Minggu, 18 September 2011

LEMBAGA PENDIDIKAN DAN FENOMINA KORUPTOR

Oleh:
SABUR MS, S.H.I., M.H.

Wacana pendidikan yang berkarakter telah menjadi salah satu amanat UU yang harus di terapkan oleh semua lembaga pendidikan. Namun kata “berkarakter” sendiri masih sulit untuk diterjemahkan menjadi suatu konsep yang dapat di terapkan secara universal. Kesulitan tidak semata-mata bagaimana proses implementasianya melainkan perspektif tentang “karakter” sendiri lebih cenderung dipengaruhi oleh karakter lingkungan dimana madrasah/sekolah itu berdiri. Intervensi lingkungan inilah yang sering memberikan corak “karakter” berbeda yang sulit untuk diterjemahkan dalam suatu visi dan misi lembaga pendidikan secara universal sesuai dengan harapan pemerintah. 
Keseimbangan Karakter
Sebagai suatu Negara besar yang memilki beberapa ragam jenis suku, budaya dan keyakinan beragama tentunya memberikan pengaruh tersendiri. Hal ini harus dipahami sebagai suatu kekayaan bangsa yang harus terus dipelihara agar menjadi ciri khas dan bentuk lembaga pendidikan yang multikultural. Namun demikian, tentunya ada suatu hal yang harus dipahami dan di implementasikan oleh semua lembaga pendidikan “berkarakter” adalah adanya keseimbangan moral dan intelektual sebagai substansi dari keberadaan lembaga pendidikan di masyarakat. Pengembangan budaya karakter semacam ini memang harus terus dipantau oleh pemerintah dengan memberikan pembinaan yang obyektif, transparan dan berkeadilan. Mengimplementasikan hal tersebut memang harus dimulai dari penataan lembaga pendidikan yang memeliki karakter yang seimbang antara religius dan intelektual yang memadai. Tanpa adanya keseimbangan tersebut, maka semua lembaga pendidikan nantinya akan melahirkan generasi bangsa ini sebagai generasi “maling”. Hal ini penting untuk ditegaskan serta direaktualisasikan kembali mengingat orientasi lembaga pendidikan sekarang banyak yang telah melenceng dari tujuan kaedah agama yang sebenarnya. Potret ini sangat memprihatinkan terlebih Negara ini sudah hampir runtuh karena pejabat bangsa ini banyak yang sudah menjadi “maling”. Jadi tidaklah berlebihan bila lembaga pendidikan formal dikatakan 95% telah gagal memberikan keseimbangan karakter pada generasi bangsa ini. 
Benang Kusut Pendidikan Kita
Fenomina ini telah menjadi krikil tajam bagi perjalanan bangsa ini ke depan. Semua lumbung negara ini telah dirasuki oleh para “maling” (minjam bahasanya Gus Dur). Kehidupan bangsa ini seakan kembali pada era jahiliyah dimana masyarakatnya sudah tidak lagi memperdulikan adanya norma-norma agama sebagai tonggak dalam proses penataan hidup dan ber-sosio budaya. Sehingga kerikil ini terus berkembang dan merajai negara ini. Bangsa ini telah terjebak ke jurang yang cukup terjal karena pola serta orientasi pendidikannya tidak memiliki visi dan misi yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Semua hanya baru bergerak dalam tatanan wacana dan konsep diatas kertas. Benang kusut potret pendidikan kita ini tidak cukup bergerak dalam tatanan wacana maupun konsep mati, melainkan harus diiringi dengan tindakan konkrit agar bangsa ini tidak dikatakan sebagai bangsa penakut karena tidak mau menindak orang-orang yang bersalah (minjam bahasanya Gus Dur). Oleh sebab itu, lembaga pendidikan harus mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah, karena hanya lembaga pendidikan yang bisa memberikan kontribusi dalam upaya membenahi krisi moral bangsa ini. Memperhatikan sebagaina disebutkan jangan hanya diterjemahkan sebagai upaya bagaimana meningkatkan kesejahteraannya, melainkan bagaimana menciptakan sebuah system tata kelola dan tata kerja semua unsur agar dunia pendidikan terhindar dari para penyamun. Maka program peningkatan kesejahteraan harus diimbangi dengan program penataan moral para pejabat secara intenshif, kalau tidak maka solusi alternatifnya semua pejabat tehnis yang telah terkontaminasi virus di parkir lebih dini. Yang menjadi pertanyaannya adalah, maukah para pemimpin negara ini keluar dari stigma sebagai Bangsa Penakut? Semua akan kembali kepada para pemimpin bengsa ini. Insa Allah kalau para pemimpin bangsa ini terlahir dari sebuah lembaga pendidikan yang memberikan keseimbangan karakter, maka bangsa ini tidak akan sulit menjadi sebuah negara besar dan makmur. Maka sangat perlu memproteksi semua lembaga pendidikan agar tidak disusupi para oknum pejabat yang telah terkontaminasi oleh mental koruptor. Sebab. Sebagus apapun pondasi system yang akan dibangun, semuanya akan terasa sia-sia bila systen tersebut dinahkodai oleh oknum-oknum yang bermental korup. 
Penutup 
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis menegaskan agar pemerintah benar-benar serius membenahi serta memproteksi lembaga pendidikan dari oknum-oknum pejabat bermintal korup. Doc. September 2011 Read More..

Kamis, 08 September 2011

ENAKNYA JADI KORUPTOR DI INDONESIA

Oleh: SABUR MS, S.H.I., M.H

Enaknya jadi koruptor di Indonesia, setiap tahun besar dapat remisi…..

Di Indonesia ternyata masalah kasus korupsi masih dianggap kasus pidana biasa, bukan lagi extra ordinary. Rialitas ini tentunya sangan kontra dengan jargon pemerintahan SBY dalam semangat “perang melawan koruptor” sehinggga tidaklah heran bila masyarakat mempertanyakan komitmen pemerintahan saat ini. Bukti nyata adalah pernyataan Menkumham bahwa terpidana korupsi mempunyai hak yang sama dengan terpidana lain dalam memperoleh tunjangan “remisi”. Berarti tidak ada bedanya dong dengan terpidana “pencuri ayam” didesa-desa? Remisi dan Free-misi Kasus-kasus korupsi yang mengeruk dana rakyat miliyaran rupiah tidak hanya masyarakat terasa terusik dan terlukai, melainkan akan menghambat agenda yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat terbengkalai atau dilaksanakan tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan pemerintah. Karena demikian, masalah kasus korupsi sangat erat dengan rasa keadilan masyarakat. Kasus korupsi lebih dahsyat dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, jadi kurang relevan bila koruptor diasumsikan sebagai tindak pidana yang mempunyai hak sama dengan terpidana lain. Sebab dalam kasus korupsi ada hak rakyat yang sebenarnya tidak boleh dilupakan oleh pemerintah, yaitu hak penilaian secara obyektif. Obyektifitas penilaian masyarakat terhadap koruptor tentunya lebih peka daripada subyektifitas penilaian pemerintah dalam hal perlu dan tidaknya semua terpidana kasus korupsi untuk mendapatkan remisi sekalipun setengah hari. Hal ini di karenakan masyarakat merasakan dampaknya secara langsung, berbeda dengan para pejabat yang tidak pernah hidup miskin. Kondisi pengalaman kehidupan yang berbeda ini seharusnya dijadikan dasar kuat oleh pemerintah khususnya Menkumhan dalam memberikan sebuah kebijakan. Jangan berlindung di balik Undang-undang yang kemudian terjadi saling menyalahkan dengan DPR maupun LSM yang mengkritiknya. Hal ini diperparah lagi oleh pernyataan salah satu anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang menyebutkan bahwa pemberian remisi terhadap para koruptor tidak melukai hati rakyat. Sebagai salah satu bagian masyarakat, penulis sangat tersinggung dan hak penulis sebagai rakyat merasa turut di “korupsi” oleh oknum Satgas Pemberantasan Mafia Hukum tersebut. Sebagai pejabat yang menjalankan amanah rakyat seharusnya pernyataan yang bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat tidak perlu diucapkan. Jadikan semangat pemberantasan korupasi sebagai ajang memperkuat barisan persatuan dengan masyarakat, agar apapun bentuk pernyataan maupun kebijakan dapat memperkuat keyakinan masyarakat terhadap apa yang akan dilakukan oleh para pejabatnya. Sebab mensejajarkan kasus korupsi dengan kasus “maling ayam” lainnya hanya bisa diterima oleh orang-orang yang masih terbelit mental korup dan buta akan penderitaan masyarakat akibat dampak dari para pelaku koruptor. Para pejabat yang demikian semestinya out dari pemerintahan karena sudah tidak layak dan terlalu prematur dalam melihat kasus-kasus pidana seperti kasus korupsi. Mereka tidak lagi memberikan remisi, tapi mereka sudah kehilangan misi (free-misi) Remisi dan Mafia Hukum Kata “remisi” dan “mafia hukum” adalah dua bentuk kata yang masing-masing mempunyai tujuan yang berbeda. Perbedaan tersebut dikarenakan disatu sisi bermakna penghargaan bagi para terpidana yang telah berprilaku baik selama dalam tahanan sehingga diwujudkan dengan adanya potongan masa hukuman. Sementara kata “mafia hukum” pada dasarkan digunakan sebagai terminologi terhadap segala penyelewengan yang dilakukan oleh para penegak hukum terhadap hukum itu sendiri. Kedua terminologi diatas pada konsep dasarnya sangat berbeda dari segi tujuan. Akan tetapi akhir-akhir ini, kedua kata tersebut mulai kabur dan sulit untuk membedakan fungsi dan tujuan “remisi” dan “mafia hukum” tersebut. Kakaburan dalam konteks ini adalah karena tiadanya makanisme dan standar “remisi” yang layak dan pantas untuk diberikan kepada seorang terpidana. Hal ini akhirnya menimbulkan kontroversi dikalangan masyarakat dengan satu kata “remisi” pada seorang koruptor adalah tindakan yang menlukai hati masyarakat. Mengapa harus merasa terluka? Korupsi merupakan kejahatan systematis yang melebihi kekejamannya dari kasus pembunuhan yang sering terjadi. Perbandingannya terletak dari beban systematis dampak dari perbuatan korupsi yang memiskinkan jutaan masyarakat di Negeri ini, sementara kasus pebunuhan “konvensional” paling banter satu orang hanya bisa menghilangkan 1-3 nyawa orang. Rialitas ini akan menjadi sebuah taruhan bagi para pejabat dalam meletakkan kejujuran dan kesadaran terhadap dampak besar dari perbuatan korupsi sekalipun sulit untuk diharapkan mengingat pejabat Negara kita dapat dikatagorikan masuk peringkat pertama pejabat dunia paling “gengsi-an”. Seakan mengaku dan meminta maaf atas “kesalahan” terhadap statemen atau perbuatan yang nyata-nyata tidak logis dan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Tapi kenyataannya justru berlindung dibalik UU yang nota bena sebagai benda mati. Sebagai benda mati, UU tidak akan bisa bergerak seiring dengan perkembangan zaman. UU akan bisa kenyal bila hati manusia “pejabat” kanyal dan peka terhadap rialitas masyarakat. Janganlah norma yang bersifat umum kemudian ditafsirkan sebagai bentuk persamaan hak. Dimanapun, kasus “korupsi” dengan “maling ayam” tidak sama beban hukumannya. Ketidak samaan tersebut apakah relevan diperlakukan sama dalam memperoleh hadiah “remisi”? Kalau demikian, mungkinkah masih relevan untuk membedakan antara “remisi” dengan “mafia hukum” itu sendiri? Jangan-jangan kebijakan pemebrian “remisi” kepada koruptor justru akan menjadi sub bagian dari perbuatan “mafia hukum”.! Mereaktualisasikan Konsep Remisi Pemahaman terhadap konsep “remisi” perlu direaktualisasikan kembali. Reaktualisasi konsep tersebut sebagai upaya menempatkan “remisi” pada koridor yang dapat melahirkan sebuah standar penggunaan dengan tidak mencederai rasa keadilan masyarakat. Kansep ini setidaknya akan memuat beberapa kriteria yang melingkupi; jenis pidana (kasus), besarnya hukuman, dan prilaku selama ada didalam tahanan. 1. Jenis Pidana (kasus) Untuk mendapat “remisi” hukuman, seorang terpidana harus dilihat dahulu bentuk pidana yang dilakukan. Klarifikasi suatu kasus pidana pada seorang terpidana akan lebih menjamin penerapan “remisi” kearah yang lebih obyektif dan transpsran. Karena kesamaan “hak” bagi terpidana sebagaimana dikatakan Kemenkumham, masih bersifat multi tafsir. Sebab kata “hak” tidak bisa langsung diartikan sebagai sebuah “kewajiban” melainkan masih baru bersifat fakultatif sehingga tidak dapat dibenarkan bila kemudian kata “persamaan hak” diartikan semua terpidana wajib mendapatkan “remisi”. 2. Besarnya Hukuman Besarnya hukuman erat kaitannya dengan bobot pelanggaran pidana yang dilakukan seseorang. Seorang Koruptor tentunya tidak sama hukumannya dengan Pencuri Ayam kecuali hakimnya sudah pikun. Perbedaan jenis pidana tersebut juga menyangkut dengan “hak” orang banyak. Maling ayam kemungkinan hanya menyankut dengan 1-5 orang, sementara Koruptor berkaitan dengan jutaan hak masyarakat. Untuk itu tentu sangat tidak logis bila persamaan hak dalam memperoleh “remisi” diberlakukan juga bagi para koruptor yang nota bena memakan uang masyarakat banyak. 3. Prilaku Ditahanan Tidak diabaikan bahwa prilaku selama ada di tahanan bagi Terpidana sebagai salah satu indikasi sebagai refleksi penyeselan terhadap apa yang mereka lakukan. Akan tetapi, berprilaku baik didalam tahanan tidak bisa dijadikan alasan kuat, terlebih para koruptor, untuk memberikan “remisi”. Karena prilaku baik dalam tahanan belum tentu sepadan dengan tindakan korupsi yang melibatkan uang masyarakat sehingga masyarakat sendiri terjerumus pada jurang kemiskinan dan semakin banyaknya keterputusan anak sekolah. Kriteria diatas hanya sebagian dari upaya meluruskan kembali tentang konsep serta implementasi “remisi” yang selama ini masih dipertanyakan. Sebab pada dasarnya, implementasi konsep “remisi” wajib memperhatikan ke adilan hukum, bukan keadilan norma sebagaimana dipahami selama ini. Keadilan hukum adalah keadilan yang mencerminkan adanya penempatan serta pemilahan sebuah kasus, mempertimbangkan suara rakyat yang kemudian baru ketentuan norma hukum (sebagai benda mati). Bila hal ini dapat dikaji secara matang dan sistematis, maka implementasi “remisi” yang diamanatkan UU Kemasyarakatan akan dapat memenuhi apa yang disebut “keadilan masyarakat” atau keadilan hukum. Jadi sangat ironis apabila Negara ini sebagai Negara Hukum tetapi tidak bisa memberikan keadilan pada rakyatnya. Jangan sampai Negara Hukum yang dijadikan dasar oleh Negra ini justru merefleksikan diri sebagai Negara Rimba karena ketidak becusan pejabat-pejabat yang membidangi hukum. Penutup Sebagai akhir dari tulisan ini, mari kita pahami hukum secara obyektif dan konprehensif agar dapat tercapai apa yang sebenarnya dicita-citakan dalam proses pembentukan hukum itu sendiri. Penulis sarankan, para pejabat penegak hukum agar mampu menterjemahkan tujuan substansi hukum yang sebenarnya. Jangan mau terjebak oleh ketentuan norma yang bertentangan dengan asas keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Read More..