Minggu, 14 Agustus 2011

PUTUSAN MA vs PUTUSAN MK: KPU HARUS KEMANA?



Oleh:
SABUR MS, S.H.I., M.H[1]




Putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU No. 15/2009 Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat 1 dan 3 yang dianggap bertentangan dengan UU No. 10/2008 Pasal 205 ayat 4 memang cukup mengundang pehatian. Kekecewaan dengan keputusan MA tidak hanya di keluhkan oleh para pihak yang dirugikan, melainkan beberapa tokoh masyarakat juga sangat menyayangkan hal itu terjadi. Dalam waktu dikeluarkannya putusan tersebut misalnya juga banyak mengandung pertanyaan dari masyarakat dan para parpol kualisi terutama yang jumlah kursinya akan terancam dikurangi. Dilain pihak justru ada parpol besar akan menikmati putusan MA tersebut karena akan mendapatkan injeksi perolehan kursi yang cukup dominan. Contoh kecil adalah Partai Demokrat, Golkar dan PDIP.
Analisis Kewenangan MA dan MK
Dampak Putusan MA terhadap Peraturan KPU tidak hanya menimbulkan goncangan politik di masyarakat, putusan tersebut akan merembet juga terhadap kewenangan kedua lembaga peradilan tersebut, iaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Secara tekstual mungkin dapat diasumsikan bahwa kewenangan kedua lembaga penegak hukum ada perbedaan. Perbedaan tersebut terdapat pada UU No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (1) huruf d memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Kemudian dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Pasal 31 ayat (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kewengan Mahkamah Agung tidak hanya sebatas menguji akan tetapi mempunyai wewenang untuk menyatakan bahwa peraturan tersebut tidak sah, hal ini di sebutkan oleh Pasal 31 ayat (2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selaras dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1,2), UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangang Pasal 7 ayat (7) Jenis peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi., telah memberi kemungkinan untuk menguji secara materiil Peraturan KPU sekalipun dalam Pasal 7 ayat (1-7) secara ekplisit tidak menyebutkan Peraturan KPU. Akan tetapi itu bukan aral yang bisa dijadikan alasan pembenar, karena Peraturan KPU sendiri bagian dari sebuah peraturan yang diamanatkan oleh UU.
Lalu apa dampaknya terhadap kewenangan MK atas Putusan MA tersebut? Dampaknya cukup dirasakan oleh KPU yang kebingungan untuk memberikan keputusan antara ikut putusan MA atau MK. Kedua putusan kedua lembaga peradilan sama-sama mempuanyai kekuatan hukum dan sama-sama bersifat final serta mempunyai kekuatan untuk di eksekusi. Kebingungan KPU dalam memberikan sikap merupakan hal yang wajar. Memang secara tekstual MA tidak punya kewenangan untuk ikut campur dalam masalah sengketa hasil pemilu, akan tetapi dengan putusan MA yang sangat terlambat dengan sendirinya telah memasuki ranah kewenangan MK karena dapat mempengaruhi hasil perolehan pemilu dengan cara membatalkan Peraturan KPU No. 15/2009 Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat 1 dan 3 yang dianggap bertentangan dengan UU No. 10/2008 Pasal 205 ayat 4. Sebab yang dibatalkan MA merupakan dasar hukum KPU dalam menetapkan perolehan kursi di DPR. Perubahan perolehan kursi di DPR akan berimbas terhadap perolehan suara partai secara Nasional. Pertanyaannya adalah bagaimana legalitas hasil Pilpres yang telah selesai, apakah masih relevan untuk dikatakan sah? Karena dengan Putusan MA, partai pengusung tentunya akan mengalami perubahan bahkan bisa juga tidak memenuhi syarat untuk mengusung Capres dan Cawapres. Tentunya MK tidak akan membatalkan hasil pilpres karena faktor Putusan MA tersebut.

KPU Perlu Abaikan Putusan MA
Mengeksekusi Putusan MA akan sangat riskan bagi KPU. Putusan MA tidak hanya akan mendatangkan guncangan politik akan tetapi juga akan merembet jauh terhadap legalitas hasil Pilpres yang akan menimbulkan permasalahan hukum baru. Menurut penulis, KPU sebaiknya mengabaikan Putusan MA yang dianggap kurang tepat dalam menginterpretasikan UU No. 10/2008 Pasal 205 ayat 4 terhadap Peraturan KPU No. 15/2009 Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat 1 dan 3. Kekurang tepatan dalam Putusan MA tersebut karena tiadanya kajian yang berkaitan dengan sistem proporsional yang dianut sistem pemilu. Dengan demikian, kendatipun Putusan MA bersifat final dan mempunyai daya eksekusi, namun dalam konteks ini bisa saja Putusan MA dapat diabaikan karena berbagai pertimbangan baik secara yuridis maupun non yuridis. Pertimbangan yuridis melingkupi: pertama, Ketua MA sah-sah saja mengatakan bahwa Putusan MA tidak mengutak-atik jumlah kursi, akan tetapi secara substansial akan mengubah jumlah kursi yang telah ditetapkan KPU yang sejatinya menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang mengadili sengketa pemilu. Kedua, pengabaian Putusan MA oleh KPU tidak bisa diartikan bahwa Peraturan KPU No. 15/2009 Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 ayat 1 dan 3 tidak mengikat bagi umum karena melanggar UU No. 10 tahun 2004. Karena yang dapat dijadikan sandaran hukum oleh KPU tidak hanya sekedar Putusan MA, akan tetapi masih ada Putusan Mahkamah Konstitusi yang lebih legitimit dan berwenang, terlebih dalam hal ini MK tidak pernah mempermasalahkan penghitungan kursi tahap II, KPU hanya diwajibkan merevisi penghitungan kursi tahap III yang telah diamanatkan MK. Sementara pertimbangan non yuridis terkait Putusan MA akan menimbulkan ketidak setabilan politik nasional karena ketidak profesionalan MA dalam menempatkan diri terhadap substansi masalah. Semestinya MA tidak hanya sekedar mempertimbangan aspek yuridisnya melainkan masalah waktu dan imbas dari putusan tersebut juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Jadi penulis kurang sependapat dengan anggapan Wasekjen Kongres Advokat Indonesia (KAI) Ikhsan Abdullah bahwa KPU tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengeksekusi Putusan MA. Sebab ketentuan UU No. 14 tahun 1985 Pasal 31 (3) hanya baru bisa dapat segera dilaksanakan ketika tidak ada sengketa hukum didalamnya, sementara Putusan MA sendiri masih dipertanyakan banyak pihak karena dianggap mencampuri  kewenangan MK. Secara tidak langsung nanti akan terjadi duel antara Putusan MA dan Putusan MK yang berdampak perlu tidaknya judicial legislatif terhadap kedua UU tersebut. Mungkin judicial legislatif tidak dapat dilaksanakan sekarang akan tetapi dengan sisa masalah ini ketentuan UU No. 14 tahun 1985 Pasal 31 (1,2.3) juga kurang tepat untuk dijadikan justifikasi mengubah komposisi perolehan kursi DPR dan DPRD.
Wasitnya MK
Polemik terkait Putusan MA bukan neraka bagi Caleg yang telah ditetapkan oleh KPU sebagai Caleg terpilih. Masih ada upaya hukum untuk menguji ke absahan Putusan MA, iaitu upayakan hukum ke Mahkamah Konstitusi. Partai Politik yang merasa dirugikan dianjurkan menggunakan fasilitas MK terlebih Ketua MK Prof. Dr. M. Mahfud MD pernah memberikan sinyal bahwa permasalahan tersebut masih dimungkinkan untuk diajukan ke MK sebagai sengketa pemilu. Penulis optimis bahwa MK akan memberikan Putusan yang obyektif dan tidak bertentangan dengan apa yang telah diputuskan. Memang secara formal MK tidak pernah mengeluarkan putusan terkait penghitungan kursi tahap II, namun secara substantif MK tidak pernah mempersoalkannya. Logikanya MK tidak akan mungkin memberikan putusan yang sejatinya akan bertentangan dengan sistem proporsional yang dianut dalam pemilu legislatif. Jadi daripada mempolemikkan Putusan MA diluar lapangan lebih baik para partai politik yang merasa dirugikan segera mengajukan upaya hukum ke MK, biarkan MK memberikan penilaian terkait Putusan MA yang sarat kontroversi itu sebagai justifikasi bahwa eksistensi Putusan MA tidak relevan untuk di eksekusi karena telah terlalu melompat jauh dari tugas dan wewenang sebagai penguji sebuah peraturan perundang-undangan. Kendati demikian, para politisi yang merasa dirugikan harus siap untuk menerima apapun yang terjadi. Sebab didalam dunia demokrasi membutuhkan kematangan serta kedewasaan politik para pimpinan partai politik. Jangan samapi masyarakat dijadikan korban dan pembenar hanya untuk meraih kepentingan pribadi, sementara dilain pihak masyarakat sejatinya kurang memahami pokok persoalan yang sebenarnya. Untuk itu, tidaklah salah bila sang guru bangsa KH. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dijadikan soritauladan dalam menyikapi kejamnya politik dan demokrasi. Ini juga sebagai pertaruhan bagi Mahkamah Konstitusi, mampukah lembaga tersebut menjadikan diri sebagai wasit yang bijak? Sebagai kumpulan orang-orang ahli dibidang hukum tentunya masyarakat tidak perlu meragukan keobyektifitasan putusan yang akan dilahirkan.











Doc. 2009


[1]. Opini ini ditulis ketika terjadi dan sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi

Tidak ada komentar: