syarat syar’i, maksudnya suatu syarat di mana ke absahan suatu ibadah atau akad tergantung kepadanya. Kedua, syarat tawsiqy, adalah sesuatu yang dirumuskan untuk dijadikan sebagai bukti kebenaran terjadinya suatu tindakan sebagai upaya antisipasi adanya ketidakjelasan dikemudian hari.
Syekh Dr. Jaad al-Haq Ali Jaad al-Haq, secara tidak langsung berupaya mengakomodasi ketentuan dua hukum yang berkaitan dengan masalah perkawinan, kendati demikian ketentuan syara’ tetap tidak bisa dikalahkan oleh keberadaan hukum taswiqy yang nota bena hanya sebatas mengatur secara administrative. Hal ini tercermin dalam fatwa yang dikeluarkan beliau bahwa tanpa memenuhi peraturan perundang-undangan itu, secara syara’ nikahnya sudah dianggap sah, apabila telah melengkapi segala syarat dan rukunnya seperti diatur dalam syari’at Islam. Penegasan ini menunjukkan bahwa hukum taswiqy hanya bersifat temporer yang tidak memiliki kandungan hukum substantib sehingga selalu terbawa oleh perkembangan yang belum tentu relevan untuk ikuti dan diadopsi secara masal.
Pasal 2 ayat (2) Tidak Mengikat?

Apabila Undang-undang Perkawinan Republik Arab Mesir Nomor 78 tahun 1931 secara tegas bahwa pemberitahuan perkawinan harus dipenuhi dengan sayarat administrative, lalu bagaimana dengan UU no. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan? Di Indonesia untuk mengetahui apakah suatu perkawinan dapat dikatakan pernikahan dibawah tangan atau sirri atau tidak mengacu pada Pasal 2 ayat (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maksud dan tujuan Pasal 2 ayat (2) sedikit di jelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat (1) Agar terjamin katertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus di catat.
Berkenaan dengan persoalan pencatatan perkawinan tersebut, ada dua pandangan yang berkembang.
Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan persyaratan administrative sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan.
Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan.
Terjadinya beda tafsir terhadap Pasal 2 ayat (2) dikarenakan tiadanya Pasal turunan yang menjelaskan lebih lanjut substansi kandungan hukumnya, kendatipun dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 7 ayat (1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang di buat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Akan tetapi sangat janggal bila semua ketentuan Pasal-pasal tersebut dapat ditafsirkan sebagai justifikasi tidak sahnya pelaksanaan kawin sirri. Sebab dalam ketentuannya, baik UU no. 1 tahun 1974 maupun Kompilasi hukum Islam, ditiap pasal perpasalnya tidak pernah menyebutkan ketidak absahan sebuah pernikahan di bawah tangan. Karena bila penulis analisis bahwa UU maupun KHI masih setengah hati dalam memutuskan untuk totalitas melindungi seorang perempuan. Keragu-raguan yang diperlihatkan tersebut tiadanya penyebutan secara tegas bahwa perkawinan di bawah tangan adalah tidak sah, sementara disisi yang lain seakan-akan memperlakukan kedudukan suami istri sama didepan hukum seperti yang disebutkan dalam KHI Pasal 79 ayat (2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Yang perlu dipertanyakan adalah, sejauhmana kekuatan hukum yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (2) UU no. 1 tahun 1974 dan bagaimana korelasinya dengan kawin sirri di Indonesia? Ada tiga hal yang dapat penulis pahami dari Pasal 2 ayat (2):
Pertama, bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (2) sebagai norma hukum akan tetapi norma yang terkandung masih bersifat fakultatif. Artinya, pada satu sisi norma tersebut dapat dijadikan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, namun disisi yang lain keberadaannya masih terlihat ngambang sehingga apabila ada yang melanggar terhadap norma Pasal 2 ayat (2) tidak bisa di sangsi kecuali dengan sangsi administrasi. Hal ini dapat di pahami dari ketentuan yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 7 ayat (2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Wasit Aulawi juga berpendapat, bahwa secara tegas Undang-undang ini (UUP no. 1/1974) hanya mengatur pencatatan perkawinan, talak dan rujuk, yang berarti hanya acara bukan materi hukum.
Kedua, dalam kaitannya dengan kawin sirri di Indonesia, Pasal 2 ayat (2) tidak mempunyai korelasi yang kuat karena tidak memenuhi kaedah hukum yang semestinya terkandung dalam sebuah norma, yaitu adanya sangsi hukum yang jelas dan mengikat.
Ketiga, karena Pasal 2 ayat (2) kurang memenuhi kaedah perundang-undangan yang disebutkan dalam UU no. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 6 ayat 1 huruf (i) Ketertiban dan kepastian hukum. Kemdian dalam penjelasannya yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Dengan demikian, maka penulis juga kurang sepakat dengan gagasan Prof. Dr. H. M. Mahfusd MD, SH, SU, agar pelaku kawin sirri dapat di Pidanakan. Sebab bagimanapun alasannya, perkawinan merupakan domain Hukum Perdata yang tidak bisa di intervensi oleh Negara. Pemberlakuan “nikah sirri” dengan sangsi pidana (pidana murni) sama halnya dengan mengubah asas ilmu hukum serta ketentuan syar’at Islam. Terlebih dalam UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga secara khusus telah diatur kemungkinan timbulnya delik pidana yang terjadi dalam sebuah rumah tangga. Menurut penulis, yang perlu segera di implementasikan adalah upaya sosialisasi dan penyadaran pada masyarakat secara terarah sehingga nantinya benar-benar sampai pada masyarakat tingkat bawah. Apakah dari dulu tidak ada sosialisasi sama sekali? Gerakan sosialisasi yang digembar-gemborkan pemerihtah tidak ubahnya “membagi-bagi proyek” kepada LSM-LSM. Sangat tidak efektif karena implementasi yang dilakukan hanya sebatas pada tatanan Elit. Pola seperti itu tentunya tidak akan membawa hasil sesuai dengan yang diharapkan. Oleh sebab itu, pemerintah harus berani mengubah cara dengan menggandeng lembaga-lembaga pendidikan yang benar-benar eksis di masyarakat, seperti Pondok Pesantren. Dengan demikian, setidaknya ada tiga hal yang akan diuntungkan: Pertama, kuatnya paradigma legalisasi “nikah sirri” adalah bersumber dari Pondok Pesantren sebagai pusat kajian kitab klasik. Tidak berhenti disitu, Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan yang memiliki pengaruh kuat terhadap paradigma hukum masyarakat khususnya tentang nikah sirri. Sebab komponen pesantren setiap hari selalu bersentuhan dengan masyarakat langsung dengan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dibina oleh para pengasuh (kyai) pesantren. Kedua, dengan melibatkan Pondok Pesantren diharapkan kajian-kajian kitab fiqh kalasik terkait status hukum nikah sirri dapat di integralkan sehingga menjadi sebuah instrumen hukum yang kuat, sehingga proses formalisasi hukum nikah sirri secara bertahap dapat difahami dan diterima oleh masyarakat. Ketiga, sebagai panutan masyarakat dibidang hukum syari’at, seorang Kyai sangat efektif mengemban cita-cita pemerintah dalam upaya maksimalisasi melindungi Hak Asasi Perempuan.

Penutup
Sebagai uraian penutup penulis simpulkan bahwa fenominan kawin sirri di Indonesia yang akan dijadikan dasar hukum untuk mengetahui sah dan tidaknya adalah ketentuan hukum Islam, bukan ketentuan hukum positif. Hal ini bisa dipahami bunyi UU no. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Factor Pasal 2 ayat (1) inilah sehingga turunan pasal selanjutnya tidak bisa berbuat banyak Karena masih terikat oleh asas yang terkandung dalam ketentuan Pasal tersebut. Jadi dalam proses transisi hukum, masyarakat tentunya kurang baik apabila langsung di suguhkan ketentuan hukum yang sebelumnya dianggap sah secara syari’at Islam. Kendati demikian, penulis tetap tidak setuju bila Nikah Sirri dikategorikan sebagai hukum pidana murni.

Tidak ada komentar: