Minggu, 14 Agustus 2011

JANGAN NODAI PILPRES DENGAN DPT PEMILU!


Oleh:
SABUR MS, S.H.I., M.H[1]





Hampir semua masyarakat, terutama pimpinan dan Caleg dari partai politik, mengeluarkan pertanyaan tersebut.
Amburadulnya DPT telah menimbulkan banyak spekulasi, mulai adanya intervensi dari penguasa sampai kinerja KPU beserta jajarannya, dianggap kurang maksimal dan bahkan KPU belum siap dalam penyelenggaraan Pemilu. Penilaian seperti ini mungkin sah-sah saja mengingat amburadulnya DPT tidak hanya terdapat banyaknya hak masyarakat yang terkorban melainkan nama-nama ganda yang terdapat di DPT merupakan salah satu indikasi bahwa kinerja KPU beserta jajaranya  kurang professional dalam melaksanakan amanat UU tentang Pemilu. Mungkinkah di Pilpres ini akan turut ternodai oleh DPT?
KPU Gagal?
Untuk memberikan penilaian terkait kinerja KPU dapat dikatakan subyektif dan dapat pula dikatakan obyektif. Semua itu tergantung tolak ukur yang dijadikan dasar penilaian. Akan tetapi, kegagalan KPU dalam melaksanakan amanat UU terkait ke semrawutan data pemilih tidak lepas dari tiadanya sinkronisasi perangkat pengawas yang di bentuk oleh BAWASLU. Disamping dalam  UU No. 10 Tahun 2008 Pasal 34 ayat (1) KPU Kab/Kota malakukan pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, namun di dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 Pasal 80 huruf a angka (1) menegaskan bahwa tugas Panwas Kecamatan adalah mengawasi ”Pemutakhiran data pemilih berdasarkan data kependudukan dan penetapan daftar pemilih sementara dan daftar pemilih tetap. Rialitasnya, dengan keterbatasan SDM yang dimiliki di struktur KPU tentunya,  peran Panwas Kecamatan melalui jajarannya dapat meminimalkan kesemerautan DPT. Akan tetapi Panwas yang diharapkan dapat mengimbangi keterbatasan SDM di jajaran KPU, akhirnya pelaksanaan pemutakhiran daftar pemilih kurang terkontrol sehingga kelalaian pengawasan yang seharusnya dilakukan KPU terhadap jajarannya hampir tidak ada.
Untuk itu, kesemerautan ini merupakan lingkaran jin yang meliputi pemerintah, KPU dan Panwaslu itu sendiri sehingga bila KPU dikatakan gagal dan melanggar UU dalam penyusunan DPT yang baik, maka pemerintah dan Panwaslu juga dapat dikatakan gagal dan melanggar UU. Jadi tidak adil bila ke amburadulan DPT semata-mata kesalahan KPU sementara perangkat yang lain (Panwaslu dan pemerintah) hanya bisa menyalahkan namun disatu sisi justru mereka tidak maksimal melaksanakan tugas yang telah di amanatkan UU. Untuk itu, penilaian gagal dan tidaknya kinerja KPU harus dilihat secara konprehensif melalui mekanisme UU yang berlaku, bukan penilaian parsial yang hanya akan menambah permasalahan semakin runyam. Penulis justru lebih cenderung terhadap pendapat KH. Abdurahman Wahid (tiga bulan sebelum PILEG)  mengatakan bahwa KPU belum siap melaksanakan PEMILU. Statemen Gus Dur dapat diartikan bahwa perspektif beliau mengisyaratkan penyelenggara Pemilu telah terjebak pada tataran normatif sehingga keadilan substantif diabaikan begitu saja. Keadilan substantif tentunya menyangkut bagaimana kwalitas pemilu sebagai sarana demokrasi dapat terlaksana tanpa harus mengkubur hak pilih masyarakat. Akan tetapi, permasalahan DPT yang seharusnya diperbaiki terlebih dahulu justru dianggap suatu yang lumrah. KPU beranggapan bahwa Pemilu sudah siap dilaksanakan, sementara MK yang diharapkan dapat dijadikan sandaran terakhir justru menganjurkan agar Pemilu dilaksanakan sesuai dengan jadwal sekalipun kondisi DPT sangat mengenaskan.  
KPU dan Panwas Tidak Sinergi?
Kedepannya, untuk mengantisipasi terulangnya kegagalan dalam penyusunan DPT, KPU harus selektif merekrut pelaksana tehnis, seperti PPK, PPS dan KPPS dengan pengawasan yang cermat. Setidaknya bisa dijadikan tolak ukur bahwa kesemerautan DPT menunjukkan bahwa kinerja PPK beserta jajarannya kurang maksimal, sehingga perlu adanya evaluasi terhadap PPK mana yang perlu di evaluasi kinerjanya serta keanggotaannya, agar permasalahan DPT tidak terulang di Pilpres. Karena permasalahan yang terjadi tidak hanya sekedar amburadulnya DPT, jual beli suara dijajaran KPU ke bawah sudah menjadi rahasia umum. Tidak sedikit temuan-temuan Panwas adanya indikasi jual beli suara yang dilakukan oknum PPK dengan mengelambungkan suara Caleg tertentu selayaknya dipecat dari keanggotaannya sebagai PPK karena sudah melanggar sumpah jabatan untuk berbuat sesuai dengan yang diamanatkan UU. Karaena penyelenggara demokrasi ini setidaknya harus di huni oleh orang-orang yang mempunyai integritas moral yang kuat, sehingga pesta demokrasi ini dapat berjalan sesuai dengan peraturan yang ada. Akan tetapi sangat di sayangkan, Ketua KPU Kabupaten Malang Ir. Nachrowi, M. Si seakan cuek melihat rialitas ini, dia lebih mengedepankan target daripada substansi hasil Pemilu.[2] Dalam hal ini sepertinya KPU menutup mata dan telinga dengan arogansinya, terkadang, mengabaikan temuan-temuan Panwas yang telah dilakukan oleh PPK. Bila arogansi yang dikedepankan, maka pesta demokrasi benar-benar akan tercidrai sebagaimana di suarakan oleh para tokoh dan pengamat politik selama ini.
Artinya, sifat arogansi tersebut  sebenarnya bisa dikatakan musibah moral yang seharunya tidak perlu terjadi. Berangkat dari musibah moral inilah akan berimbas terhadap pola fikir serta mental kerja di jajaran KPU.  Sangat ironis sekali! Ditengah kesadaran politik dan hukum masyarakat yang masih labil dan orientasi politiknya masih primitif, setidaknya KPU bersama Panwas memberikan pembelajaran bagaimana berdemokrasi yang baik dan bersih tanpa harus meninggalkan nilai-nilai norma hukum yang ada. Kedua lembaga tersebut harus benar-benar menjalankan perannya masing-masing sesuai dengan mekanisme yang ada. KPU harus terbuka pada Panwas, dan Panwas setidaknya proaktif dan bertindak tegas ketika menerima laporan dari masyarakat terkait kecurangan penyelenggara Pemilu. Karena kedua lembaga tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, diantaranya tidak bisa mengklaim yang paling mengerti apalagi saling menyalahkan. Sementara ini yang terjadi adalah justru mereka lebih memperagakan arogansi sebagai pihak yang paling benar dan paling berkuasa. Ini suatu hal yang akan mamberikan image bahwa mereka sebenarnya masih belum layak untuk mengemban tugas sebagai penyelenggara dan pengawas Pemilu.
Panwas Loyo?
Bawaslu dan jajarannya harus tegas melihat kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dilapangan, baik yang dilakukan oleh oknum KPU, PPK, PPS dan KPPS. Sebagai pengawas hendaknya jangan sampai terjebak oleh sifat kebertemanan yang telah mengikat, melainkan bagaimana proses demokrasi ini bisa berjalan dengan menjalankan tugas sesuai dengan amanat UU. Kekurang siapan mental Panwas dalam menjalankan fungsi kepengawasannya akan memberikan efek kurang baik terhadap proses pesta demokrasi ini. Imbas dari kemandulan Panwas sama halnya memberikan ruang bagi penyelenggara Pemilu untuk berbuat yang bertentangan dengan sumpah jabatan, seperti kurang maksimalnya serta kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi. Kemungkinan ini bukan berarti tidak terjadi mengingat kepentingan orang yang berkopetisi selalu berupaya dengan uang yang dimiliki untuk meraih kekuasaan terlebih di Pilpres. Salah satu celah ini akan membuat orang akan berfikir kembali ketika sudah berkaitan dengan masalah keuntungan materi, disanalah kemudian akan terjadi apa yang disebut kecurangan dalam Pemilu. Itu semua tidak mungkin polisi yang akan bertindak sebelum ada laporan dari Panwas mengingat pelanggaran yang terjadi masuk ranah pemilu. Kasus amburadulnya DPT dan adanya indikasi pengelembungan sura yang dilakukan oknum PPK maupun KPU sepatutnya ditindaklanjuti dengan sungguh-sungguh, tidak hanya berwacana di media massa sekedar untuk menutupi kelemahan dan ketidakmampuannya dalam melaksanakan fungsi pengawasannya. Bawaslu harus bisa memaksimalkan kerja pengawasan terhadap jajarannya samapai pada Panwas Lapangan yang menjadi ujung tombak untuk mengakses ada dan tidaknya kecurangan yang dilakukan oleh oknum penyelenggara pemilu. Tanpa adanya monitoring dari Bawaslu, jajaran Panwas akan setengah hati dalam melaksanakan fungsi kepengawannya mengingat tidak sedikit adanya keterkaitan pertemanan diantara mereka (penyelenggara), atau adanya titipan salah satu calon yang dapat menghilangkan sifat profesionalismenya.
Pilpres Sangat Rawan
Menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, permasalahan DPT kemungkinan tidak akan separah ketika terjadi di Pemilu. Bila dicermati, KPU beserta jajarannya tentu tidak mau dijadikan sasaran emosi oleh partai politik yang tidak lulus senayan. Kendati itu bukan faktor utama kegagalan partia tersebut, namun alibi bisa saja diarahkan akibat amburadulnya DPT yang disusun KPU.
Kendati demikian, KPU harus lebih cermat dan tegas  melihat fenomina yang akan terjadi di Pilpres. Ketika dalam Pemilu terjadi adanya kecurangan yang dilakukan oleh oknum PPK, tidak tutup kemungkinan di Pilpres akan semakin tidak karuan. Sebab ada perbedaan yang cukup ketika di Pemilu Legislatif dan di Pilpres. Di Pemilu pergerakan para Caleg lebih agresif mengawal dan mengawasi pelaksanaan ditingkat KPPS, PPS, PPK dan KPU, sementara ketika di Pilpres kondisi tersebut akan terbalik mengingat kepentingan sentarlistik yang kurang berkait langsung dengan kader-kader partai yang ada.
Nah, disitulah akan diuji mentalitas dan integritas KPU, PPK dan KPPS agar bisa menjalankan pesta demokrasi ini berjalan sesuai dengan pilihan masyarakat. Sebab tingkat apektasi masyarakat terhadap Pilpres semakin tinggi, mereka terjebak oleh asumsi bahwa siapapun yang terpilih tidak akan memberi perubahan terhadap nasib yang selama ini meraka rasakan. Potret ini sama haknya memberi peluang terhadap penyelenggara yang kerjanya hanya ingin mencari keuntungan pribadi. Dengan demikian, peran Panwas, sebagai polisi pemilu, sangat dibutuhkan sebagai pihak yang berwenang mengawal persta demokrasi ini bisa berjalan dengan jujur tanpa harus ada yang dicurangi dan tercurangi. Tapi semua ini harus kita kembalikan pada mental dan integritas mereka sebagai polisi pemilu. Penulis sangat menyayangkan ketika ada salah satu anggota Panwas mengatakan bahwa masih banyaknya peluang kecurangan dalam Pilpres dikarena keberadaan UU Nomor 42 Tahun 2008 yang masih terdapat lubang-lubang sehingga dapat memberi peluang bagi para pihak untuk bermain-main dengan hukum. Semestinya Panwas harus dapat membedakan bahwa dimana ketika sebuah UU masih dalam proses politik di DPR yang mudah di ombang ambingkan karena belum mempunyai kekuatan yang mengikat dan UU yang telah menjelmakan diri sebagai senjata yang dapat memangsa siapapun yang mencoba bermain api. Artinya, sebagai benda mati tidak tutuk kemungkinan UU tersebut akan dijadikan sarana untuk melakukan tindakan yang dianggap melanggar hukum karena faktor kelemahan tadi, akan tetapi bukan berarti UU tadi kemudian lemah dan tidak bisa memborgol oknum yang mencoba berbuat kecurangan. Semua itu kembali kepada pihak yang berwenang untuk bagaimana hukum bisa ditegakkan sehingga pesta demokrasi ini tidak ternodai.
Penulis sangat terkesan dengan sambutan salah satu anggota KPU Kabupaten Malang, Mas Totok Hariyanto, SH., yang mengatakan bahwa lebih baik tidak kondusif dari pada harus menyimpan ketidak beresan ”kecurangan” yang dilakukan oleh oknum penyelenggara pemilu. Sebagai mantan Panwaskab Malang beliau setidaknya sedikit mengerti bagaimana kinerja jajaran KPU ke bawah.    
Harapan Kedepan
Sebagai kata akhir dari tulisan ini adalah adanya harapan penulis agar penyelenggara harus benar-benar orang-orang yang mempunyai integritas moral yang tinggi, berpendidikan yang memadai, punya komitmen dan loyalitas yang tidak diragukan. Dengan pergantian komisionir anggota KPU Kabupaten Malang dapat membenahi kekurangan-kekurangan yang terjadi di Pileg dan tegas menindak PPK beserta jajaran kebawah bila terindikasi melakukan tindakan yang melanggar hukum.
KPU dan Panwas merupakan satu paket dalam pesta demokrasi ini, harapan untuk saling berkejasama sangat di perlukan agar dapat bersinergi dalam menyukseskan Pemilu Pilpres tanpa harus ada saling menyalahkan atau merasa yang paling benar.
















[1]. Penulis adalah anggota PPK Gondanglegi Pileg, Pilgub dan Pilpres 2009
[2]. Radar Malang. Senin 27 April 2009

Tidak ada komentar: