Senin, 08 Juli 2013

DIBALIK “INDAHNYA” PERSELINGKUHAN

Oleh: 
SABUR MS, S.H.I., S. Pd, M.H


Pendahuluan
Hari sabtu, 04 Mei 2013 jam 11:20 ada satu anggota msyarakat yang berkonsultasi kepada penulis mengenai Istrinya yang berselingkuh (sampai punya anak berusia 1 tahun) dengan laki-laki lain. Dia minta pendapat hukum agar lelaki selingkuhan istrinya di hukum. Sebelum mendatangi penulis, dia pernah melaporkan kasusnya tadi baik ke Polsek maupun ke Polres, tapi pihak kepolisian ternyata tersandra oleh KUHP Pasal 284 ayat (5) yang mensyaratkan agar pihak suami sah (pelapor) menceraikan istrinya terlebih dahulu. Akibatnya, pihak suami tadi tidak jadi melaporkan karena masih cinta dan sayang pada istrinya yang berselingkuh karena faktor adanya anak.
Penggalan kisah diatas merupakan kisah nyata yang dialami oleh seorang. Terlepas dari itu, penulis sempat kaget ketika laporannya ditolak oleh Polres Malang karena alasan KUHP Pasal 284 ayat (5) Dalam KUHP Pasal 284 ayat (5), memang menyebutkan bahwa ketika istri yang berselingkuh ketika mau dipidanakan harus diceraikan terlebih dahulu. Benarkah KUHP Pasal 284 ayat (5) berlaku generalis? Umat Islam Tidak Terikat KUH Perdata Pasal 27 Didalam hukum yang berkaitan dengan masalah Perkawinan ada dua jenis hukum yang mengatur, yaitu KUH Perdata dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua jenis hukum tersebut memiliki ruang dan cakupan yang berbeda. Perbedaan tersebut terkait dengan status agama seseorang, artinya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan lebih bersifat lex spesialis karena norma hukumnya hanya mengikat kepada orang-orang yang beragama Islam. Seentara KUH Perdata hanya belaku terhadap masyarakat yang beragama non Muslim. Hal ini di tegaskan dalam BAB XIV Ketentuan Penutup UU no. 1/974 Pasal 66 menyatakan bahwa: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diataur dalam KUH Perdata ................ sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.. Kedua jenis UU yang mengatur tentang perkawinan seharusnya betul-betul difahami oleh pihak penegak hukum khusunya Kepolisian. Karena perbedaan tersebut tidak hanya sebatas perbedaan nama/judul melainkan juga berkaitan dengan norma-norma hukum yang terkandung didalamnya. Insiden penolokan laporan masyarakat terkait dengan perselingkuhan sebagaimana diuraikan diatas dengan alasan KUHP Pasal 284 ayat (5) merupakan kesalahan besar. Dampaknya adalah akan terjadi “seakan-akan” telah terjadi kekosangan hukum dan terbengkalainya keadilan hukum dan rasa keadilan hukum dimasyarakat. Tentunya hal tersebut tidak perlu terjadi bila para penegak hukum kita dapat terus meningkatkan kwalitas keilmuannya dibidang hukum serta terus mengikuti perkembangan hukum yang ada. Bila kita fahami bersama, sebenarnya Pasal 66 telah mempertegas bahwa kaitan dengan permasalahan perkawinan, umat Islam hanya tunduk kepada UU no. 1/1974. Oleh sebab itu, sekalipun sama-sama menganut asas monogami, akan tetapi semenjak di undangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, umat Islam secara yuridis telah memiliki UU tersendiri yang kemudian disempurnakan dengan Kompilasi Hukum Islam. Konsekwensi dari lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, ketentuan Pasal 284 ayat (5) secara yuridis sudah tidak lagi bisa dikaitkan dengan seorang yang beragama Islam selama ketentuan ayat (5) ditafsikan sebuah keharusan tanpa dilihat substansi kandungan normanya. Karena ststus lex generalis-nya KUH Perdata tidak bisa menyentuh terhadap status lex spesialis yang dimiliki oleh UU No. 1/1974, terlebih keberadaan Pasal 284 ayat (1) tidak bisa dengan semerta-merta menjustifikasikan terhadap ayat (5) melainkan ayat (5) secara tidak langsung telah mengakui keberadaan norma yang terkandung dalam Pasal 66 UU n0. 1/1974. Rialtas ini dapat kita fahami kalimat dan kata demi kata yang termuat dalam Pasal 284 ayat (5). Untuk itu, bila kita cermati bunyi Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana sebenarnya tidak sekaku yang dibayangkan oleh sebagian penegak hukum kita, karena dalam susunan kalimatnya Pasal 284 ayat (5) didahului dengan kalimat: Jika bagi suami-istri berlaku Pasal 27 BW................................. Dengan demikian, apakah ummat Islam masih terikat dengan KUH Perdata? Tentu jawabannya TIDAK. Dalam UU No. 1/1974 Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya disebutkan oleh pasal 39 ayat (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa anatara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Alasan yang dimaksud diperjelaskan dalam Penjelasannya, diantaranya adalah salah satu pihak berbuat zina .................. Begitu juga yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 116 bahwa norma perzinahan yang dilakukan oleh seorang yang telah berumah tangga hanya bersifat fakultatif. Jadi norma yang terkandung bila kita fahami secara benar hanya bersifat fakultatif, bukan inperatif karena tiadanya secara konkrit menjelaskan bahwa perbuatan zinah dapat membatalkan Pernikahan atau wajib bagi sang suami menceraikan istrinya. Artinya Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana tidak mengikat secara hukum sehingga perselingkuhan/perzinhan yang dilakukan oleh suami/istri tidak harus bercerai terlebih dahulu ketika kasus pidananya akan diproses secara hukum. Apakah tidak bertolak belakang dengan ketentuan Pasal 284 Ayat (1) angka 1 huruf a, b dan angka 2 huruf b? Dimana dalam normanya masih menyebut keberadaan Pasal 27 KUH Perdata terkecuali ayat (1) angka 2 huruf a yang sengaja diperuntukan kepada seorang suami yang melakukan perzinahan. Kendati Pasal 284 ayat (1) masih sangat kental aromanya terhadap keberadaan Pasal 27 KUH Perdata, akan tetapi norma-norma yang terkandung dalam angka 1 dan 2 tidak bisa semerta-merta dapat menyingkirkan keberadaan Pasal 284 ayat (5). Artinya kekuatan norma hukum lebih mengikat yang terdapat dalam Pasal 284 ayat (5) ketimbang norma yang ada di sebutkan dalam angka 1 dan 2 Pasal 284 ayat (1). Sebab antara ayat (1) dan ayat (5) merupakan satu kesatuan norma yang terintegral dan tidak dapat dipahami secara parsial. Terkecuali apabila kandungan norma yang terdapat dalam Pasal 284 ayat (1,5) KUH Pidana bersifat alternatif sehingga antara ayat (1) dan (5) tidak mempunyai keterikan norma. Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa keberadaan ayat (5) dalam Pasal 284 KUH Pidana yang menitik beratkan perselingkuhan kepada KUH Perdata Pasal 27 tidak bisa secara hukum diajadikan sebuah alasan ditolaknya laporan perselingkuhan/perzinahan yang dilakukan seorang Istri. Sebab kendati asas perkawinan dalam UU no. 1/974 tentang Perkawinan Pasal 3 ayat (1) mempunyai kesamaan dengan KUH Perdata Pasal 27, akan tetapi UU no. 1/1974 melalui Pasal 66 secara inplisit telah menjelaskan tentang wilayah kewenangan masing-masing. Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana Bentuk Legalisasi Perzinahan? Justru Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana merupakan bentuk norma yang cukup anti terhadap perselingkuhan/perzinahan. Andai Pasal 284 KUH Pidana tidak menempatkan ayat (5) sebagai bagian dari Pasal 284, maka perbuatan zinah yang dilakukan oleh seorang muslimah akan sulit diproses secara pidana terlebih dalam pasal selanjutnya tidak menyinggung terhadap delik pidana yang secara spesifik mengaturnya. Dikatakan sulit untuk diproses, sebagaimana disebutkan diatas, berkaitan dengan keberadaan UU no. 1/1974 yang berfungsi sebagai leg spesialis bagi orang muslim. Artinya, seorang muslim hanya tunduk kepada UU no. 1/1974 bukan kepada KUH Perdata, sementara Pasal 284 Ayat (1) secara jelas lebih mengkaitkan delik perzinahan terhadap Pasal 27 KUH Perdata. Bila hal itu terjadi, maka yang akan terjadi adalah tiadanya kepastian hukum karena dianggap terjadi kekosongan hukum. Jangan sampai ada anggapan bahwa Pasal 284 justru sebagai penghalang seorang suami untuk mempertahankan cintanya kepada sang istri (yang berselingkuh/berzinah dengan dengan laki-laki lain). Karena pada prinsipnya, penegakan hukum sebagai salah satu upaya bagaimana menanamkan rasa jera, demikian juga seorang suami ketika ingin melaporkan delik pidana yang dilakukan sang istri kemungkinan hanya bentuk pendidikan dan pembelajaran agar dikemudian hari perbuatan zinah tidak diulangi lagi. Dalam konteks ilmu hukum dan HAM tentunya tidak ada yang perlu dipermasalahkan, berbeda dengan konteks sosial karena masih sangat kental dengan adat dan kebudayaan yang berlaku sehingga bila ada seorang istri berzinah dengan laki-laki lain maka solusinya cuma satu, yaitu “diwajibkan” bagi suami untuk mencerainya. Tentunya antara norma hukum dengan adat tidak semerta-merta bisa di adu atau dibenturkan begitu saja. Untuk itu, penulis berpendapat bahwa permasalahan Perselingkuhan/perzinahan yang dilakukan oleh seorang yang beragama Islam tidak ada kaitannya dengan ketentuan Pasal 27 KUH Perdata sebagaimana di sebutkan Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana. Demi kepastian hukum dan keadilam hukum dimasyarakat, seorang muslimah yang berumah tangga namun melakukan perzinahan dengan laki-laki lain tetap wajib tindak pidananya diproses oleh penegak hukum tanpa harus menunggu adanya perceraian bila seorang suami melaporkannya. Lalu Pasal yang mana untuk dijadikan dasar hukum? Penulis tetap berpendapat, Pasal 284 ayat (5) KUH Pidana tetap bisa dijadikan dasar hukum untuk menjerat para pelaku perzinahan. Karena 284 ayat (5) KUH Pidana yang dengan jelas memberikan alternatif hukum, sementara pasal-pasal selanjutnya justru hanya berkaitan dengan perkawinan dibawah umur dan persetubuhan dengan paksa. Perlu Tingkatkan SDM Penegak Hukum Kita Selama ini, penegak hukum kita masih memposisikan diri sebagai corong UU, bukan sebagai pencipta rasa keadilan dimasyarakat. Peran corong hanya menyuarakan apa yang disuarakan dari yang ia baca. Dalam konteks kajian ilmiah, peran sebagai corong (murni) bagi seorang penegak hukum sangat tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu hukum yang semakin modern. Dinegara-negara maju seperti Eropa, substansi pengakan hukum bukanlah semata-mata terletak pada penegakan norma, melainkan sudah berjalan pada substansi penegakan hukum itu sendiri, yaitu penegakan keadilan dimasyarakat. Apakah di Indonesia belum mengarah kesana? Kalau kita pahami secara konprehenshif, UU Kehakiman sudah mengarahkan bagaimana penegakan hukum tidak hanya terjerat oleh bunyi sebuah norma, akan tetapi seorang hakim masih diberi kewenangan agar memutus sebuah kasus berdasarkan keyakinan-nya. Artinya ada keseimbangan antara ketentuan norma hukum dengan keyakinan seorang hakim, sehingga seorang hakim bisa melakukan ijtihad hukum apabila norma yang ada justru mendistorsi rasa keadilan dimasyarakat. Ijtihad hukum tentunya tidak hanya dimaknai sebagai kewenangan seorang Hakim, penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan juga harus melakukan juga sekalipun sifatnya masih permulaan. Karena demikian, semestinya semua unsur penegak hukum mampu menterjamahkan kekuasaan seorang hakim yang luar biasa tersebut sehingga tidak terjadi alasan-alasan yang justru akan mencederai keadilan masyarakat. Sangat aneh, bila sebuah negara hukum tapi masih ada sebuah kasus ditelantarkan karena semata-mata alasan norma hukum yang dilanggar kurang relevan. Contoh kasus diatas, apabila seorang suami tetap tidak mau menceraikan apakah lantas delik pidananya lalu dibiarkan? Hal ini yang akan menjadi benih tumbuhnya hukum rimba dimasyarakat. Para penegak hukum harus mempunyai keberanian melakukan diskresi baik polisi maupun kejaksaan, jangan terlalu kaku melihat dan menterjemahkan sebuah teks yang ada dalam UU. Akan tetapi bagaimana teks mati tersebut bisa hidup dengan pola interpretasi yang terintegratif sesuai dengan kaedah-kaedah ilmu hukum. Untuk mengantisipasi terjadinya main hukum sendiri oleh masyarakat, tidak ada alasan lain kecuali dengan meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM)nya dimasing-masing instansi penegakan hukum kita, mulai dari kepolisian, kejaksaan dan kehakiman termasuk anggota DPR sebagai pembuat norma hukum.

Tidak ada komentar: