Jumat, 12 Agustus 2011

Pragmatisme Masyarakat: Antara Afektasi dan Diskriminasi Pemerintah Terhadap Kurikulum Agama

Oleh:
SABUR MS, S.H.I, M.H






Prolog

Ada salah satu guru madrasah swasta menceritakan terhadap adanya pergeseran orientasi masyarakat terhadap kebutuhan pendidikan anak-anaknya. Beliau mengeluh bahwa masyarakat sekarang tidak sedikit yang mengganggap pelajaran agama hanya sebatas pelengkap bukan kebutuhan hidup jangka panjang, berbeda ketika pelajran umum, khususnya, yang berkaitan dengan kelulusan pada ujian nasional. Keluhan ini tentunya wajar terutama dikalangan Madrasah, sebab pada umumnya Madrasah lebih cenderung menekankan pelajaran agama sebagai jangkar untuk menjaga dan mempupuk mental anak didik dengan moral yang baik. Akan tetapi dalam satu sisi Pemerintah masih baru sekedar melirik terhadap fenomina yang terjadi, akhirnya timbul pragmatisme masyarakat terhadap kurikulum Agama. Pragmatisme ini tentunya bukan factor masyarakat itu sendiri melainkan kebijakan pemerintah, dalam hal ini Mendiknas, yang cenderung parsial dan diskriminatif terhadap eksistensi kurikulum Agama. Hal tersebut menunjukkan bahwa perspektif pemerintah terhadap tujuan didirikannya lembaga pendidikan tidak hanya sekedar merubah perspektif masyarakat akan tetapi lebih kepada “merusak” cita-cita serta harapan untuk bisa membentengi moralitas generasi bangsa dari badai budaya yang semakin mecemaskan. Kondisi ini akan menciptakan ketidak seimbangan antara cita-cita dan tujuan pendidikan tersebut, seharusnya pemerintah tidak hanya sekedar bagaimana membebankan kepada sekolah atau guru, selebihnya tindakan konkrit dari pemerintah seharusnya bisa diwujudkan dengan kebijakan sehingga dapat dijadikan ukuran konkrit, karena fenomina yang terjadi tidak hanya sekedar permasalahan lembaga pendidikan dengan gurunya akan tetapi pemerintah juga berperan terhadap permasalah ini.
Masyarakat Terpaksa Afektasi
Masyarakat sebenarnya sadar bagaimana ajaran agama bisa mewarnai perjalanan hidup dalam ber-sosio budaya dalam masyarakat. Kesadaran ini tentunya dipicu oleh rialitas prilaku dan pola fikir masyarakat yang kini sudah terjebak terhadap perspektif-perspektif rasionalitas yang semakin liar tanpa terkendali. Perspektif liar telah membawa masyarakat masuk kedalam ranjau asumsi pragmatic sehingga tercipta labilisasi masyarakat terhadap terpaan badai budaya dan permainan perspektif yang mengatasnamakan “Ilmiyah”.
Terkait dengan kurikulum pendidikan Negara kita sebenarnya dapat dikatakan bagus secara structural, akan tetapi ada hal yang semestinya memerlukan pemikiran utuh dan tidak parsial. Sebab parsialisme pemerintah terhadap urgensi dan substansi kurikulum akan melahirkan perspektif pragmatisme masyarakat yang berimplikasi terhadap pola fikir dalam melihat kurikulum pendidikan. Hal ini telah menjadi sebuah rialitas di masyarakat yang tidak mungkin terbantahkan. Masyarakat secara tidak langsung telah dipaksa berbuat afektasi pada kurikulum agama, bukan masyarakat yang afektasi, sehingga dengan rialitas kebijakan pemerintah tersebut masyarakat tidak mempunyai pilihan lain kecuali men-dewa-kan mata pelajaran-mata pelajaran tertentu. Mayarakat sudah ter-afektasi terhadap pendidikan yang berbau agama dengan berbagai alasan dan asumsi modernisasi untuk menghadapi tangtangan dunia global. Seharusnya patut disadari bahwa tantangan dunia global adalah tidak harus meng-kriminalisasi kurikulum agama sebagai benteng dan dasar untuk menciptakan masyarakat madani sesuai dengan cita-cita pokok pendidikan itu sendiri. Apa pokok tujuan pendidikan? Disamping mencerdaskan tentunya tidak kalah penting adalah bagaimana membangun mentalitas religius masyarakat sehingga ada kesimbangan perspektif yang saling melengkapi terhadap rialitas sosio-budaya yang tengah mengalami krisis “moral” global. Tentunya ini bisa dijadikan renungan bersama bagaiamana upaya yang seharusnya menjadikan pilar dalam dunia pendidikan justru dikriminalisasi eksistensinya dengan berbagai alasan dan perspektif yang tidak seimbang. Jadi jangan meng-opinikan bahwa potret yang terjadi dalam rialitas dunia pendidikan adalah tanggungjawab institusi pendidikan dan guru semata sementara pemerintah justru hanya bisa menyalahkan tanpa membenahi pola fikir bagaimana konsep dasar dalam membangun bangsa seutuhnya.
Tanggungjawab Pemerintah
Membangun masyarakat madani harus di mulai dari cita-cita serta fenomina social yang akan di hadapi masyarakat. Fenomina tersebut akan berwujud tantangan yang mengandung beberapa aspek nilai baik positif maupun negative. Fenomina ini tentunya tidak bisa bila sekedar di tanggapi setengah-setengah. Sebab adanya pendidikan nasional fungsinya tidak hanya sekedar mengembangkan kemampuan selebihnya juga bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia sebagaimana disebutkan dalam UU No. 20 Tahun2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3. Lebih lanjut ditegaskan dalam UU yang sama Pasal 37 ayat (1) Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a) pendidikan agama. Amanah Pasal 37 ayat (1) ini dapat dikatakan cukup kuat bagaimana upaya yang ditentukan Pasal 3 dapat di implementasikan secara maksimal, akan tetapi pada tatanan rialitas harapan Pasal 3 dan Pasal 37 ayat (1) akan menjadi lemah ketika dikatakan dalam ayat (2) Ketentuan mengenai kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dengan demikian, afektasisme masyarakat terhadap kurikulum agama saat ini tidak lepas dari bagaimana komitmen pemerintah guna mewujudkan lembaga pendidikan sebagai lembaga yang dapat membentengi mental generasi bangsa ini. Karena masyarakat sekarang tidak lagi melihat substansi dari nilai-nilai kurikulum itu sendiri, melainkan telah masuk pada jebakan kerangka perfikir kebijakan pemerintah yang cenderung parsial dan diskrimitaif dalam melihat substansi kurikilum pendidikan. Sekarang pemerintah hanya baru bisa memenuhi ketentuan Pasal 37 ayat (1) agar semua di lembaga pendidikan memuat kurikulum pendidikan Agama. Tapi dalam tatanan rialitas justru kebijakan pemerintah terhadap kurikulum agama tidak sama sekali mencerminkan tuntutan Pasal 37 ayat (1). Disinilah perlu dipertanyakan komitmen pemerintah terhadap rialitas semakin krisisnya minat masyarakat terhadap kurikulum agama. Jadi kurang relevan bila merosotnya nilai-nilai agama pada anak didik justru yang dijadikan sasaran adalah guru dan lembaga pendidikan yang dinaunginya. Sebab guru dan lembaga pendidikan hanya sebatas pelaksana dari sebuah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang memuat berbagai aspek. Hal ini ditegaskan oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 38 ayat (1) Kerangka dasar dan struktur kurikulum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Mengapa harus pemerintah? Amanah UU sudah jelas memberikan lubang cukup besar terhadap pemerintah agar dapat segera mengambil langkah serta rumusan konkrit mengenai kurikulum pendidikan. Seperti yang kita ketahui bahwa bangsa ini tidak hanya mengalami krisis ekonomi yang kini menjadi perhatian public, disadari atau tidak bangsa yang masyoritas ber-agama Islam ini tidak hanya sekedar mengalami krisis melainkan dekadensi moral generasi bangsa dalam segala sector. Apa yang tidak bermasalah di Negara kita ini? Hampir semua instansi telah terperangkap terhadap pola-pola korupsi; seperti Depag, Diknas, Pajak, Lembaga Penegak Hukum, DPR dan yang lainnya, semua aparatnya adalah produk dari lembaga pendidikan. Bagaimana dengan Pesantren(?) hanya Pondok Pesantren satu-satunya lembaga pendidikan yang relative bersih dan bisa dijadikan contoh dalam upaya pembinaan moral generasi bangsa yang kita cintai.
Kesejajaran Kurikulum Agama
Untuk mengukur komitmen pemerintah terhadap fenomina yang terjadi pada anak didik pada saat ini, maka masyarakat tidak lagi butuh wacana melainkan proses implementasi yang konkrit. Yaitu mensejajarkan substansi kurikulum agama dengan kurikulum yang selama ini di anak emas-kan, bila perlu jadikan kurikulum agama sebagai kurikulum primer agar anak didik beserta guru dan lembaga pendidikan mempunyai dasar kuat untuk lebih memfokuskan diri menanamkan nilai-nilai agama sebagai salah satu syarat kelulusan. Kesejajaran kurikulum dengan kurikulum yang lain merupakan harga mati agar siswa/siswi tidak lagi melihat sebelah mata, melainkan diharapkan menjadikan sebuah kebutuhan dan tuntutan dalam upaya mencapai mimpi-mimpi indah dimasa yang akan datang. Ini yang dimaksud kesejajaran yang sangat mendesak untuk segera direalisasikan. Sementara saat ini kurikulum agama tak ubahnya aksoseris yang diletakkan sebatas untuk memenuhi kewajiban yang ditentukan UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 37 ayat (1). Akan tetapi yang dimaksud dengan “wajib memuat: pendidikan agama” sebagaimana disebutkan diatas seharusnya tidak hanya sebatas diartikan “ada” melainkan substansi dari diadakannya kurikulum agama adalah nilai-nilainya dapat terintegral pada siswa/siswi. Integralisasi nilai-nilai agama terhadap anak didik tidaklah cukup bila sekedar disikapi dengan “himbauan” sementara rialitas di masyarakat peran agama dalam upaya membentengi siswa/siswi dari berbagai tantangan yang dapat mengancam moralitas generasi bangsa ini sedikit butuh “intervensi” pemerintah sehingga harapan dan cita-cita sekolah berjalan secara utuh dalam berbagai perspektif. Inilah sebenarnya yang perlu dijadikan dasar oleh pemerintah dalam melihat rialitas fenomina yang terjadi terhadap siswa/siswi. Sebab substansi UU No. 20 Tahun 2003 terhadap semua kurikulum adalah sejajar sekalipun pada akhirnya menimbulkan interpretasi “politik” yang cukup membingungkan.

Penutup
Diakhir tulisan ini, penulis mengharap agar rialitas fenomina ini yang terjadi pada siswa/siswi di lembaga pendidikan formal dapat membuka pintu agar ketentuan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 37 ayat (1) diberi waktu untuk dikaji ulang bersama lintas pakar sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya menanamkan nilai-nilai agama di setiap lembaga pendidikan formal.










Doc. 3 Januari 2011

Tidak ada komentar: