Jumat, 26 Agustus 2011

“SAKERA” DAN MASA DEPAN PENEGAKAN HUKUM



Oleh:

SABUR MS, S.H.I., M.H.





Mayarakat ada yang mengatakan “bosan” dengan debat dan berita tentang potret hukum yang ditayangkan oleh stasiun televisi. Debat dan pemberitaan terkait dinamika penegakan hukum di tanah air hanya berputar dalam wacana tetapi sulit menyentuh terhadap rialitas yang diharapkan masyarakat. Timbul sebuah pertanyaan, ada apa dan dimana letak kesalahan Negara Hukum ini? Mungkinkah “SAKERA” harus turun memimpin Negara ini?
Semua Terbelenggu
Penulis ingat dengan pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. H. M. Mahfud MD, bahwa penegakan hukum di negara ini sangat sulit untuk berjalan sebagaimana harapan masyarakat. Karena semua kasus kakap yang terjadi ada saling keterkaitan antara tersangka dan penegak hukum itu sendiri. Artinya antara satu sama yang lain sama-sama memiliki kartu As yang siap dibeberkan. Kalau hal ini terjadi, perdebatan atau kritik apapun bentuknya hanya akan selesai di meja dan kolom-kolom opini baik di koran maupun di majalah. Untuk mengurai mata rantai tersebut, tidak mungkin hanya diatasi dengan sebuah perdebatan maupun tulisan-tulisan di media, melainkan memerlukan “sakera” pemimpin yang kuat, dan bersih dari semua bercikan kotoran. Pemimpin yang bebas dari bercikan comberan ini harus terjadi pada semua jajaran mulai dari pusat sampai daerah agar program-program pemerintah pusat dibidang penegakan hukum dapat di laksanakan didaerah. Ini mungkin salah satu poin dari program reformasi birokrasi yang harus segera di implementasikan. Karena meraknya pelanggaran hukum tidak hanya terbatas pada gemuknya birokrasi tetapi juga menyangkut komitmen dan mental moral yang dimiliki oleh para pemimpin itu sendiri. Terlebih pelanggaran hukum “korupsi” lebih halus dengan cara-cara “sutra” yang sulit di diteksi. Saking halusnya, terkadang sangat sulit bahwa apa yang dilakukan itu adalah sebuah pelanggaran hukum. Mental korup yang dimiliki oleh oknum pejabat baik pusat maupun daerah tidak sedikit “keterpaksaan” masyarakat terjangkiti hanya sekedar untuk memperoleh “bingkisan” bantuan yang sebenarnya memang haknya. Tapi rialitasnya, bentuk “bingkisan” bantuan tidak gratis melainkan ada potongan “pajak” yang berpariasi jumlahnya, mulai yang dari 5% sampai ke 50%. Tapi anehnya hal tersebut seakan dianggap wajar sehingga 99,9% masyarakat terjebak dengan pola-pola seperti itu.
Kalau sudah demikian, mungkinkah kusutnya pemberantasan korupsi di negara ini masih relevan terus diperdebatkan? Optimisme mungkin tidak perlu hilang, khususnya, bagi anak bangsa yang masih mempunyai komitmen membersihkan negara ini. Tapi sifat optimis tidaklah cukup bila tidak ada tindakan nyata dari pemimpin pemerintahan yang berjiwa “sakera” yang berani mengambil segala resiko apapun. Dulu Negeri ini sempat memiliki seorang pemimpin yang berjawa “sakera”, berani, tegas tampa kompromi pada siapapun sehingga memberikan harapan pada masyarakat akan bersihnya negeri ini dari kelompok kera putih, beliau adalah Presiden KH. Abdurrahman Wahid seorang ulama’ karismatik.
Potong Generasi
Semangkin kusutnya penegakan hukum di Negeri ini membuat masyarakat apektasi terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum yang ada, terlebih penegakan hukum sekarang masih baru “akan” ditegakan di pusat sementara di daerah-daerah masih terlihat sumir. Hal ini tidak hanya terbatas pada kasus-kasus korupsi melainkan kasus-kasus yang secara terang-terangan dapat merusak mental masyarakat.
Oleh sebab itu, apabila langkah-langkah reformasi sudah dirasa mentok maka sudah waktunya semua unsur memberanikan diri untuk mendesak pemerintah agar melakukan kebijakan “Potong Generasi Terbatas” terhadap semua aparatur pemerintah yang ada baaik pusat maupun daerah. Memang hal ini bukan pekerjaan yang mudah mengingat masing-masing kelompok politik mempunyai agenda tersendiri sehingga kemungkinan besar akan dijadikan sarana politisasi untuk menjastifikasi terhadap penentangan atas kebijakan yang ekstrim tersebut. Untuk mewujudkan Indonesia Bersih memang membutuhkan komitmen bersama antara semua kekuatan politik yang ada di DPR dan Pemerintah bila benar-benar ingin membentuk sebuah negara yang bersih dari koruptor birokrasi. Kalau tidak demikian, apapun bentuk komisi yang yang berkaitan dengan yang disebut dengan reformasi birokrasi tidak akan membawa implikasi terhadap mental oknum birokrasi yang telah tertanam mental koruptor. Realitas ini tidak bisa terbantahkan, sekalipun beberapa komisi yang akan dibentuk dalam upaya memerangi koruptor dibeberapa lembaga negara, namun kenyataannya korupsi justru semakin menggila.
Uapaya-uapaya yang telah dilakukan pemerintah saat ini, menurut penulis, perlu di reorientasikan kembali. Sebab kebijakan dalam upaya meminimalisir terjadinya korupsi telah pemerintah lakukan mulai kenaikan tunjangan pejabat sampai penataan manajemen birokrasi dengan anggaran meliaran rupiah, akan tetapi masih tetap saja korupsi semakin banyak. Jadi disini yang terjadi bukan lagi masalah tinggi rendahnya gaji aparatur pemrintah melainkan budaya korupsi telah menggerogoti hati nurani mereka. Dengan kata lain, oknum aparat kita sudah banyak yang “sakit parah” bahkan “kritis” sehingga tidak ada jalan lain kecuali “memarkir” dini agar Negara bisa mewujudkan cita-cita terbentuknya; yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Mimpi besar bangsa ini hanyalah benda mati yang tidak bisa berjalan dengan sendirinya. Mewujudkan hal tersebut akan menjadi tanggungjawab bersama yang memerlukan keberanian, kebersamaan visi dan misi serta mental yang kuat agar tidak mudah tergoyahkan oleh “cumbu rayu” yang setiap saat akan datang disetiap penjuru.

Siapa Itu Sakera?
Tentunya “sakera” saat ini sudah tidak mungkin memimpin Negeri ini karena beliau telah meninggal, akan tetapi yang dapat dijadikan contoh atau teladan dari seorang “sakera” adalah keberanian dalam melawan higimoni penjajah. Karakter teguh dan nasionalisme yang beliau miliki perlu ditularkan kepada para generasi bangsa ini. Karena menjadi pemimpin Negeri ini tidak tutup kemungkinan nyawa akan menjadi taruhannya bila melakukan kebijakan ekstrim yang “mengganggu” ketenangan para koruptor Negeri ini. Yang akan menjadi pertanyaan adalah, masih adakah “sakera-sakera” di Negeri ini? Penulis jawab: Ya. Tinggal menunggu komitmen masyarakat, maukah mereka menjadi rakyat cerdas dan suaranya tidak mau ditukar dengan janji-janji calon pemimpin yang integritasnya masih dipertanyakan? 2014 sudah semakin dekat, masyarakat sudah seharusnya memulai menyeleksi tokoh-tokoh nasional yang benar-benar mempunyai integritas dan keberanian dalam membela dan menegakan kebenaran berdasarkan keadilan hukum. Untuk saat ini setidaknya sudah muncul “sakera” yang dipandang layak dan mumpuni memimpin Negeri ini untuk lima tahun kedepan dengan pola kepemimpinan yang telah dibuktikan. Beliau adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Bapak Prof. Dr. H. Moh. Mahfud MD, SH, telah masuk kategori sebagai “sakera” masa kini. Akan tetapi tidak tutup kemungkinan bila akan muncul “sakera-sakera” lain yang layak untuk memimpin Negeri.
Dengan demikian, tinggal bagaimana masyarakat untuk bisa sadar dan tidak mau menggadaikan suaranya hanya demi untuk kepentingan sesaat. Ini tugas semua elemen bangsa yang memiliki kepedulian terhadap kondisi labilnya rakyat agar bisa tegak dan sadar bahwa selama ini suaranya telah tersia-siakan dan telah merugikan dirinya sendiri.
Penutup
Diakhir tulisan ini, penulis terus berharap agar kondisi bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukan mental para pemimpinnya. Rakyat sudah jenuh dengan perdebatan, rakyat hanya membutuhkan langkah nyata dari semua para pemangku kebijakan.
Read More..

Rabu, 24 Agustus 2011

Mencari Keadilan Ditengah Ketidakpastian Norma Hukum


Oleh:

SABUR MS, S.H.I, M.H



Penulis sempat ditanyakan oleh salah satu masyarakat terkait perseteruan antar KPK dan Polri. Ternyata perseteruan dua lembaga penegak hukum juga benar-benar mendapat perhatian masyarakat yang sejatinya tidak paham apa itu hukum. Penulis sempat menjawab bahwa perseteruan yang terjadi tidak hanya sekedar permasalahan mental para penegak hukum kita akan tetapi prodak hukum yang dikeluarkan masih menyisakan masalah legalitas hukum. Seperti tumpang tindihnya norma hukum yang ada dimasing-masing Undang-undang itu sendiri. Jadi bisa dikatakan Indonesia sebagai negara hukum yang tidak adanya kepastian hukum sehingga norma hukum bisa ditegakkan menurut kepentingan bukan atas dasar keadilan hukum yang sebenarnya.
Pasal 32 KPK: Norma Hukum Tanpa Asas
Keberadaan sasas hukum jarang sekali dijadikan suatu pertimbangan bagaimana ketika prodak hukum itu akan dirumuskan. Penyusunan prodak hukum lebih cenderung mengedepankan angin politik murni, kendati prodak hukum tidak bisa lepas dari prodak politik akan tetapi tidaklah relevan bila melepaskan diri proses ilmiah yang mengatur bagaimana norma hukum itu sendiri bisa kuat dan tidak mudah dipatahkan ditengah jalan. Sekarang tidak sedikit prodak hukum mati dipersimpangan jalan, bahkan ada yang meninggal sebelum diberlakukan karena Mahkamah Konstitusi menganggap bertentangan dengan UUD 45. Kejadian tersebut tidak hanya menimpa pada satu UU saja, melainkan tidak sedikit yang bernasip naas di palu Mahkamah Konstitusi.
Potret ini akan menjadi sebuah pertanyaan, mengapa norma hukum dalam UU yang telah ditetapkan banyak yang mati belum diterapkan? Pertanyaan ini tentunya tidak hanya bisa dijawab dengan sebuah kata-kata yang mengkambinghitamkan seseorang, akan tetapi persoalan ini semestinya menjadi suatu pelajaran bagi masyarakat bahwa membuat prodak hukum seharusnya dapat dibedakan ketika membuat kue yang hanya terfokus bagaimana menghasilkan rasa yang nikmat dan disukai konsumen. Artinya bahwa proses pembuatan prodak hukum memerlukan kajian ilmiah secara utuh sesuai dengan kaedah Ilmu hukum. Penyesuaian tersebut tentunya dalam kerangka agar terjadi kepastian hukum dan keadilan yang selama ini menjadi pertanyaan masyarakat. Contoh yang terjadi dalam norma hukum di UU tentang KPK dan norma hukum yang terdapat di KUHAP. Didalam UU tentang KPK Pasal 32 ayat 1 huruf c yang mengamanatkan bila Pimpinan KPK menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan maka akan diberhentikan. Berbeda dengan Pasal 32 ayat 1 huruf c adalah asas hukum yang terdapat dalam penjelasan KUHAP huruf c yang menyatakan bahwa “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”, hal ini juga dirumuskan dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Pertentangan norma hukum dan asas hukum seperti disebutkan diatas akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang seharusnya tidak perlu terjadi. Dalam perspektif Ilmu hukum, posisi asas tentunya lebih tinggi dari posisi norma. Penempatan asas yang secara hirarki lebih tinggi seharusnya dapat diterjemahkan dalam sebuah norma yang baik dan tidak bertolak belakang sekalipun hal itu dapat diargumentasikan sebagai perlakuan khusus yang biasa disebut lex spesialis. Kita akui bahwa lex spesialis merupakan salah satu kaedah dalam ilmu hukum yang diharapkan bisa menjawab dinamika hukum yang terjadi dimasyarakat, akan tetapi kaedah tersebut tentunya tidak bisa begitu saja di implementasikan dengan berlindung dibalik perspektif perlunya perlakuan khusus.
Lex Spesialis dalam Perspektif
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa lex spesialis merupakan salah satu bagian kaedah hukum yang diharapkan bisa menjawab perkembangan dinamika hukum dimasyarakat, bukan menjadi bagian ketidak pastian hukum. Tujuan ini mengisayaratkan bahwa penggunaan kaedah lex spesialis masih memerlukan pembatasan secara ilmiah sehingga keberadaannya tidak mudah dijadikan topeng yang sejatinya akan menimbulkan permasalahan hukum. Pembatasan ini merupakan suatu upaya bagaimana prodak hukum yang akan dikeluarkan benar-benar akan menjadi pelindung keadilan dan kepastian hukum di masyarakat. Untuk itu, implementasi kaedah lex spesialis diharapkan tidak hanya sebatas terhadap kasus-kasus legalistic, melainkan semua jajaran penegak Hukum harus berani menterjamahkan lex spesialis sebagai bagian upaya memerikan terobosan hukum seperti yang pernah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pola tafsir yang disebut sebagai “keadilan substantf”.
Paradigma hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan mengacu pada “keadilan substantf” sebenarnya dapat juga dan bahkan harus dilakukan oleh lembaga Pengadilan disemua tingkatan kendati harus bertabrakan dengan dhohir norma hukum dalam sebuah UU itu sendiri. Ketentuan tersebut dengan catatan bahwa norma tersebut telah mencidrai rasa ke adilan substantif masyarakat yang hal tersebut telah bertentangan dengan tujuan dilahirkannya UU itu sendiri. Apa dasar hukumnya? Paradigma penegakan hukum yang berorientasi terhadap sebuah keadilan hukum (bukan keadilan norma semata) adalah putusan-putusan pengadilan Mahkamah Konstitusi. Sebagai lembaga penjaga apa yang telah di amanatkan UU 45, semua putusan Mahkamah Konstitusi setara dengan segala jenis UU.
Jadi sekarang tinggal kita kembalikan kepada semua elemen yang ada di lembaga peradilan, maukah mereka sedikit melonggarkan jeratan tali yang selama ini mengurung pola fikirnya? Ada dua hal yang mungkin bisa menjawabnya. Pertama; seorang hakim harus benar-benar mumpuni dalam permasalahan Ilmu Hukum. Kedua; seorang hakim harus mempunyai hati nurani dan komitmen yang besar dalam penegakan sebuah ke adilan hukum. Dua hal tersebut bersifat integratif yang harus terpenuhi pada diri seorang hakim, kalau tidak maka ke adilan hukum yang banyak di impikan masyarakat akan tinggal khayalan sampai usia dunia ini berakhir.

Penutup
Sebagai kata penutup dari tulisan ini, maka seorang calon penegak hukum terlebih dahulu harus disiapkan mental rohani, mental intelektual dan proses seleksi yang dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai integritas rohani dan intelektual yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Maka penulis usulkan; mungkin sudah waktunya pemerintah melibatkan seorang ulama’ khos dalam proses penyeleksian para calon hakim di Negeri ini agar integritas krohanian para calon hakim dapat diminimalisir.

Read More..

Selasa, 23 Agustus 2011

KONSEP POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN HUKUM DI INDONESIA (Studi Kritis Legalisasi Poligami di Indonesia)1



Oleh:
SABUR MS, S.H.I 2


Problematika poligami kini tidak hanya sekedar masalah tatanan sosial dan hukum. Poligami kini telah menjadi isu politik yang mungkin dapat dijadikan momentum untuk menampakkan diri sebagai seorang pahlawan.
Terlepas dari “isu politik” itu, yang menjadi sorotan masyarakat adalah tentang legalisasi hukum poligami dan relevansinya ketika masyarakat internasional mengempanyekan isu-isu perlindungan HAM bagi kaum perempuan. Sebab, hukum merupakan sarana manefstasi dan investasi adanya garansi perlindungan HAM sehingga kepentingan-kepentingan seseorang yang kerap mendistorsi sejarah, rialitas sosial dan hukum yang berlaku dimasyarakat dapat terjamin kepastian hukumnya. Dengan demikian, memahami tentang fenomina poligami seharusnya dikalaborasikan dengan berbagai aspek hukum dan perundang-undangan yang ada sehingga opini tentang poligami tidak terkesan bias yang mengarah dan didominasi oleh satu perspektif saja. Sebab, eksistensi hukum poligami tidak terlepas dari akar sejarah sosial serta tatanan hukum pada saat itu. Akan tetapi, atas ketidak pahaman masyarakat lebih cenderung hukum poligami lebih otentik dengan syari’at Islam sehingga perspektif maupun opini yang mengemuka mengarah pada suatu ajaran tertentu sebagai pelopor dan aktor maraknya pelaku poligami. Sungguh perspektif yang bias dan pragmatik dan provokatif. Padahal terakomondasinya hukum poligmi dalam Islam semata-mata demi untuk menyelamatkan dan mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan. Inilah substansi hukum poligami dalam Islam yang belum dipahami dan diserap secara utuh oleh umat manusia.
Kualifikasi maksimal empat orang istri bagi yang akan melakukan poligami suatu konsep ideal yang dipatok oleh al-Qur’an yang telah mengerti tentang karakter umat manusia merupakan suatu konsep penataan agar poligami yang akan dilakukan mempunyai orientasi dan asas kemanusiaan, terutama perlindugan HAM seorang perempuan yang rentan akan terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
Poligami Sebelum Islam
Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW yang membawa Islam, agama samawi, umat terdahulu telah memperaktikkan sistem poligami. Hal ini di akui oleh Musthafa al-Siba’I seperti di katakannya:
“Poligami itu sudah ada dikalangan bangsa yang hidup pada zaman purba,… pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Assyria, Mesir dan lain-lainnya.”
Dan ditambahkannya:
“Poligami dikalangan mereka tak terbatas, sehingga mencapai 130 istri bagi seorang suami; malahan salah satu seorang raja Cina ada yang mempunyai Istri sebanyak 30.000 (Tiga puluh ribu) orang”.
Didalam agama samawi yang lain seperti Yunani dan Yahudi juga tak ada larangan berpoligami. Bahkan, dalam agama Yahudi, sebagaimana dikutip al-Suba’I, kebolehan poligami tanpa batas.3 dalam kaitan ini, sejarah mencatat, baik umat kristen maupun Bapak-bapak greja pada zaman lampau mempunyai banyak istri. Hal ini di akui oleh Barat sendiri. Waster Mark, spesialis sejarah perkawinan, menunjukkan sebuah bukti, yakni Daiyar Macedat, Raja Irlandia mempunyai dua istri yang merdeka dan dua istri yang budak. Begitu juga di dalam agama Masehi yang asli tidak ada ketentuan yang melarang poligami. (Hal itu sangat masuk akal) karena al-Masih mengukuhkan hukum Nabi Musa, dan di dalam hukum Nabi Musa (Taurat) poligami diakui secara resmi. Jadi dapat dikatakan bahwa di dalam agama Kristen yang asli, poligami di halalkan.4
Dikalangan agama animisme pun ditemukan praktek poligami seperti terdapat di afrika, sehingga para penyiar agama kristen disana terpaksa mengakuinya mengakuinya secara resmi agar orang animisme yang telah masuk kristen disana tidak murtad kembali.5
Eksistensi hukum poligami merupakan salah satu warisan agama terdahulu. Juga dikatakan oleh Syekh dr. Yusuf Qardawi bahwa bangsa-bangsa dan agama-agama sebelum Islam memperbolehkan kawin jumlah peprempuan yang sangat banyak, puluhan hingga ratusan, tanpa syarat atau batasan tertentu. Setelah kedatangan Islam, ditentukanlah olehnya batas dan syarat-syarat poligami itu.6
Poligami Perspektif Islam
1) Legalisasi Poligami
Poligami sebenarnya bukan fenomena aktual, melainkan reaktualissasi. Legalisasi hukum poligami sangat erat kaitannya dengan ketentuan Al-Qur'an surat An-nisa’ ayat 3. Ketentuan ayat tersebut yang banyak menimbulkan kontroversi tentang substansi yang terkandung di dalamnya. Menurut Syekh Muhammad Abduh bahwa ketentuan surat An-nisa’ ayat 3 mengandung prinsip dasar, yaitu monogami bukan prinsip poligami sebagaimana beliau katakan;
“Ayat tentang kebolehan beristri lebih dari satu diungkapkan dalam konteks pemeliharaan anak yatim dan larangan memakan hartanya walaupun melalui hubungan perkawinan. Oleh karena itu, jika kamu merasa khawatir tak akan dapat menghindar dari memakan harta istri yang yatim tersebut maka kamu harus membatalkan niat melakukan perkawinan dengannya karena Allah telah memberikan jalan keluar dengan dibolehkannya mengawini wanita-wanita lain sampai empat orang.”
Apa yang dkatakan Muhammad Abduh itu ada benarnya. Karena di dalam ayat 3 dari surat An-nisa’ itu paling tidak ada dua ide mandasar. Pertama, kebolehan berpoligami itu merupakan solusi dari problema sosial yang hidup ditengah masyarakat. Dengan demikian, adat-istiadat yang telah membudaya secara turun-temurun tidak dibatalkan (dihapuskan) oleh Islam secara total, melainkan diperbaharui dan diatur sdemikian rupa sehingga cocok dengan harkat dan martabat kemanusiaan manusia. Kedua, anjuran untuk menikahi wanita lebih dari seorang bukan merupakan perintah mutlak melainkan kondisional.
Prof. Dr. Quraish Shihab, MA, dengan tegas mengatakan;
“Ayat ini (An-nisa’ : 3) tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itupun merupakan pintu darurat kecil yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan.” 7
Sementara menurut pengertian Asghar, sebenarnya ayat 3 dan ayat 129 (An-Nisa’), menjelaskan betapa Al-Qur'an begitu berat untuk menerima institusi poligami. Tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada, maka Al-Qur'an membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri. Dengan syarat harus adil. Inti ayat diatas sebenarnya bukan
kepada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.8
Menurut Dra. Nyai Hj. Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid, M. Hum, Surat An-Nisa’ ayat 3 kalau diartikan secara tekstual, artinya adalah kebolehan bagi laki-laki untuk melakukan poligami. Kemudian surat An-Nisa’ ayat 129 mengatakan, “Sesungguhnya engkau laki-laki tidak bisa berbuat adil kepada perempuan-perempuan itu walaupun engkau ingin melakukannya.” Jadi, jelas ayat Al-Qur'an itu mengisyaratkan ajaran monogami, bukan poligami, itu karena poligami akhirnya menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan bagi kaum perempuan. Dengan demikian, yang tadinya boleh akhirnya menjadi tidak boleh. Karena itu, ketika Rasulullah ditanya menantunya, Sayyidina Ali, soal boleh tidaknya untuk kawin lagi. Rasulullah menjawab tiga kali didepan umum. “Aku tidak izinkan, Aku tidak izinkan, Aku tidak izinkan, kecuali Ali mau menceraikan Fatimah dan menikahi perempuan itu. Fatimah adalah darah dagingku, menyakiti Fatimah sama dengan menyakiti diriku.”
Jadi jelas bahwa ketidak bolehan itu diberikan kepada umum karena kalau itu secara khusus bagi Sayyidina Ali, pasti Nabi akan memanggil Ali dan mengatakan, “kamu jangan kawin lagi !.” 9
Terkait dengan legalisasi hukum poligami yang di dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan Ta’addud al-Zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. As-Sarakhsi menyatakan kebolehan polgami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil,. Al-Kasani menyatakan lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya. As-Syafi’I juga menyaratkan keadilan diantara para istri, dan menurutnya keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik. Semisal mengunjungi istri di malam atau di siang hari. Para ulama fiqih telalu rendah dalam memberikan kadar keadilan sebagai ujung tombak persyaratan berpoligami.
Jika disederhanakan, pandangan normatif Al-Qur'an-Qur’an yang selanjutnya di adopsi oleh ulama-ulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimilki suami. Pertama, seorang lelaki yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hal perkawinan serta hal-hal yang lain.
Berkenaan dengan alasan-alasan daruarat yang memperbolehkan poligami, menurut Abdurrahman, setelah merangkum pendapat fuqaha’ setidaknya ada delapan keadaan; 1) Istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan. 2) Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tidak dapat melahirkan. 3) Istri sakit ingatan. 4) Istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri. 5) Istri memiliki sifat buruk. 6) Istri minggat dari rumah. 7) Ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya. 8) Kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak menimbulkan kemudlaratan didalam kehidupan dan pekerjaannya.10
Jadi, adanya peraturan berpoligami dalam Islam boleh disebut sebagai salah satu upaya untuk melindungi kaum wanita dari perbuatan pria-pria yang tidak bertanggung jawab. Sebab, kaum pria sebagaimana diakui Prof. Schmidt dari Jerman: “Selalu serba bebas dalam urusan seksual..”. bahkan di zaman abad-abad pertengahan, 90% dari kaum pria biasa sekali-sekali bertukar istri dan 50% pria beristri menghianati kepercayaan istrinya. Suatu laporan dari surat kabar Ittila’as dalam bulan desember 1959, menurunkan judul artikel; “Dari setiap sepuluh anak inggris, satu adalah anak haram.” Hal ini terjadi 40 tahun silam, dimana kehidupan keluarga masih belum serapuh seperti sekarang ini, dan ikatan moral masih terasa relatif lebih kuat dibanding dewasa ini. 11
2) Kualifikasi Jumlah Maksimal
Batasan poligami, Islam mengizinkan batasan maksimal empat orang istri. Ghailan Ats-Tsaqafi ketika masuk Islam, ia beristri sepuluh orang. Nabi SAW, pun berkata kepadanya:

اختر منهن اربعا وفارق سائرهن (رواه ابو داود فى مسنده)
“ Pilhlah empat diantarnya dan tinggalkan sisanya.”12
Imam Syafi’I mengatakan, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah saw, yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah saw tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita.” Apa yang dikatakan Imam Syafi’I ini telah disepakati dikalangan para ulama, kecuali apa yang di riwayatkan dari segolongan ulama Syi’ah yang mengatakan, “Seorang lelaki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari empat orang sampai sembilan orang.” Sebagian dikalangan Syi’ah ada yang mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan Rasulullah saw. Dalam hal menghimpun istri lebih banyak dari pada empat orang sampai sembilan orang wanita seperti yang disebutkan dalam hadits shahih. 13
Dengan demikian, alasan yang sering diopinikan oleh sebagian ulama’ mengenai substansi al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat: 3 menganut asas poligami kurang tepat. Sebab bila di kaitkan dengan substansi surah an-Nisa’ ayat 129 malah sebaliknya; yaitu menganut asas monogami sehingga syarat poligami tidak hanya sekedar dikaitkan dengan masalah kemampuan materi bagi seorang lelaki, melainkan alasan darurat merupakan alasan yang dikehendaki oleh al-Qur’an untuk dapat berpoligami.
Poligami Perspektif UU No. 1/1974
Keberadaan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan juga tidak dapat dikatakan bertentangan dengan substansi surah an-Nisa’ ayat: 3. Hal ini di jelaskan pada Pasal 3 ayat (1) bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Oleh karena itu, penulis kurang sepakat dengan pendapat Ibu Dra. Pinky Saptandari, MA, bahwa hukum perkawinan di Indonesia di anggap lebih menguntungkan kaum laki-laki, sementara perempuan dan anak-anak lebih banyak menjadi korban (Surya, 10/12/2006). Sebab, bila dilihat dalam UU No. 1/1974 Pasal 4 dan Pasal 5 secara jelas telah diatur tentang persyaratan-persyaratan poligami yang lebih cendrung melindungi atau berpihak kepada seorang perempuan. Bahkan dalam Pasal 5 Ayat I huruf (a) secara jelas disebutkan bahwa ketentuan poligami bisa dilakukan oleh seorang laki-laki harus terlebih dahulu mendapat izin dari seorang istri, dan izin dari dari Pengadilan Agama (Pasal 3 Ayat 2). Kemudian pada huruf (c) dijelaskan kembali harus adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. Sinkronisasi anatara surah an-Nisa’ dengan UU No. 1/1974 ditegaskan dalam BAB I Dasar-dasar Perkawinan Pasal 2 Ayat (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kendati ketentuan Pasal 3 Ayat 2 sedikit menimbulkan kebingungan, akan tetapi menurut Prof. Dr. Mohammad Daud Ali, dalam rangka mengatasi masalah ini, izin pengadilan agama tidak boleh dianggap sebagai syarat sah perkawinan kedua. Cukuplah dianggap sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam rangka melindungi kaum wanita dan anak-anak, disamping itu, untuk mengurangi poligami dapat juga ditempuh cara dengan memberi sangsi pidana bagi bagi suami yang menikah untuk kedua kalinya, tanpa izin Pengadilan Agama.14
Penutup.
Setelah mencermati uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Ketentuan poligami dalam al-Qur’an maupun UU no. 1/1974 sama-sama menganut asas monogami dan tidak bertentangan secara substantif.
2. Dengan asas monogami, maka poligami hanya dapat dilaksanakan apabila dalam keadaan darurat
3. Hak-hak diantara istri-istri sama sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh al-Qur’an dan perundang-undangan yang berlaku












KONSEP POLIGAMI DALAM
PERSPEKTIF ISLAM DAN HUKUM DI INDONESIA
(Studi Kritis Legalisasi Poligami di Indonesia)


Makalah Disampaikan
Dalam Acara Bahsul Mas’il
Yang Diselenggarakan Oleh:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Pon-Pes “Miftahul Ulum’ Putra
Gondanglegi




Oleh:

SABUR MS, S.H.I
























LEMBAGA PENGABDIAN MASYARAKAT
BIRO BANTUAN HUKUM
“MIFTAHUL ULUM” GONDANGLEGI
MALANG
2006































Read More..

DEMI CINTA GITU LHO..!!! POTRET PERNIKAHAN DINI, FREE SEKS DAN ABORSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM 1


Oleh:
SABUR MS, S.H.I




PENDAHULUAN
Demi cinta gitu lho.!! Adalah sebuah kata yang terkadang membuat manusia lupa, khilaf untuk berfikir lebih rasional. Tidak jarang bahasa itu digunakan untuk melegalkan apa yang seharusnya tidak perlu terjadi. Pun juga sebalikya bahasa yang sangat populer pada kalangan aktor-aktor “pemeran” cinta dapat pula menumbuhkan semangat atau gairah guna meraih apa yang sebelumnya sempat impoten. Perlu diakui dan memang harus diakaui bahwa rasa cinta ibarat pabrik yang dapat memproduksi bahan yang dapat menguntungkan dan juga dapat pula merugikan para aktor tersebut. Namun terkadang dampak kerugian yang akan menjadi momok bagi masa depannya terkadang tidak seimbang dengan obsesi keuntungan. Implikasi dari semua itu akan timbul sebuah bahasa: “aku menyesal gitu lho.!!
Kerugian yang kurang diperhitungkan dalam mengambil sebuah tindakan dapat menjerumuskan ummat manusia kedalam pintu penyesalan. Hal ini dapat diilustrasikan potret pernikahan dini, free seks dan aborsi. Potret ini tidak jarang melibatkan dan mengatas namakan “Cinta”, sulit memang untuk menemukan karena alasan keterpaksaan.
Penulis sebenarnya sempat bingung juga, apasih sebenarnya “Cinta “ itu, kok mampu mencebik-cabik keintlektualan manusia? Kata “Cinta” sering dianalaogikan dengan suatu tindakan nyata, seperti mengorbankan atau memberikan sesuatu “asal” dapat menyenagkan hati si dia. Kalau dalam kontek positif sih gak apa-apa!! Namun sebelumnya penulis ingin mencoba memutar ulang pendapat seorang aktor Boliwood Sakh Rukhan, dia mengatakan bahwa “Cinta” itu adalah Inspirasi, kata inspirasi dalam kamus ilmiah diartikan sesuatu yang timbul dari lubuk hati seseorang, bukan nafsu maupun ego. Nah dari itu dapat penulis simpulkan bahwa sesuatu yang telah menjerumuskan kita ke “lembah” pernikahan dini, free seks dan aborsi bukanlah “cinta” sesungguhnya, melainkan nafsu dan ego yang bersembunyi dan mengatas namakan “Cinta”. Penulis rasa, “Cinta” tidak harus mengorbankan sesuatu yang “amat” berharga. Karena “cinta” sebenarnya sudah sangat berharga, jadi tidak perlu suatu yang berharga “yang dapat memberikan aib” dikorban atas nama “Cinta”.
Memang terkadang kita kurang sadar dan menyadari bahwa pernikahan dini, free seks dan aborsi adalah korban dari keganasan nafsu dan ego, bukan karena lagi gila “Cinta”. Namun kita enggan untuk mengakui sehingga bahasanya diperhalus dengan sebutan “demi cinta gitu lho.!!”
Untuk itu penulis mencoba menganalisa potret pernikahan dini, free seks dan aborsi dalam perspektif hukum.

PERNIKAHAN DINI
Perdebatan mengenai Pernikahan Dini tidak luput adanya perbedaan mengenai arti atau definisi yang dijadikan bahan argumentasi. Oleh karenanya perlu adanya suatu pembatasan yang jelas sehingga dapat memberi suatu pemahaman tentang Pernikahan dini.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia Edisi kedua yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1995, penmgertian “dini” adalah “pagi sekali” dan diartikan pula “sebelum waktunya lahir”.
Jika dicermati ada dua pemahaman tentang pengertian Pernikahan Dini, pertama; Pernikahan Dini diartikan belum waktunya nikah maka dinikahkan, dan pengertian kedua; Pernikahan Dini bisa diartikan jika telah mampu untuk menikah maka segeralah menikah.
Jadi Pernikahan Dini dapat diartikan, pernikahan yang belum waktunya baik secara fisiologi maupun psikologis.2
Ciri-ciri secara psikologis mungkin tidak perlu penulis mengkualifikasikan secara rinci. Secara hukum seorang dapat dikatagorikan telah melakukan pernikahan dini bila pernikahan yang dilangsungkan oleh keduanya tidak memenuhi ketentuan UU No. 1 Tahun 19974 pasal 7 ayat (1).
Mengapa UU menetukan batas usia yang demikian? Menurut dr. Muhammad Kuntadi Syamsul Hidayat, Mkes,MMR, pada usia 10-18 tahun bagi wanita, dan usian 12-20 tahun unruk pria, merupakan masa peralihan anak menjadi sewasa. Hal ini ditandai dengan percepatan pertumbuhan tinggi dan berat badan, timbulnya ciri kelamin sekunder dan perkembangan fungsi alat kelamin sekunder
Pada masa ini terjadi pertumbuhan cepat ketiga mendahului tercapainya kematangan seksual. Hal ini sering menimbulkan masalah dan menjadi masa-masa sulit bagi sebagian orang tua karena dimasa ini anak tak ingin diperlakukan seperti anak-anak walau usianya belum dewasa.
Masih ingat berita beberapa tahun lalu, ketika beberapa media memberitakan perkawinan kontroversial seorang pemuda turki dengan gadis kecil warga inggris? Media barat, khususnya, masih terus mempersoalkan pernikahan yang mereka anggap tak ‘bermoral” itu. Ujung-ujungnya, mereka menyalahkan agama Islam, sebagai agama yang membuka pintu lebar-lebar untuk perkawinan dibawah umur.
Ribut pernikahan dibawah umur sebenarnya bukan fenomina baru. Hingga tahun 60-an, pernikahan semacam itu bukanlah barang aneh. Banyak orang tua --- umumnya disesa-desa --- menikahkan anak-anak mereka ketika belum lagi mencapai umur usia 15 tahun, baik karena alasan adat maupun karena alasan sosial dan agama.
Bagaimana sebenarnya kedudukan pernikahan mereka secara hukum? Hampir seluruh hukum positif diberbagai negara mengharamkan perkawinan semacam itu. Tengoklah, misalnya, hukum perdata mesir --- sebuah negeri berpenduduk mayoritas muslim. Disana tidak diperbolehkan warganya kawin sebelum mencapai usia 16 tahun untuk wanita dan 18 tahun untuk pria (UU Mesir, pasal 99 No. 78/1931) 3 begitu juga yang ditentukan dalam UU Perkawinan Indonesia No. 1 Tahun 1874 pasal 7 ayat (1) Pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (senbilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Penyimpangan terhadap ketentuan tersebut diatas hanya dapat dilakukan apabila sudah mendapat dispensasi dari Pengadilan. Lalu bagaiman menurt hukum fiqh? Dalam hukum fiqh masih terdapat perdebatan sengit antara yang pro dan yang kontra. Menurut Prof. KH. Ibrahim Hosen, kontroversi disekitar pernikahan dibawah umur itu adalah murni persoalan fiqh. Karena itu, masih terbuka ijtihad untuk mencari pendapat yang terbaik. Sementara pakar fiqh asal jordania Dr. Muhammad ‘Uqlah secara tegas menolak ide pernikahan dibawah umur. Hal itu, menurutnya, adalah karena tujuan perkawinan adalah bukan semata-mata melepaskan hasrat seksual, melainkan untuk membina sebuah rumah tangga yang harmonis. Dan untuk menciptakan rumah tangga seperti itu diperlukan kematangan mental dan fisik. 4
Seiring dengan diatas, penulis berpendapat bahwa pernikahan dini/dibawah umur bukan berarti dapat membetalkan akad nikah yang akan dilaksanakan. Namun melakukan perkawinan dini bukanlah solusi terbaik. Sebab pernikahan dini hanya menjadi momok bagi masa depan mereka, semangat, obsesi dan keinginan untuk menggapai masa depan akan mudah terkubur, kemungkinan besar anaknya akan terkena imbasnya. Kalau sudah terjadi demikian, apakah masih perlu kita mengatasnamakan “Demi cinta, gitu lho.!!”..(??) Apa tidak lebih baik kita menyalahkan rumput yang bergoyang saja.!!
FREE SEKS
Eh entar dulu… free seks itu bukan berarti bebas melakukan adegan seks sesukanya seperti suami istri!! Free seks itu adalah suatu perbuatan seks yang dilakukan dua orang lain jenis kelamin tanpa terlebih dahulu diadakan ikatan tali pernikahan atau dilakukan oleh sesama jenis kelaminnya, baik dilakukan secara sembunyi-sembunyi apalagi dilakukan ditengah lapangan, siang bolong lagi!! Lebih ekstrimnya , free seks itu adalah perbuatan zina, yang identik dengan prilaku ayam atau jenis hayawan lainnya. Tentu kita semua tidak ingin di identikkan dengan prilaku binatangkan!! Untuk itu Allah membedakan antara manusia dengan hayawan , diantaranya, terdapat bagaimana manusia menyalurkan hasrat seksualnya.
Free seks itu sangat mengerikan dan menyeramkan, melebihi genduruwo bahkan mak lampir. Islam sangat mengancam pelaku free seks atau zina. Yang demikian itu karena free seks atau zina menyebabkan simpang siurnya keturunan, terjadinya kejahatan terhadap keturunan, dan berantakannya keluarga. Bahkan hingga menyebabkan terserabutnya akar kekeluargaan, menyebarnya penyakit menular, merajalelanya nafsu, dan maraknya kebobrokan moral. 5
Rekan-rekanita pasti masih ingat betapa ganasnya yang namanya AIDS! Sampai sekarang tidak satupun seorang ilmuan yang menemukan obatnya. Free seks sangat rawan terkena penyakit AIDS. Artinya siapapun yang terkenanya, maka harus siap-siap mati, gitu lho!
Namun sayang dalam KUH Pidana kita, free seks/perbuatan zina hanya sekedar diancam dengan hukuman paling lama sembilan bulan, penulis jadi prihatin... Hal ini termaktub dalam pasal 284 ayat 1 (a). dalam kondisi apapun, free seks sangat tidak diperbolehkan, yang diperbolehkan hanya free romeng, free SMS dan free tawk, nah kalau yang ini nih pasti ok banget..
Free seks merupakan salah satu tindakan kejahatan yang dapat mengganggu ketentraman sosial. Pelaku free seks lebih cenderung mengedepakan ego daripada logika. Mengapa free sek penulis kategorikan sebagai tindakan kejahatan? Menurut Prof Dr. J.E. Sahetapy, SH., bahwa kejahatan mengandung konotasi tertentu, suatu pengertian dalam penamaan yang relatif mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun fasif) yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap nilai-nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu. 6 Kendati pelaku free seks digolongkan sebagai masalah perdata, namun aparat penegak hukum iaitu polisi tetap diperbolehkan oleh Undang-undang untuk memberengus aksi-aksi mereka yang telah membuat kersehan dimasyarakat. Diantara faktor yang cenderung untuk melakukan free seks adalah pergaulan bebas yang diisukan sebgai salah satu bentuk moderenisasi. Rekan-rekanita tentu sudah tau berapa mayat bergelimpangan akibat free seks dengan alasan “Demi cinta, gitu lho.!!”.
Yang sangat memprihatinkan lagi, semua survie yang dilakukan di Kota Malang menyatakan bahwa dari 30 mahasiswa atau pelajar 28-nya sudah ngaku tidak perawan. Rialitas ini didasari berbagai alasan diantaranya adalah dikarenakan ketagihan atau senang dan karena alasan cinta. Survie ini memang baru dilakukan di Kota Malang, lho.. lalu bagaimana di Kabupaten Malang? Secara politis pemerintah sudah mengantisipasi akan terjadinya pree seks akibat pergaulan bebas tersebut dengan cara membuatkan perangkat hukum berupa Peraturan Daerah (PERDA), tapi dalam sistem pengawasannya sangat lemah sehingga “malingnya” melangkahi ketentuan PERDA tersebut dengan mudah.
ABORSI
Kata aborsi berasal dari bahsa latin yaitu abortus yang berarti gugur kandungan atau keguguran. Dalam bahasa arab aborsi disebut isqotul hamli atau al-Ijhad. Penjelasan istilah aborsi bisa berbeda-beda misalnya menurut Sardikin Gina Putra, aborsi adalah “Pengakhiran kehamilan atau konsepsi sebelum janin hidup diluar kandungan”, sedangkan menurut Marjono Reksoniputra mendefinisikan aborsi sebagai “Pengeluaran hasil konsepsi dari rahim sebelum hasil konsepsi itu dapat lahir secara alamiah dengan adanya kehendak merusak hasil konsepsi tersebut”. Lain lagi definisi menurut Nan Soendo, SH, “Aborsi adalah pengeluaran buah kehamilan pada waktu janin masih demikian kecilnya sehingga tidak dapat hidup”
Aborsi atau pengguguran kandungan kembali menyulut kontroversi. Khususnya ketika diagendakan dalam Konfrensi Dunia Tentang Wanita di Beijing awal september 1995 lalu. Pengakuan akan hak-hak fundamintal kaum wanita dihadapan hukum dalam memperoleh jaminan kesehatan reproduksi, termassuk aborsi.
Diberbagai negara, aborsi memang tergolong tindak kriminal, kecuali dilakukan dengan beberapa alasan tertentu. Di AS, hukuman penjara mengancam kaum wanita yang melakukan aborsi dengan alasan non-medis, seperti tertera dalam pasal 275 UU Hukum Pidana Negara bagian California.
Di Jerman, aborsi dibolehkan hanya untuk kasus perkosaan, atau jika kehamilan mengancam jiwa sang ibu, dan usia kandungannya dibawah usia tiga bulan.
Di Indonesia, pasal 346 KUH Pidana mengancam perempuan yang menggugurkan kandungannya dengan penjara maksimal empat tahun. Jelas aborsi yang dianggap legal adalah yang berdasar pada indikasi medis, terutama untuk menyelamatkan jiwa sang ibu.
Sementara Prof Dr. H. Muladi, SH., berpendapat bahwa: pengguguran kandungan/aborsi merupakan tindak kriminal. Untuk itu ia memberi kreteria tambahan: “yang penting tak melanggar norma agama”. Oleh karenanya fatwa khusus tentang aborsi tetap diperlukan. 7
Aborsi adalah salah satu persoalan masyarakat barat yang muncul akibat kebejatan moral masyarakatnya, banyaknya kehamilan diluar nikah (hasil perbuatan zana) yang tidak terhitung lagi, serta membudayanya pergaulan bebas. Prosentase kahamilan diluar nikah tersebut bahkan telah mancapai 24% dari seluruh kehamilan. Dibeberapa negara barat, prosentase kehamilan diluar nikah bahkan telah mencapai 70%. Akibatnya, negara-negara seperti Jepang, India, Korea Utara, Taiwan, Inggris, Hungaria, Australia, Zambia, Kuba, Puerto Rico, Mongolia, Cina, Amerika Utara,Vietnam, sebagian negara di Eropa, dan Tunisia menyalah gunakankan aborsi. 8
Bagaimana tanggapan para ahli fikih?
Para ahli fikih sepakat bahwa pengguguran kandungan setelah ditiupkan ruh kedalamnya adalah haram dan dosa. Seorang muslim tidak boleh melakukannya karena merupakan tindakan kriminal terhadap manusia yang sudah sempurna dan jelas-jelas hidup. 9
Namun batasan kapan diharamkan dan diperbolehkan, ulama madzhab masih terdapat kontroversi. Menurut madzhab Hanafi, aborsi diperbolehkan sebelum usia kandungan mencapai 120 hari. Sedangkan madzhab Maliki mengharamkannya sejak pembuahan. Dikalangan madzhab Syafi’i, ada beberapa pendapat. Diantaranya, ada yang mengharamkan secara mutlak, yakni sejak terjadinya pembuahan (al-Ghazali), ada yang membolehkan sebelum ruh ditiupkan kedalam tubuh janin pada hari ke 120 (al-Ramli). 10
Namun bila keberadaannya menyebabkan kematian dan tidak ada cara lain untuk menyelamatkan jiwa ibunya kecuali dengan menggugurkannya, maka pengguguran dalam hal ini menjadi wajib. Tidak boleh mengorbankan jiwa ibu untuk menyelamatkan jiwa janin. Karena dialah pangkalnya, dan kehidupan telah berada dalam jiwanya. Ia memiliki hak hidup secara mandiri, memiliki hak dan kewajiban. Lebih dari itu, ia adalah pilar keluarga. Karenanya tidak logis kalau demi membela janin yang belum tentu jelas kehidupannya harus mengorbankan sang ibu, padahal bagi ibu belum mempunyai hak dan kewajiban sedikitpun. 11
Pernikahan dini, Free seks dan Aborsi memang telah menjadi fenomina sosial yang perlu diimbangi dengan rasa kesadaran dan tanggungjawab bersama. Seperti orang tua, guru, ulama’ pemerintah, kalangan aktivis, LSM dan masyarakat untuk saling bahu membahu menjaga dan memberi pendidikan serta kesadaran hukum. Karena persoalan ini bukan semata persoalan personality law, hal ini adalah persoalan kalsik yang selalu mengusik ketenangan masyarakat. Tanpa adanya peran serta dari yang telah disebutkan, prodak UU semacam apapun tidak akan membawa implikasi apa-apa. Contoh persoalan korupsi, pemerkosaan, kejahatan dalam rumah tangga dan kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), semua telah diatur dan dilindungi oleh UU, tapi nyatanya sekarang apa? Kalau kekerasan cinta, ada ngak(?)
Demi cinta gitu lho.!! Kita semua harus mampu melakukan apa yang terbaik bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
KESIMPULAN
Bila kita analisis lebih konprehensip paparan diatas bahwa pergaulan bebas yang telah menjadi tren pada kalangan pelajar, khususnya remaja, merupakan kesalahan pesepsi yang pada akhirnya berdampak pada timbulnya fenomina sosial seperti Pernikahan Dini, Free Seks dan Aborsi.
Dengan demikian perlu peranan aktif dari semua unsur masyarakat khususnya Lembaga Pendidikan terkait dengan prodak aturan dan pembinaan mentalitas murid serta menjamkan peran kurikulum keagamaan dimasing-masing Lembaga Pendidikan tersebut.


Read More..

PANDANGAN ISLAM TERHADAP POLIGAMI



Oleh:
SABUR MS, S.H.I., M.H



Eksistensi hukum poligami dalam Islam baru-baru ini mendapat kritikan tajam dari sebagian msyarakat negeri ini. Kritikan bias dan pragmatik itu otentik dengan kritikan atau cibiran orang-orang barat yang nasrani. Padahal poligami tidak lepas dari akar sejarah yang cukup panjang, sepanjang sejarah peradaban manusia itu sendiri. Perspektif bias yang kerap terpublikasikasi tentang poligami lebih cendrung mengedepan pola fikir pragmatik dari pada mengembangan pola fikir substantif secara obyektif. Pola fikir pragmatik sebagian masyarakat tentang poligami masih menyisakan segudang tanda tanya tentang konkritisasi pemahaman mereka mengenai konsep poligami dalam ajaran Islam. Hal ini sangat menyayangkan mengingat semakin banyaknya ke “alergian” masyarakat untuk mempelajari ajaran Islam, justru semakin banyak yang mengkritisi ajaran Islam.
Dengan demikian, “kecemburuan” sebagian masyarakat terhadap konsep poligami sungguh spekulatif dan propokatif, mengingat eksistensi dari konsep poligami bukan hanya didasarkan kepada pertimbangn kepuasan seks belaka, melainkan pertimbangan-pertimbangan manusiawi yang sangat penting, baik secara individual maupun secara sosial. Sehingga , kendati dengan batasan-batasan, Islam masih memberi ruang bagi seorang muslim menikah dengan lebih dari satu perempuan. Sebenarnya, konsep poligami merupakan peninggalan bangsa-bangsa dan agama-agama terdahulu yang tidak mengenal jumlah batas maksimal. Kedatangn Islam ini hanya ingin memberikan batasan atau menata dalam kerangka menjaga dan melindungi hak dan harkat seorang perempuan. Islam adalah agama yang sejalan dengan fitrah manusia dan realistis. Ia enghadapi rialita kehidupan ini dengan kearifan yang mendidik, menjauhkannya dari sikap melampaui batas sekaligus sikap ceroboh.1
Poligami Perspektif Islam
Keberadaan hukum poligami erat kaitannya dengan historis dan fenomina sosial pada masa sebelum Islam turun dan menertibkannya. Penertiban poligami oleh Islam dengan di turunkannya salah satu ayat al-Qur’an, yaitu surah An-Nisa”: 3.


“ Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat”
Kemudian yang menjadi perdebatan dimasyarakat ialah terkait dengan potongan ayat berupa:

“.. dua, tiga, empat. (An-Nisa’: 3)
Nikahilah wanita manapun yang kamu sukai selain dari anak yatim; jika kamu suka, boleh menikahi mereka dua orang; dan jika kamu suka, boleh tiga orang; dan jika kamu suka, boleh empat orang. Seperti pengertian yang terdapat di dalam Firman-Nya:


“Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat (Fatir: 1)
Maksudnya, dintara mereka ada yang mempunyai dua buah sayap, tiga buah sayap, dan pula yang mempunyai empat buah sayap. Akan tetapi, hal ini bukan berarti meniadakan adanya malaikat yang selain itu karena adanya dalil yang menunjukkan adanya selain itu.2
Tidak berlebihan jika dikatakan, bahwa ulama’ sepakat tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bermacam-macam. As-Sarakhsi mengatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus berlaku adil. Al-Kasani menyatakan lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya. As-Syafi’I juga mensyaratkan keadilan diantara para istri, dan menurutnya keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi istri di malam atau di siang hari.3 Namun, terkait dengan ketentuan surah An-Nisa’: 3, dan an-Nisa’: 129, Asghar menginterpretasikan bahwa sebenarnya dua ayat di atas menjelaskan betapa al-Qur’an berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada maka al-Qur’an memperbolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus adil. Dengan mengutip at-Tabari, menurut Asghar, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.4
Batas dan Syarat Poligami
a. Batasan Poligami
Sebagaimana disebut diatas, sebelum Islam menertibkan berpoligami, poligami yang dilakukan tanpa batas sehingga seorang laki-laki bisa memiliki puluhan isrtri. Poligmi pada masa itu dapat disebut poligami tak terbatas yang berpotensi melanggar terhadap HAM. Lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah yang menentukan sepenuhnya siapa yang paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk memperoleh ke adilan. Oleh sebab itu, Islam tetap memperbolahkan poligami dengan batasan maksimal, yaitu empat orang istri. Gahilan Ats-Tsaqafi ketika masuk Islam, ia beristri sepuluh orang. Nabi saw pun berkata padanya,

“Pilihlah empat diantaranya dan tinggalkan sisanya”
Sedangkan perkawinan Rasulalloh saw dengan sembilan orang istri, ini adalah kekecualian yang Allah swt berikan kepada beliau untuk kebutuhan dakwah di masa hidupnya. Selain itu, juga kebutuhan umat kepada mereka setelah beliau meninggal.5
Imam Syafi’I menyatakan, “Sesungguhnya sunnah Rasulullah saw yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah saw tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita.” Apa yang dikatan Imam Syafi’I ini telah disepakati dikalangan para ulama’, kecuali apa yang diriwayatkan dari seolongan ulama’ Syi’ah yang menyatakan, “Seorang lelaki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari empat orang sampai sembilan orang.” Sebagian dari kalangan Syi’ah ada yang mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan Rasulullah saw dalam hal menghimpun istri lebih banyak dari pada empat orang sampai sembilan orang wanita, seperti yang sebutkan di dalam hadis Sahih.
Adapun mengenai boleh menghimpun istri sebanyak sebelas orang, seperti yang disebutkan didalam lafaz hadis yang diketengahkan oleh Bukhori: Sesunggunya Imam Bukhori sendiri telah men- ta’liq (memberinya komentar). Telah diriwayatkan kepada kami, dari Anas, bahwa Rasulullah saw menikah dengan lima belas orang istri, sedangkan yang pernah beliau gauli hanya tiga belas orang, yang berkumpul dengan beliau ada sebelas orang, dan beliau wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri.6
Pada garis besarnya tersimpulkan bahwa seandainya di perbolehkan menghimpun lebih dari empat orang istri, niscaya Rasulullah saw memperbolehkan tetapnya semua istri Gailan yang sepuluh orang itu, mengingat mereka semua masuk Islam. Setelah Nabi saw memerintahkan Gailan memegang yang empat orang dan menceraikan yang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh memiliki istri lebih dari empat orang dengan alasan apapun.7
b. Syarat-syarat Poligami
Syarat yang dituntut Islam dari seorang muslim yang akan melakukan poligami adalah keyakinan dirinya bahwa bisa berlaku adil di antara dua istri atau istri-istrinya dalam hal makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian, dan nafkah. Barang siapa kurang yakin akan kemampuannya memenuhi hak-hak tersebut dengan seadil-adilnya, haramlah baginya menikah dengan lebih dari satu perempuan. Allah swt berfirman:


“Lalu jika kalian khawatir tak bisa berlaku adil, cukuplah satu saja.” (An-Nisa’: 3).
Karena itulah, Rasulullah saw dahulu membagi-bagi secara adil dan berkata;


“Ya Allah, inilah pembagianku sebatas apa yang aku miliki. Karena itu, janganlah Kau siksa aku dalam hal yang Engkau miliki dan tidak aku miliki.” (HR. Ashabus Sunan)
Maksudnya, jangan siksa karena hal yang tidak dimilikinya, menyangkut masalah hati dan kecendrungan perasaan secara khusus kepada salah satu diantara mereka.
Jika hendak bepergian, Beliau saw mengundi mereka. Barang siapa diantara mereka namanya muncul, dialah yang berhak ikut bersamanya. Beliau lakukan itu tidak lain kecuali untuk menghindari penyesalan dan demi kelegaan hati semua pihak.8
Jika disederhanakan, pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya di adopsi oleh ulama’-ulama’ fikih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki suami. Pertama, seorang lelaki yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain.
Sementara, bila berkenaan dengan keadaan darurat yang memperbolehkan poligami, menurut Abdurahman setidaknya ada delapan keadaan. (1) Istri mengidap suatu penyakit yang membahayakan dan sulit disembuhkan. (2) Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tak dapat melahirkan. (3) Istri sakit ingatan. (4) Istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri. (5) Istri memiliki sifat buruk. (6) Istri minggat dari rumah. (7) Ketika terjadi ledakan perempuan dengan sebab perang misalnya. (8) Kebutuhan suami beristri lebih dari satu, dan jika tidak menimbulkan kemudharatan didalam kehidupan dan pekerjaannya.9
Terkait setelah terjadi perang yang biasanya banyak menelan korban kaum laki-laki dan anak-anak muda. Dalam keadaan seperti itu, akan menjadi maslahat bagi masyarakat dan bagi perempuan itu sendiri, jika mereka menjadi madu, tidak menjadi perawan tua yang sepanjang hidupnya terhalang dari kehidupan rumah tangga dengan segala ketentraman, cinta, kasih, kehormatan, kesucian, dan nikmat keibuan, sementara panggilan fitrahnya juga selalu mendambakannya.
Ada satu diantara pilihan bagi perempuan yang jumlahnya berlebihan di banding dengan jumlah laki-laki:
1. Menghabiskan seluruh masa hidupnya dengan menelan kenyataan pahit tidak mendapat jodoh.
2. Melepaskan kendali, menjadi pemuas nafsu bagi laki-laki hidung belang yang diharamkan.
3. Atau menikah dengan seorang laki-laki beristri yang mampu memberi nafkah dan berlaku baik.
Tidak diragukan lagi, cara terakhir adalah alternatif yang adil, dan merupakan solusi terbaik terhadap permasalahan yang di hadapinya.10 Dan itulah keputusan hukum Islam.


“Dan siapakah yang lebih baik hukumnya di banding (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.” (Al-Qur'an-Maidah: 50).
Penutup.
Mencermati uraian serta konsep dan alasan yang di kemukakan oleh para Ualam’ dan intlektual Islam, dapat disimpulkan sebagi berikut:
1. Islam memperbolehkan kaum muslim yang memenuhi syarat berpoligami
2. Poligami dalam Islam suatu jawaban dalam menjaga hak-hak perempaun
3. Poligami bisa dilakukan bila sudah memenuhi syarat-syarat diatas
4. Poligami adalah warisan orang barat Nasrani yamg dilkukan tanpa batas






DAFTAR PUSTAKA




Al-Imam Abdul Fida Isma’il Ibnu Kasir Ad-Dimasyqi, Tafsir Ibnu Kasir, Juz 4, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2000
Amiur Nuruddin, Dr. MA. H, Azhari Akmal Tarigan, Drs. M. Ag, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, Kencana, Jakarta, 2004
Yusuf Qardawi, Syaikh. Dr. Halal Haram dalam Islam, Era Inter Media, 2000

Read More..

ADVOKAT DAN PENEGAKAN HUKUM


Oleh:
SABUR MS, S.H.I., M.H



Advokat atau pengacara meruapakan bagian dari unsur penegakan hukum di Indonesia. Sebagai sub dari penegakan hukum, advokat/pengacara tentunya tidak sekedar terikat pada ketentuan UU Advokat maupun kode etik profesi advokat melainkan terikat juga terhadap ketentuan UU yang berkaitan dengan proses penegakan hukum yang berkeadilan. Sebagai sub penegakan hukum, seperti halnya Polri, Kejaksaan, Pengadilan dan KPK, seorang advokat dituntut agar bekerja secara profesional. Sebab kegagalan penegakan hukum di Indonesia tidak bisa begitu saja dilimpahkan kepada penegak hukum yang lain sementara para advokat justru cuci tangan seakan tidak ikut terlibat dari semua kegagalan tersebut.benarkah?

Peran Advokat
Secara substansi peran advokat dalam ikut penegakan hukum di Indonesia tidak jauh berbeda dengan instansi penegak hukum yang lain, iaitu sebagai penegak hukum yang diperankan oleh swasta. Perbedaan kulit (PNS dan Swata) bukanlah perkara substantif untuk dijadikan alasan melainkan bagaimana upaya dan peran yang diamanatkan oleh UU tentang tegaknya keadilan hukum dapat terwujud secara nyata. Perdebatan tentang sebuah Pasal dalam UU merupakan salah satu dinamika ilmiah yang harus di hormati, namun perdebatan harus dilandasi dengan niat yang baik demi untuk mencapai keadilan hukum. Jangan samapi silang tafsir tersebut justru hanya akan dijadikan alasan untuk membelokkan sebuah fakta hukum yang berlindung di ketiak Pasal tersebut. Untuk mengantisipasi hal itu memang tidaklah mudah, terlebih adanya tuntutan dari klien yang selalu ingin dimenangkan sekalipun telah terbukti bersalah. Disamping tuntutan ingin selalu menang dalam segala hal, persaingan antara Advokat dalam menggaet calon klien tentu akan menjadi permasalaha tersendiri, terlebih honor seorang advokat tergantung ada dan tidaknya klien yang ditanganinya. Akhirnya, tidak mustahil bila penanganan perkara tidak lagi mengedepankan keadilan hukum melainkan bagaimana perkara yang ditangani dapat dimenangkan di pengadilan. Dengan demikian, maka timbul stigma di masyarakat sebagai advokat yang lihai. Stigma inilah yang akhirnya akan memberikan “berkah” tersendiri bagi para advokat tersebut.
Tentunya hal tersebut tidak perlu terjadi mengingat profesi advokat adalah profesi mulia yang dilindungi oleh UU. Sebagai profesi mulia tentunya sangat disayangkan bila dikotori dengan hal-hal yang bertentangan dengan harkat dan martabatnya sebagai satu-satunya makhluk alloh yang paling mulia dimuka bumi ini. Untuk itu, para advokat perlu me-revieu dan intropeksi tentang kegagalan penegakan hukum di Indonesia ini. Masih relevankah kegagalan ini terus di identikan dengan Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Kehakiman? Sekalipun masyarakat banyak yang menyalahkan Kepolisian, Kejaksaan, KPK dan Kehakiman, akan tetapi tidak lengkap apabila unsur penegak hukum lain seperti advokat justru tidak di ikutkan. Sebab semua unsur penegak hukum tersebut saling berkaitan dan erat hubungannya terhadap masa depan penegakan hukum yang berkeadilan. Ibaratnya para pengak hukum ini satu badan yang turut saling terkait dalam segala hal, sehingga apapun yang terjadi bisa dikatakan bagian dari hasil kerja kolektifnya.

Jangan Cuci Tangan Dulu
Institusi advokat harus turut bertanggungjawab juga terhadap kesuraman penegakan hukum di indonesia selama ini. Kalau penulis amati, advokat yang mendampingi koruptor lebih kepada bagaimana upaya pembelaan dan pemenangan terhadap klien yang dibelanya. Perdebatan tentang Pasal dalam UU tidak lagi mengedepankan aspek ilmiah melainkan bagaimana argumentasi yang dibuat dapat memberikan pengaruh terhadap dukungan opini publik kepadanya. Rialitas ini harus menjadi sebuah catatan bagi masyarakat bahwa tanggungjawab penegakan hukum tidak sekedar dijadikan sebuah issue kepentingan politik sesaat. Oleh sebab itulah, penataan dalam upaya penegakan hukum tidak bisa lagi terbatas pada penegak hukum yang berlabel PNS, selebihnya para institusi advokat sangat memberi andil bagaimana format penegakan keadilan hukum itu terwujud. Penegasan ini disebutkan dengan jelas dalam UU no. 18 tahun 2003 tentang Advokat Pasal 5 ayat (1) Advokat berstatus penegak hukum, bebas, dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Didalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) Yang dimaksud dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah Advokat sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam penegakan hukum dan keadilan.
Kesetaraan kedudukan Advokat dengan penegak hukum lain yang diamanatkan oleh UU menunjukkan bahwa pada diri Advokat baik secara institusi maupun individu telah melekat tanggungjawab yang sama dengan penegak hukum yang lain seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan KPK. Jadi penulis sangat prihatin terhadap berkembangnya opini publik yang seakan-akan segala permasalahan penegakan hukum di negara ini adalah tanggungjawab Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan KPK. Kalau memang harus demikian kenyataannya, buat apa Pasal 5 ayat (1) diamanatkan kepada Advokat? Contoh kecil ke ikut sertaan seorang Advokat dalam suramnya sejarah penegakan hukum di Indonesia adalah kasus Korupsi Gayus Tambunan, semua unsur penegak, kecuali KPK, hukum terlibat termasuk oknum Advokat itu sendiri. Untuk itu, sekali lagi penulis tegaskan bahwa penataan penegakan hukum harus dilakukan secara menyeluruh dan konprehensif. Institusi Advokat harus berani terbuka dan mau di awasi oleh lembaga eksternal dengan aturan dan kewenangan yang dapat dijadikan dasar yang kuat sehingga Advokat di Indonesia memang benar-benar terdiri dari orang-orang yang mempunyai loyalitas dan integritas yang cukup untuk menjalani tugasnya sebagai seorang Advokat. Tidak hanya semata-mata berorientasikan pada berapa jumlah “materi” yang akan diperoleh.

Penutup
Dibagian terakhir tulisan ini, penulis masih berharap penegakan hukum di Indonesia ini terus berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, yaitu keadilan hukum. Dari sekian juta penduduk Indonesia ini masih banyak orang-orang yang memiliki komitmen serta integritas yang pantas diberikan amanah sebagai penegak hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, KPK dan Advokat.

Read More..

Senin, 22 Agustus 2011

ANSOR TINGGAL SEBUAH SEJARAH?

Berbicara tentang Ansor tidak lepas sejarahnya dalam memberikan kontribusi yang cukup pada Negara ini. Peran dan jasa dalam proses kemerdekaan Negara ini tidak bisa dinafikan begitu saja. Diakui atau tidak, Ansor sebagai salah satu basis gerakan kepemudaan yang berada di naungan NU memang tidak bisa kegitu saja diabaikan kesejarahan Bangsa ini. Dengan kontribusi yang telah dipersembahkan, Ansor menjadi gerakan kepemudaan yang cukup disegani dan dibanggakan. Artinya dengan kiprah yang telah di dedikasikan kepada masyarakat dan negara membuat Ansor menjadi organisasi kepemudaan yang besar dan selalu mendapat forsi politik tersendiri. Ini salah satu bagian jerih payah para tokoh kepemudaan ansor dalam membangun basis dan pergerakan kerakyatan kehingga program-program Ansor dengan sendirinya mendapat apresiasi masyarakat.
Ansor Waktu Dulu
Dengan dediukasi dan kontribusi yang telah diberkan pada bangsa ini, akhirnya Ansor terus tumbuh dan berkembang. Ini bukti eksistensi kelahiran Ansor tidak semata hanya tempat berkumpulnya Pemuda Nahdlatul Ulama’, melainkan adanya misi dan orientasi kebangsaan yang harus diperjuangkan. Yaitu penegakkan dan membentengi ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) agar tetap eksis sehingga masyarakat tidak terkontaminasi oleh ajaran-ajaran yang dapat menyesatkan. Dari misi perjuangan tersebut, Ansor selalu mendapat tempat dan apresiasi sehingga dengan sendirinya masyarakat merasa terpanggil untuk selalu memberikan dukungan terhadap Pergerakan serta program-program Ansor. Akhirnya keberadaan Ansor tidak hanya menjadi milik pengurusnya saja, dalam hal ini semua elemen masyarakat turut merasa memiliki dan menjadikan Ansor bagian tempat dalam mewujudkan mimpi untuk dapat berperan dalam sejarah perjuangan bangsa ini.
Potret ini mengambarkan bahwa kebesaran Ansor pada waktu dulu bukan karena hanya sekedar kegiatan serimonial yang mampu mengikat hati masyarakat melainkan keberpihakan terhadap apa yang menjadi kebutuhan masyarakat ditindaklanjuti dengan langkah nyata. Langkah konkrit ini tentunya jangan sampai luntur oleh waktu, karena kebutuhan masyarakat terhadap peran Ansor tidak tergantung pada waktu melainkan terus berkembang secara dinamis. Dinamisasi ini bukan berarti menghilangkan pokok misi kelahiran Ansor sebagai benteng Ulama’ dan ajaran Ahlu Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Dinamisasi sebagaimana tersebut bahwa di dalam masyarakat ada pergerseran nilai kebutuhan yang perlu segara di advokasi oleh Ansor dengan Program-program nayatanya. Oleh karenaya, Ansor tidak perlu kaku terhadap program yang akan disusun, tapi program Ansor juga jangan sampai terjebak pada kegiatan serimonial yang cenderung elitis, sementara dalam tataran gres rood kegiatan serimonial tersebut akan menimbulkan image yang bertentangan dengan apa yang diinginkan masyarakat.
Dinamisasi program adalah tuntutan bagi Ansor kedepan agar perjungan berjalan secara estafet, tidak stagnan yang dapat melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi Ansor sebagai organisasi kepemudaan yang besar. Masyarakat mungkin tidak akan mehilangkan sejarah perjuangan Ansor, akan tetapi Ansor harus mengerti bahwa masyarakat tidak akan selalu terpaku oleh sejarah. Mereka butuh keberlanjutan sejarah yang harus di lakukan Ansor kedepan agar keberadaannya tetap eksis ditengah-tengah masyarakat.

Uforia di Tengah Sejarah
Melihat gerakan yang di telah dilakukan oleh Ansor waktu dulu memanga sewajarnya bila Ansor akan mendapat tempat pada masyarakat. Pengorbanan dan perjuangan yang telah dipersembahkan kepada bangsa dan masyarakat akan menjadikan bukti bahwa kelahiran Ansor sangat jauh dari pemikiran pragmatis. Akan tetapi, keberlanjutan sejarah tersebut memerlukan reorientasi program yang akan menjadi pijakan pergerakan Ansor. Reorientasi sebagaimana disebutkan merupakan salah satu langkah strategis ditengah mulai melunturnya masyarakat terhadap keberadaan Ansor sekarang ini. Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian dalam program Ansor kedepan, yaitu pembenahan internal dan penguatan basis eksternal. Pembenahan internal tidak hanya berkaitan dengan peningkatan SDM para kader dengan kebutuhan dunia teknologi. Pembenahan juga termasuk misi perjuangan Ansor perlu diaktualisasikan agar Ansor tidak mudah terjebak terhadap kepentingan sesaat yang cenderung merugikan dan menghilangkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap Pergerakan Ansor yang selalma ini di rintis. Sementara dalam hal pengutan basis eksternal bagaimana penyusunan program yang bersntuhan dengan masyarakat dapat digiatkan kembali. Sebab besarnya Ansor berangkat dari bawah yang nota bena adalah masyarakat yang ada ditingkat akar rumput. Mengapa demikian? Besarnya Ansor tidak bisa lepas dari peran kemasyarakatannya sehingga masyarakat merasa terayomi dan terlindungi. Sebagai mayoritas Nahdiyyin, banyak hal yang perlu dikerjakan Ansor untuk masyarakat sesuai dengan kebutuhan, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, hukum, politik, sosial kemasyarakat dan lain-lainnya. Kebutuhan ini tidak cukup bila hanya dikerjakan kemudian selesai di Seminar, Diklat dan Semiloka melainkan membutuhkan tindaklanjut sehingga dapat dirasakan oleh masyarakat.
Dengan demikian, sinkronisasi program antara PC dan PAC perlu dimatangkan. Jangan sampai ada kesan hirarki kepengursan Ansor terkesan berjalan sendiri-sendiri sehingga akan membentuk sebuah kerajaan-kerajaan kecil yang sulit untuk dikendalikan. Untuk itu PC GP Ansor harus berkonsolidasi dengan PAC agar terbangun komunikasi yang baik serta dapat memonitoring program-progarm kemasyarakatan. Sementara ini, kepengurusan PC hanya sebagai simbol hirarki kepengurusan yang tidak bisa berbuat apa-apa. Ibarat raja Thailan yang tidak bisa memberikan control terhadap Perdana Mentri sebagai kepala pemerintahan.
Harus kita sadari bahwa keberadaan Ansor dimasyarakat sekarang tidak sebesar sejarah yang telah ditinggalkan oleh pendahulu kita. Pergeseran sejarah dimasa akan datang akan mungkin terjadi bila semua hirarki dalam kepengurusan Ansor tidak mampu dan segera membenahi orientasi progam. Hal ini dapat dirasakan bagaimana susahnya mengajak seseorang untuk direkrut menjadi pengurus Ansor ditingkat ranting. Kendati demikian, sebagai salah satu kader, penulis tidak bisa menyalahkan bila semua kader bangga terhadap apa yang pernah di persembahkan Ansor pada bangsa ini. Akan tetapi tidaklah relevan bila para kader saat ini hanya bisa bangga terhadap apa yang telah dipersembahkan pendahulunya sementara dirinya tidak bisa meninggalkan sesuatu yang dapat dibanggakan oleh masyarakat dan kader yang akan dantang. Untuk itu, uforia kader terhadap sejarah harus bisa mengambil makna, tidak hanya sekedar bisa bangga lalu mendistribusikan sejarah sementara kita tidak bisa menjadi pelaku sejarah yang akan dating
Read More..

Minggu, 14 Agustus 2011

KPK DAN HARAPAN MASYARAKAT




Oleh:
SABUR MS, S.H.I., M.H[1]





KPK adalah salah satunya lembaga penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi yang telah banyak mendapat apresiasi dari segala lapisan masyarakat. Apresiasi tersebut tentunya terkait dengan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi cukup konsisten sehingga harapan masyarakat terhadap Negara ini untuk menjadi salah satu Negera yang bersih dari tikus-tikus yang suka mencuri uang rakyat  bisa terwujud. Harapan besar masyarakat terhadap KPK ini menunjukkan bahwa lembaga penegak hukum yang selama ini diharapkan telah gagal memenuhi harapan masyarakat yang kerap mengalami kesulitan untuk merasakan dan menemukan ke adilan. Ironisnya tidak sedikit yang menjadi kendala adalah masalah materi yang sering disebut uang “suap”. Sebelum hadirnya KPK di negara ini, ke adilan yang ada hanya sebuah keadilan bagi orang-orang yang bertaburan materi yang bisa membeli semuanya termasuk keadilan, sementara disatu sisi lembaga yang diharapkan memposisikan diri sebagai pelindung justru kerap terhanyut dengan menjual ke adilan. Ini sebuah rialitas betapa rusaknya mental sebagian penegak hukum negara ini yang bertahun-tahun diharapkan bisa menjadi garda terdepan dalam penegakkan hukum di negara ini.
Dengan kinerja dan konsistensinya yang cukup memuaskan, KPK kini tidak hanya sekedar menjadi harapan dalam pemberantasan korupsi melainkan telah menjadi sebuah kebanggaan masyarakat dan negara ini. Tentunya harapan dan apresiasi masyarakat ini membuat KPK semakin ”garang” dan konsisten dalam menjalankan kepercayaan masyarakat yang begitu besar sehingga dia (KPK) tidak lengah dan teledor yang akhirnya bernasip seperti penegak hukum yang lain. Akan tetapi, selama lahirnya KPK perjalanannya bukan berarti tidak mengalami beberapa godaan dan cobaan yang dapat mengahncurkan kepercayaan masyarakat. Yang paling menggemparkan adalah ketika Ketua KPK menjadi tersangka sebagai otak intelektual pembunuhan Nasruddin yang sampai sekarang masih simpang siur kebenarannya. Mungkin hal ini akan menjadi pukulan bagi KPK, namun menurut penulis kasus yang tengah menimpa Ketua KPK bukan suatu kasus yang dapat citra KPK akan bernasip seperti lembaga penegak hukum yang lain. Di samping kasusnya belum jelas motip yang sesungguhnya, kasus yang tengah menimpa sang ketua KPK bukan kasus korupsi yang dapat dipertanyakan keseriusan KPK dalam memposisikan diri sebagai lembaga yang bersih dan layak untuk diharapkan menjadi garda terdepan dalam  pemberantasan korupsi di negara ini. Terlepas ada unsur kesengajaan dalam meng-expos secara besar-besaran kasus yang tengah menimpa Ketua KPK, akan tetapi ada hal yang sekarang mulai terlupan dari perhatian publik, yaitu adanya penggembosan eksistensi KPK dengan mengurangi kewenangan KPK melalui revisi UU KPK yang kini tengah dalam pembahasan. Sebenarnya ini sangat penting untuk menjadi perhatian dan dibesar-besarkan oleh media massa. Karena tidak hanya menyangkut citra akan tetapi bagaimana keberlangsungan KPK ke depan sebagai lembaga pemberantas korupsi. Seperti contoh hakim ad hoc KPK mau di tiadakan keberadaannya di dalam UU, sementara taring dan ujung tombak KPK sebenarnya ada pada keberadaan hakim ad hoc tersebut. Kalau hakim ad hoc di hapus, maka pemberantasan korupsi di negara ini akan kembali ke awal yang dipenuhi oleh mafia-mafia peradilan karena tiadanya keseimbangan yang selama telah di bangun akibat adanya krisis kepercayaan terhadap hakim-hakim yang ada. Namun perkembangan terbaru memberikan harapan baru bagi publik, komposisi hakim ad hoc di revisi UU KPK memberikan porsi yang cukup dominan yaitu 2 dibanding 3. Tapi itu baru sekedar wacana dari DPR. Terlebih publik sudah mengatahui bagaimana konsistensi DPR selama ini selalu dipertanyakan. Akan tetapi ada hal yang perlu publik lakukan yaitu bagaimana berupaya memproteksi DPR dengan mengkritisi secara contino agar sisa kerja DPR dalam memperjuangkan keberadaan hakim ad hoc dapat terialisasi sesuai dengan harapan masyarakat.
Untuk itu, karena semakin besarnya harapan masyarakat terhadap kiprah KPK dalam pemberantasan korupsi masih kuat dan kepercayaan publik belum luntur sehingga dapat dijadikan modal moral bagi KPK agar terus berjalan dan tidak mau dipengarui oleh rialitas dan opini yang sengaja di ekspos untuk melemahkan kinrja KPK itu sendiri. Jadikan semua itu sebagai pemicu semangat dalam meningkatkan kinerja guna mewujudkan harapan jutaan masyarakt Indonesia. Karena korupsi sekarang sudah menjamur sampai ke tingkat Desa. Kinerja KPK diharapkan bisa menyentuh pada tingkat paling bawah dengan memperketat monitoring ke daerah-daerah melalui intelejen yang mempunyai komitmen tinggi sehingga budaya korupsi di negara ini benar-benar bisa di tekan secara maksimal. Hal ini bukan berarti menafikan eksistensi lembaga penegak hukum yang lain, melainkan bagaimana carut marutnya mental aparatur negara dan penegak hukum yang lain dapat disadarkan agar bisa kembali kepada hakikat dan fungsi sebagai pelayan masyarakat dan penegak ke adilan di tengah-tengah masyarakat.
Mungkinkah semua ini terwujud? Semua kembali dari kemauan KPK, tentunya, dengan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemberantasan korupsi. Dengan tingkat keyakinan masyarakat terhadap eksistensi KPK, tentunya akan menjadi sinyal tersendiri bagaimana KPK berupaya menjalin komunikasi secara intensip dengan masyarakat tentang bahaya serta pentingnya pemberantasan korupsi di negara ini. Sebab permasalahan korupsi bukan hanya tanggungjawab KPK semata, KPK hanya bagian dari institusi dalam pemberantasan korupsi yang memerlukan partisipasi semua lapisan. Artinya fenomina korupsi di negara ini merupakan permasalahan bersama dan tentunya akan menjadi tanggungjawab secara kolektif sesuai dengan porsinya masing-masing





[1]. Penulis adalah: Alumni Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Malang dan Ketua Umum DPP Ikatan Alumni Pondok Pesantren Miftahul Ulum (IKAPMI) Malang
Read More..