Jumat, 12 Agustus 2011

JANGAN DIPAKSA SYEKH PUJI BERSALAH


SABUR, S.H.I, M.H



PROLOG


Fenomina hukum terkait kasus yang menimpa syekh puji sebenarnya bukan suatu yang baru. Menikahi anak dibawah umur sudah menjadi hal yang biasa terjdi dimasyarakat. Terlebih masalah perkawinan termasuk memasuki wilayah privat sehingga keberadaannya tidak bisa semerta-merta di intervensi oleh kekuatan apapun termasuk aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi. Berbicara penegakan hukum dalam kontek perkawinan tak luput adanya norma hukum yang dilanggar. Pelanggaran norma hukum juga tidak seutuhnya bisa langsung ditindak oleh kepolisian. Penindakan terhadap pelanggaran norma hukum terlebih dahulu harus melihat dari isi sifat norma itu sendiri. Apakah dalam norma tersebut terdapat unsure delik aduan atau delik murni? Pelanggaran terhadap norma hukum dalam perkawinan tidak sepenuhnya bisa dipersepsikan sebagai delik aduan, begitu juga kurang tepat bila pelanggaran norma hukum dalam sebuah pernikahan diponis sebagai delik murni. Semuanya masih memerlukan telaah akademik untuk dapat membedakan mana yang dapat di persepsikan sebagai delik aduan dan mana yang bisa di asumsikan sebagai delik murni. Hal ini untuk menghindari kerancuhan dan adanya kesan bahwa penegakan hakum hanya didasari oleh sifat arogansi daripada berlandasan ke adilan hukum itu sendiri. Bagaimana dengan kasus yang menimpa syekh puji?
Terkait dengan hukum menikahi anak dibawah umur tidak hanya berkaitan dengan satu Undang-undang saja. Mulai dari UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak dan UU KDRT semuanya mempunyai keterkaitan norma yang tidak bisa di paksakan secara parsial. Adanya saling keterkaitan norma itulah, maka kurang tepat bila kasus yang ditimpakan kepada syekh puji hanya memaksakan norma-norma hukum yang ada dalam UU tentang Perlindungan Anak semata. Penerapan norma hukum secara parsial di dalam suatu UU akan melahirkan pertanyaan besar terhadap orsinilitas serta penegakan hukum yang sebenarnya. Jadi dalam konteks kasus hukum menikahi anak dibawah umur masih ada yang perlu bicarakan terkait adanya korelasi antar norma hukum yang ada di beberapa UU.
UU No. 1/1974 tentan Perkawinan
Disebutkan dalam Pasal 6 ayat (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Melihat bunyi Pasal 6 ayat (2) kewenangan untuk bisa dan tidaknya acara perkawinan seorang dengan wanita dibawah umur dilangsungkan merupakan hak prerogative orang tua. Sifat inperatif norma hukum yang terkandung dalam Pasal 6 tersebut bisa dilihat dari potongan ayat (2) yang mencantumkan kata “harus” sebagai syarat ada atau tidaknya izin orang tua. Keberadaan Pasal 6 ayat (2) sangat mungkin dilakukan oleh orang tua dalam memberikan atau tidak restu kepada sang anak, karena Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1,2) memberikan peluang untuk itu. Lantas bagaimana dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Kemudian bila ketentuan di ayat (1) tidak terpenuhi, maka dalam ayat (2) dianjurkan agar meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua.  Ketentuan Pasal 7 ayat (1,2) sebenarnya akomulasi dari adanya anjuran  Pasal 2 ayat (2) Tiap-tiap perkawinan di catat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang perlu dipahami dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2)  bahwa tiadanya norma hukum yang bersifat inperatif, ketentuann tersebut baru sebatas fakultatif demi kepentingan administrative belaka.
Jadi sekalipun Pasal 7 ayat (1,2) masuk pada Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan, akan tetapi korelasinya lebih cenderung kepada penegasan terhadap Pasal 2 ayat (2), bukan kepada Pasal 6 ayat (2). Terlebih keberadaan Pasal 6 ayat (2) di dukung oleh ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang memberi wewenang tuk menilai sah dan tidaknya sebuah perkawinan dilihat dari ketentuan agama masing-masing. Artinya sah dalam arti bahwa perkawinan yang akan dilaksanakan telah memenuhi norma-norma agama yang telah digariskan. Bila Pasal 7 ayat (1) tetap akan diberlakukan secara inperatif apakah tidak akan tumpang tindih dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1)? Dengan demikian, imbas dari norma hukum yang ada pada Pasal 2 ayat (1) maka ada yang perlu ditanyakan apakah ada norma agama yang mensyaratkan adanya batas usia bagi seorang yang akan melaksanakan perkawinan sebagaimana yang disebutkan Pasal 7 ayat (1)?  Kendatipun Pasal 7 ayat (1) dipaksakan untuk tetap diberlakukan, apa relevan bila syekh puji yang akan dikenakan sasaran norma tersebut? Padahal Pasal 6 ayat (2) dengan jelas menyebutkan bahwa otoritas boleh tidaknya perkawinan dilangsungkan merupakan hak prerogative orang tua termasuk melapor ke pihak aparat penegak hukum.
Jadi tidak cukup kuat bila keberadaan Pasal 7 ayat (2) di argementasikan sebagai penafsir dari Pasal 6 ayat (2) sehingga suatu perkawinan seorang dinyatakan tidak sah. Terlebih kata “sah” hanya bersifat administrative yang tidak menyentuh terhadap substansi sah tidaknya hukum perkawinan tersebut.
UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak
Sebagai tidak lanjut dari Pasal 6 ayat (2) UU No. 1/1974, UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan dalam Pasal 26 ayat (1) Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab untuk: huruf (c) mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Aroma masih adanya keterkaitan antara kedua norma hukum diatas tiadanya penyebutan secara spesifik batas masksimal usia anak-anak oleh Pasal 26 ayat (1). Justru kedua  norma hukum di dua UU yang berbeda lebih memberikan forsi serta otoritas terhadap orang tua. Dominasi orang tua yang diberikan oleh UU dapat memberikan jawaban bahwa sebenarnya yang menjadi obyek hukum bukanlah syekh puji melainkan orang tua sebagai penaggungjawab terhadap anak. Karena dalam hal ini kapasitas syekh puji sebatas pemohon bukan pihak yang bisa menentukan, berbeda dengan orang tua yang mempunyai hak otoritas dalam memberikan atau tidak memberikan izin kepada syekh puji sebagai pihak pemohon. Maka secara hukum relevansi penahan syekh puji dalam kasus ini sangat bias, substansi norma hukum yang dijadikan acuan sebenarnya tidak ada. Bahkan dengan insiden ini, ke adilan hukum yang menjadi substansi penegakan hukum kini telah menjadi slogan atau jargon yang seharunya tidak terjadi. Ini namanya bukan penegakan keadilan hukum melainkan arogansi pemaksaan terhadap orang lain agar bersalah. Syekh puji bukanlah tersangka dari kasus ini, beliau hanya korban dari sifat arogansi aparat penegak hukum yang mengatasnamakan ke adilan dan perlindungan terhadap anak usia dini. Mengapa syekh puji dikatakan korban? Telah kita ketahui apakah norma hukum sebagaimana tersebut diatas memungkinkan syekh puji dijadikan tersangka? Perlu juga diketahui bahwa dalam kasus perkawinan anak di bawah umur adalah salah satu delik aduan bukan delik murni yang semua pihak bisa berbuat aktif untuk melakukan tindakan hukum termasuk masyarakat. Kendati  Pasal 25 UU No. 23/2002 memberikan ruang pada masyarakat untuk berperan aktif dalam memberikan perlindungan terhadap anak, akan tetapi hal itu lebih cenderung mengarahkan terhadap aksi advokasi dalam konteks memberikan pelatihan meupun penyuluhan agar anak dapat memahami hak-haknya. Akan tetapi tidak tutup kemungkinan ketentuan Pasal 25 tersebut menuntut peran masyarakat untuk aktif ketika menemukan fenomina hukum yang bersifat delik murni. Justru itu merupakan kewajiban bagi semua warga masyarakat bila mengetahui adanya kejanggalan hukum yang terjadi baik dalam konteks kasus pemaksaan perkawinan anak dibawah umur oleh orang tua sehingga menimbulkan kekerasan fisik seperti yang disebutkan dalam UU No. 23/2004 KDRT Pasal 6 Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Didalam KUH Pidana Pasal 351 ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja. Menurut yurisprudensi, arti penganiayaan ialah perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau luka. Hasil kalaborasi dari UU No. 23/2004 KDRT Pasal 6 dan KUH Pidana Pasal 351 ayat (4) dapat disimpulkan bahwa bila terjadi kekerasan terkait proses perkawinan di bawah umur, maka ketentuan UU No. 23/2002 yang disebutkan Pasal 25 Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam menyelenggarakan perlindungan anak., masyarakat dapat berperan aktif tidak hanya sekedar advokasi dalam konteks pelatihan melainkan bisa langsung melaporkan ke pihak yang berwajib agar para pelaku dapat ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena perbuatan tersebut dapat pula dikatakan tindakan kriminal yang dapat mengancam keselamatan orang lain. Terlebih dalam kasus penganiayaan tidak sedikit yang menelan korban jiwa baik yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga maupun di masyarakat umum. Jadi lebih tepat dan relevan bila ketentuan UU No. 23/2002 Pasal 25 bisa diartikan dengan ketentuan bunyi UU No. 23/2004 KDRT Pasal 6 dan KUH Pidana Pasal 351 ayat (4) sehingga peran aktif masyarakat / LSM sangat dimungkin untuk memposisikan diri sebagai pihak pelapor.
Upaya Hukum Syekh Puji
Sebagai seorang yang sama dimuka hukum, penulis menganjurkan syekh puji dan pengacaranya mengambil upaya hukum terkait kasus perkawinan di bawah umur. Ada pihak-pihak yang harus digugat terkait dengan perbuatan yang mereka lakukan, baik atas nama individu maupun lembaga. Pertama; syekh puji hendaknya melaporkan balik para Lembaga Swadaya Masyarakat yang telah bertindak diluar batas hukum dengan tuduhan telah berbuat fitnah. Karena tidak sewajarnya para LSM tersebut mencampuri kasus ini mengingat si Ulfa dan orang tuanya tidak merasakan kerugian apalagi berbuat pemaksaan terhadap anaknya agar menikah dengan syekh puji.  Kedua; melaporkan Polda Jateng ke Propam Mabes Polri terkait adanya indikasi penyalahgunaan wewenang oleh aparat Polri Polda Jateng. Ketiga;  mengajukan prapradilan ke PN bahwa penegakan hukum dalam kasus ini telah terjadi kesalahan penerapan norma yang melenceng dari nilai-nilai keadilan hukum.
Ke empat; melakukan uji tafsir ke Mahkamah Konstitusi terkait UU No. 23/2002 yang disebutkan Pasal 25 yang telah dijadikan justifikasi oleh salah satu LSM
Uapaya hukum sebagaimana disebutkan diatas bukan berarti pihak syekh puji menunjukkan arogansinya, hal itu memang perlu dilakukan agar permasalahan hukum yang sebenarnya dapat diluruskan. Terutama public agar dapat mengetahui serta mendapat informasi teantang kasus ini secara seimbang sehingga asumsi tentang syekh puji di mata public tidak terus memojokkan beliau. Ini penting untuk diketahui, sebab masyarakat tidak sedikit yang gampang terjebak dan tervirusi oleh opini-opini yang berkembang di media-media massa dan eletronik.
Sebagai tokoh agama sudah sewajarnya itu dilakukan sebagai bentuk klarifikasi kepada publik dan pembelaan terhadap segala tuduhan yang selama ini. Kendati demikian penulis sangat menyayangkan bila dalam proses kasus ini telah di hiasi dengan pernik-pernik kekerasan baik yang dilakukan oleh syekh puji terlebih oleh pihak Kepolisian yang nota bena pelindung dan pelayan masyarakat. Kedua belah pihak seharusnya bisa menahan diri dan mematuhi hukum serta mekanisme hukum yang berlaku. Akan tetapi dalam hal ini, Polisi memang lebih cenderung menampilkan sosok arogannya daripada sifat penegakan hukum dalam menangani kasus syekh puji. Justru penulis lebih bangga ketika Polisi menampilkan ke arogansiannya dalam menangani kasus korupsi, bukan kasus kecil seperti kausus Perkawinan anak di bawah umur. Apalagi substansi hukumnya masih banyak dipertanyakan masyarakat karena penerapan norma hukum yang dijadikan dasar menjerat syekh puji tidak sesuai dengan substansi perkara.


Tidak ada komentar: