Jumat, 12 Agustus 2011

Mahasiswa dalam Pergulatan Paradigma Intelektual Ditengah Kesepian Masyarakat [1]


Oleh:
 SABUR, S.H.I., M.H [2]



Pendahuluan


Keberadaan lembaga pendidikan merupakan salah satu sarana dan solusi dalam mencerdaskan umat manusia. Tujuan ini tentunya mempunyai pengertian yang cukup substantif dan konprehensif dalam usaha mengeluarkan serta menjembatani kreativitas yang dimiliki. Sehingga sarana serta solusi adanya lembaga pendidikan tersebut tidak lagi hanya sebatas untuk dapat mengasah kreativitas potensi yang dimiliki generasi bangsa ini, melainkan sudah menjadi kebutuhan untuk dapat meraih mimpi serta harapan dimasa yang akan datang. Mimpi dan harapan sebagaimana disebutkan tentunya akan menjadi energi tersendiri bagi para generasi bangsa ini agar mimpi yang mulanya sekedar khayalan akan menjadi sebuah kenyataan. Dengan mimpi ini pula sehingga mereka bisa menghadapi segala problematika yang mungkin akan / telah terjadi.
Akan tetapi, mimpi yang telah dijadikan sebuah energi untuk meraih harapan terkadang tidak diberengi dengan kapasitas yang mereka miliki. Tidak sedikit calon intelektual terperangkap oleh stempel yang telah melekat diujung nama, kebanggaanpun seakan menunjukkan bahwa dia adalah kaum intelektual yang patut disebut sebagai generasi dalam proses persiapan prosesi dimasa yang akan datang. Sebenarnya tidaklah salah bila generasi ini mempunyai asumsi seperti itu, sebagai sesama warga negara tentunya mempunyai hak sama dalam usaha mewujudkan impian serta harapan yang telah menggelora pada tiap waktu bahkan menit.
Merubah Paradigma Calon Intelektual Kita
Tidak sedikit calon intelektual kita yang terperangkap dalam mimpi-mimpi indah. Mimpi itu berbentuk rialitas kehidupan teori yang cenderung menjebak pola fikir paragmatis. Sehingga menjadikan jati diri calon intelektual kita layaknya gabus yang tampak meyakinkan namun tidak bisa dijadikan barometer untuk bisa dijadikan sebuah tolak ukur kemampuan intelektualnya. Dengan demikian, maka perlu ada pola baru bagaimana para calon intelektual kita dalam membangun basis keilmuan yang mampu membaca tuntutan serta rialitas untuk diaplikasikan sebagai wujud pertanggungjawaban secara ilmiah.
Bagaimana cara kita membangun basis keilmuan? Membagun basis keilmuan berarti bagaimana mengasah serta melatih kemampuan intelektual dengan wujud nyata seperti kemampuan dalam berkarya, menulis dan bentuk lain yang bisa dijadikan barometer dalam menilai adanya perkembangan keilmuannya. Namun dalam tatanan rialitas hal itu cukup menyedihkan sehingga eksistensi jebolan perguruan tinggi maupun pondok Pesantren yang notabena sebagai calon intelektual tidak banyak cukup untuk dapat bisa memberikan solusi dan kontribusi terhadap fenomina yang dihadapi masyarakat dan Negara ini.  Membicarakan intelektualitas seseorang berarti akan membicarakan kapisitas kemampuan. Adakah kita berfikir apa yang akan kita berikan ketika telah mendapat gelar akademik atau keluar dari Pesantren? Contoh ketika kita telah mendapat gelar Sarjana Pendidikan maupun status Ustadz tentunya harus bisa memprediksikan bagaimana menganalisis serta memberikan kontribusi terhadap dunia pendidikan yang lebih baik dalam membangun mentalitas masyarakat. Ini salah satu tantangan bagi calon intelektual bagaimana bias berupaya mentransformasikan kapasitas keilmuannya baik melalui lembaga pendidikan formal maupun dalam bentuk tulisan dan diskusi ilmiah lainnya, karena salah satu bahasan penting dalam konsep manusia itu adalah kejelasan tujuan hidup manusia, bukan sekedar bayang-bayang semu sebagaimana binatang. Pembicaraan ini menggunakan bahasa-pemikiran (thought-language), yakni usaha menuasia untuk memperoleh pengetahuan (act of knowing) melalui tindakan nyata merubah dunia,[3]
Untuk itu, bagi seorang calon intelektual, ada satu hal yang perlu dipersiapkan ketika masih berada dalam proses konsolidasi ke Ilmuan, yaitu: kesiapan mental dan basis ilmu pengetahuan. Kesiapan mental dan ilmu pengetahuan merupakan rangkaian dasar dari sebuah  proses. Kekuatan mental tanpa didukung kematangan ilmu pengetahuan akan menjadikan orang tersebut menjadi salah satu komponen yang dapat merusak sebuah cita-cita akademik, sementara kematangan ilmu pengetahuan tanpa didukung oleh mental yang kuat akan membawa orang tersebut menjadi broker ilmu yang selalu berorientasikan terhadap keuntungan materi. Dengan demikian Pondok Pesantren Miftahul Ulum telah mengantisipasi sehingga para santri tidak hanya sekedar bertumpu dan dipersiapkan sebagai Kyai Kampung (minjam bahasanya Gus Dur) melainkan dalam proses konsolidasi keilmuannya kebutuhan sebagaimana disebutkan diatas tetap menjadi sebuah komitmen dalam mencetak calon intelektual muslim. Hal tersebut sejatinya bisa dijadikan solusi dalam me-revolusi paradigma berfikir yang cenderung pragmatik. Seorang intelektual sejati harus tertanam konsep bagaimana cara memberi kontribusi pada masyarakat bukan sebaliknya mencari kehidupan ditengah kebutuhan masyarakat.
Masyarakat Yang Kesepian di Tengah Intelektualitas
Kendati telah banyak perguruan tinggi melahirkan intelektualitas muda di negeri ini, namun indek buta huruf di Indonesia masih cukup mengejutkan. Jawa Timur yang dikenal Kota terbesar kedua setelah Jakarta ternyata indek buta huruf yang terjadi dimasyarakat seakan tidak percaya. Alasan tersebut bukan berarti menafikan hasil penelitian melainkan Jawa Timur adalah salah satu tempat yang menjadi rujukan bagi masyarakat dalam berupaya mengembangkan serta meningkatkan intelektualitasnya. Kenyataanya, tujuan intelektualitas kita telah mengalami pergeseran orientasi. Pergeseran ini tentunya tidak hanya dapat dilihat dalam satu perspektif melainkan perubahan juga terjadi pada orientasi dari lembaga pendidikan itu sendiri yang cenderung profit orientit, sementara dilain pihak lembaga pendidikan hanya bisa menjual diri tetapi tidak mau memikirkan kwalitas diri serta lulusan yang akan bergulat dengan kehidupan masyarakat. Mengapa perubahan orientasi itu berubah karena paradigma pembentukan masyarakat selalu diartikan sebagai pekerjaaan bukan lagi dipersepsikan sebagai upaya pendistribusian basis keilmuan yang telah diperoleh. Hal ini dapat disebutkan sebuah revolusi paradigma yang dapat menghambat pengentasan buta huruf dimasyarakat. Masyarakat merasa kesepian dan terasing ditengah tumpukan kaum intelektual, keberadaannya selalu didiskusikan namun sedikit sekali yang memperhatikannya. Berbalik arah dari sebuah konsef dengan rialitas dimasyarakat membuktikan bahwa kaum intelektual hanya menjadikan masyarakat sebagai sarana komoditi yang cenderung parsial, tidak lagi berfikir apa yang harus ia perbuat akan tetapi jauh dari itu apa yang akan diperoleh (secara materi).
Tidak tutup kemungkinan pergeseran paradigma kaum intelektual kita dipengaruhi oleh pergeseran orientasi sebuah lembaga pendidikan itu sendiri yang selalu menjual tetapi tidak bisa mentransformasikan substansi tujuan lembaga itu sendiri. Ketimpangan tersebut membuat arah lembaga pendidikan cenderung mirip dengan sebuah perusahaan yang selalu mengejar keuntungan semata dengan promosi serta janji-janji yang bisa menghipnotis masyarakat. Sehingga pendidikan tidak lagi bisa dijadikan sarana untuk membebaskan manusia dari penjara kebodohan, lembaga pendidikan seakan menjadi hantu bagi masyarakat yang kurang mampu. Apakah ini tujuan pendidikan ini diadakan? Tentunya itu bukan harapan kita semua, pendidikan harus tetap diletakkan pada fungsi dan tujuan yang semula: mendidik untuk melahirkan generasi yang handal sehingga mampu menjadi pelaku, bukan penonton yang hanya rami diatas tribun sekelompok manusia tetapi mengabaikan substansi dari apa yang harus dia perbuat.
Jangan Bangga Tapi Bagaimana Jadi Kebanggaan
Kebanykan masyarakat adalah bangga dengan apa yang ada pada dirinya sendiri, tapi sangat susah untuk dapat dibanggakan. Apa bedanya substansi dua kata tersebut? Bangga pada perinsipnya adalah sebuah konsep yang mengarah pada diri sendiri dan datang oleh persepsinya sendiri. Penilaian ini sangat parsial karena tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah Karena sering bertentangan dengan kebanyakan penilaian masyarakat. Berbeda dengan sifat bangga adalah kebanggan yang datang dari pihak ketiga yang secara obyektif dapat dijadikan referensi dan prestasi. Fenomina ini hanya akan menjadi batu sandungan bagi para calon intelektual kita ketika hanya bisa membanggakan diri tetapi tidak mampu menjadi sebuah kebanggaan masyarakat, alamamter dan lain sebagainya. Sebagai mahasiswa jangan kita mendahulukan mimpi untuk bangga dengan status kemahasiswaannya, tetapi bagaimana berupaya kita bisa menjadi kebanggaan Kampus dengan kemampuan serta kematangan basis keilmuannya. Dan itu harus dijadikan sebuah komitmen agar sebagai mahasiswa tidak sekedar menjdikan diri yang selalu bersembunyi dibalik nama besar kemahasiswaannya. Maka kreativitas dan kemandirian intelektual para mahasiswa sangat perlu untuk dijadikan sebuah rujukan bangaimana kebanggaan tersebut benar-benar terinspirasi dari dokumentasi-dokumentasi rasional yang berwujud aplikatif terhadap keluhan-keluhan masyarakat.
Akhir-akhir ini memang telah terjadi pergeseran orientasi serta paradigma dimasyarakat. Pergeseran ini terkait dengan tujuan penguatan basis keilmuan yang mereka inpor dari lembaga yang ia yakini. Kecenderungan ini ada banyak hal yang tengah menghantui kekehawatiran semu yang ada pada diri sendiri, sehingga hal-hal yang berhubungan dengan keilmuannya selalu dinilai dengan materi. Tentunya tidak dapat disalahkan, namun bukan bererarti semuanya dibenarkan sehingga membabi buta mengambil keuntungan ditengah ketersudutan masyarakat. Artinya harus ada semacam pengkelompokan ekonomi terhadap masyarakat sehingga pendistribusian basis keilmuan yang diperoleh dapat tersalurkan secara seimbang.

Penutup
Dari uraian diatas diharapkan, keberadaan mahasiswa sebagai komponen masyarakat yang akan memilki kapasitas dan spesefikasi keilmuan yang dapat dibanggakan oleh masyarakat bisa lebih banyak memberikan kontribusi sebagai wujud pertanggungjawaban intelektual yang dimilikinya.














[1]. Artikel ini disampaikan pada kegiatan OSCAR STAI Al-Qolam pada hari Jum’at, 23 Oktober 2009 di STAI Al-Qolam
[2]. Penulis adalah mantan Ketua BEM STAI Al-Qolam 2003-2004, Alumni Pascasarjana Magister Hukum Unisma, Koordinator Lembaga Advokasi Hukum Malang, Sekretaris PAC GP Ansor Gondanglegi,  Ketua Umum DPP Ikatan Alumni PP Miftahul Ulum (IKAPMI) Malang
[3]. Prof. Dr. Paulo Freire, The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation. Dialihbahasakan oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartono, Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, REaD bekerjsama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hal. 82. cet II

Tidak ada komentar: