Minggu, 14 Agustus 2011

MENYOAL LEGALITAS KPK DI TENGAH HARAPAN MASYARAKAT[1]


Oleh:

SABUR MS, S.H.I, M.H[2]




Legalitas KPK pasca di non aktifkannya Antasari Azhar baiak sebagai anggota maupun Ketua KPK sempat mengundang pro dan kontra. DPR misalnya, sebagian mereka rame-rame mempermasalahkan legalitas KPK sehingga ada ”tekanan” untuk tidak mengeluarkan kebijakan strategis, seperti penangkapan dan yang lainnya. ”prilaku” DPR ini tentunya banyak menimbulkan reaksi dari beberapa kalangan yang mengasumsikan sebagai tindakan intervensi terhadap kemandirian KPK. Benarkah? Perbedaan pendapat dalam menafsirkan sebuah UU tidak terlepas dari kepentingan masing-masing kelompok. Sebagai benda mati, memang selayaknya suatu UU diperdebatkan tak terkecuali UU KPK yang masih butuh penyempurnaan. Akan tetapi perbedaan penafsiran tersebut hendaknya jangan sampai mengarah pada suatu pemusnahan terhadap gerakan-gerakan amar ma’ruf nahi mungkar yang menyangkut terhadap kepentingan umum seperti pemberantasan korupsi (Pasal 5 huruf (d)).
Pasal 21 ayat 1 huruf (a)
Perdebatan diatas berkaitan dengan keterbatasan bunyi Pasal 21 ayat 1 huruf (a) yang menjelaskan komposisi keanggotaan KPK yang berjumlah 5 orang. Keterbatasan pasal ini kemudian tidak didukung pasal lain sehingga menimbulkan multi tafsir yang mengarah pada kepentingan pragmatisme sebagian anggota DPR. Hal ini sebagai indikasi bagaimana cara sebagian DPR dalam menafsirkan suatu pasal yang tidak utuh dengan adanya saling keterkaitan dengan kandungan hukum yang ada pada pasal lain sehingga keberadaannya dapat memberikan pengertian yang bisa memberikan opini bahwa legalitas KPK patut dipertanyakan. Seperti contoh ketentuan Pasal 32 ayat 2 tentang mekanisme pemberhentian anggota KPK dan Pasal 33 ayat 1,2 yang mengatur dan membedakan mekanisme pemberhentian dan pe-non aktifan anggota KPK. Kedua kandungan hukum dalam kedua pasal tersebut masing-masing mempunyai implikasi hukum berbeda yang dapat mempermasalahkan legalitas KPK sesuai dengan ketentuan yang ada di Pasal 21 ayat 1 huruf (a). Akan tetapi bila kandungan hukum yang ada pada pasal-pasal tersebut dapat dicermati secara utuh, kasus hukum yang tengah menimpa Ketua KPK non aktif Antasari Azhar masih terlalu pagi untuk mempersoalkan legalitas KPK secara kelembagaan.
Dengan demikian, mempersoalkan legalitas KPK tidak dapat diterima secara hukum ketika dapat mencermati ketentuan hukum yang ada pada Pasal 21 ayat 1,5 dan Pasal 33 ayat 1,2, sehingga legalitas KPK yang berjumlah 4 orang tidak perlu dipermasalahkan. Karena melihat ketentuan Pasal 32 ayat 2  keanggotaan Antasari Azhar masih sah sebagai anggota KPK, sehingga kandungan hukum apada Pasal 21 ayat 1 huruf (a) yang mengatur ke anggotaan KPK tidak bisa di kaitkan dengan status Antasari Azhar yang telah di non aktifkan. Sebab kata “non aktif” dan “diberhentikan” tentunya mempunyai pengertian berbeda. Perbedaan pengertian ini juga ada kaitannya dengan status keanggotaan Antasari Azhar sebagai anggota KPK yang sempat menjurus terhadap legalitas institusi KPK. Oleh karena itu, interpretasi yang sempat di publikasikan terkait legalitas Institusi KPK sangat tendensius yang sulit untuk bisa diterima baik oleh akal sehat apalagi secara ilmiah. Terkait apa itu karena keterbatasan maupun kekurangpahaman sebagian anggota DPR tentang hukum, namun opini tersebut dapat menimbulkan reaksi masyarakat dengan mempertanyakan komitmen sebagian anggota DPR yang cenderung ingin membumi hanguskan kelembagaan KPK secara sistematis. Hal ini tentunya berbalik dengan aspirasi masyarakat yang tengah memberikan apresiasi positf terhadap eksistensi KPK yang banyak menimbulkan harapan masyarakat terkait penegakan hukum yang selama ini dianggap hanya sebuah permainan. Jangan mentang-mentang sebagai pihak yang membuat UU kemudian menafsirkan UU tersebut sesuai dengan seleranya tanpa memperhatikan unsur ilmiahnya. Dan perlu juga diketahui bahwa RUU setelah disahkan menjadi UU bukan lagi domain DPR, melainkan telah menjadi tanggungjawab moral para penegak hukum, para ilmuan hukum serta orang-orang yang benar-benar kompetain dibidang hukum.

Biarkan KPK Bekerja
Polemik tentang legalitas KPK yang sempat diperdebatkan sebenarnya bukan lagi persoalan hukum, melainkan lebih mengarah pada persoalan politik DPR yang berusaha untuk melindungi teman-temannya yang tersangkut kasus korupsi. Mereka, DPR, akhir-akhir ini bila kita cermati sepertinya merasa terganggu dengan keberadaan KPK dalam menegakkan hukum dibidang korupsi yang tidak mau dipengaruhi oleh latar belakang jabatan yang melekat padanya. Kecenderungan ini bisa kita lihat bagaimana argumentasi mereka yang parsial dalam konteks adanya unsur kesengajaan mendiskriminasikan pasal-pasal lain yang sebenarnya ada keterkaitannya dengan keberadaan status Antasari Azhar sebagai tersangka. Seharusnya hal itu sangat disayangkan dan tidak perlu terjadi terlebih  muncul dari seorang anggota DPR yang nota bena merupakan representasi aspirasi masyarakat. Sebagai representasi masyarakat tentunya mereka peka terhadap aspirasi masyarakat yang selama ini telah banyak memberikan apresiasi terhadap keberadaan dan kinerja KPK dalam peberantasan korupsi. Gairah dan sadar hukum yang mulai menggeliat di sebagian masyarakat tentunya harus diapresiasi juga oleh DPR sekalipun pada tatanan tertentu akan menjadi suatu ancaman bagi segelintir orang yang selama ini selalu dengan bebas menikmati uang negara dengan jalan korupsi, akan tetapi pada keadaan yang lebih besar seharusnya mereka memberikan dukungan politik terhadap kinerja KPK. Karena hal ini memberikan sinyal bagi negara ini bahwa asas hukum yang melekat akan menjadikan tatanan negara ini semakin baik karena masyarakatnya semakin dewasa dan peka melihat fenomina abnormal yang terjadi pada sebagian besar pejabat negara ini.
Memang harus disadari bahwa tatanan birokrasi negara ini telah rusak akibat rusaknya mental aparatur yang cenderung berfikir pragmatis terhadap konsep pelayanan yang sebenarnya menjadi jati diri mereka. Pemutar balikan konsep ini telah banyak mengubah pola fikir masyarakat yang tidak paham atas tugas dan status yang mereka miliki, padahal pejabat bukanlah raja yang harus dilayani melainkan tidak ubahnya pembantu yang harus dengan setia melayani apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Pemahaman ini seakan pudar di benak masyarakat kita akibat kesalahan persepsi tadi sehingga tidak heran apabila sebagian masyarakat kita cenderung menghambakan diri pada kekuasaan demi untuk meraih satu tujuan, yaitu keuntungan personality materi dengan logika dan konspirasi yang sengaja dia ciptakan. Dengan keadaan yang seperti inilah peran KPK sangat diharapkan bisa memberikan shok terapi kepada oknum-oknum pejabat agar bisa mengubah mental dan prilaku yang selama ini selalu ingin memanjakan dan dimanjakan dengan memanfaatkan jabatan yang ia jabat.
Pola fikir seperti ini tentunya kurang bagus bila paradigma ini terus dijadikan dasar dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Disamping menayalahi kote etik jabatan, paradigma tersebut sangat riskan untuk disalahgunakan yang ujung-ujungnya sebagai sarana untuk mencari keuntungan pribadi. Dalam tatanan rialitas potret ini telah menjadi rahsia umum yang memerlukan langkah cepat, komitmen dan integritas yang telah teruji seperti KPK. Biarlah KPK bekerja dengan tugas dan fungsinya sesuai amanat yang diberikan UU. Buatlah masyarakat kita ini tersenyum, tidak gelisah dan bisa bermimpi bahwa penegakan hukum di negara ini mulai menemukan jati dirinya sebagai negara yang berasaskan hukum serta bisa dibanggakan. Karena masyarakat sudah bosan dengan silat lidah yang sering dilakukan oleh elit-elit politik yang tidak sedikit mengkaburkan persoalan yang seharusnya dibela demi kepentingan negara ini.



[1]. Opini ini ditulis ketika Ketua KPK Antasari Azhar di tetapkan sebagai tersangka
[2]. Penulis adalah: Alumni Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Malang dan Pondok Pesantren Miftahul Ulum Ganjaran-Gondanglegi-Malang

Tidak ada komentar: