Jumat, 12 Agustus 2011

PARADIGMA KAWIN BEDA AGAMA: “Sebuah Analisis atas Yurisprudensi No.1400/k/Pdt/1986”



Oleh:
SABUR, SHI, MH




PROLOG
            Seiring dengan berkembangan zaman telah membawa imbas terhadap pola fikir ummat manusia. Terpengaruhnya pola fikir manusia tidak hanya terletak pada tatanan sosial- budaya dan politik, selebihnya imbas telah lama merasuki terhadap aspek-aspek yang bersifat vitalistik; yaitu paradigma kawin beda agama. Perubahan dan pergeseran paradigma tentang konsep hukum kawin beda agama setidaknya telah mengarah guna merancuhkan sebagian konsep-konsep agama itu sendiri. Entah mengapa hal ini harus terjadi! Namun setidaknya opni konsep hak asasi manusia liberalis yang kini paling aktual telah membuat pola fikir  “sebagian”  ummat manusia teraborsi. Pola fikir manusia yang cenderung konsumtif dapat membawa implikasi terhadap pola nalar ummat manusia secara pragmatis dan adaptis. Pola fikir pragmatis lebih terbawa oleh arus apa yang telah menjadi realitas. Sementara pola fikir adaptis lebih menampakkan ketidak berdayaan terhadap pola pikir yang diterimanya. Jadi bukan suatu yang berlebihan bila seorang ulama klasik membagi jenis manusia menjadi dua; hayawan dan hayawan natik.
            Keterlibatan manusia dalam merekonstruksi konsep agama yang cenderung sepihak suatu indikasi bahwa genersi Islam telah mengalami degradasi dan eksklusif terhadap konsep yang seharusnya dikritisi terlebih dahulu yang mempunyai korelasi dan relevansi dengan  ajaran agama.
Kawin adalah bagian HAM sekaligus merupakan kebutuhan bagi ummat manusia. Sebagai salah satu cara untuk meneruskan perjuangan dan pembangunan sebuah agama dan bangsa, maka kawin dalam Islam dianjurkan dan disunnahkan. Akan tetapi nilai luhur dari  sebuah anjuran itu, kini konsep dan paradigmanya telah mengalami pergeseran nilai dan penafsiran dari  konsep awal yang  telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadits.
            Melihat realitas ini, kebanyakan generasi Islam  hanya bisa mendiamkan tanpa bisa melakukan sesuatu dalam kerangka merekonstruksi kembali kapada habitatnya. Seperti yang terjadi dalam negara ini bahwa kawin beda agama ternyata telah lama dilegalkan dengan yurisprudensi. Tetapi apakah  masyarakat sudah mengetahui masalah itu? Dan dimanakah para serjana Islam? Secara akademis tentu belum!! Jangankan masyarakat awam, kalangan akademis mungkin yang banyak mengerti baru orang-orang yang mati hidup bergelut dengan  masalah hukum: seperti hakim, advokat dan para  serjana hukum/ serjana hukum Islam. Sebenarnya secara tidak sadar konsepsi hukum perkawinan di Indonesia telah terkena virus yang merusak  sendi-sendi keagamaan dimasyarakat karena hal itu dapat mengaburkan konsepsi semua agama yang melarang adanya kawin antar agama.
            Berangkat dari uaraian ini, denga keprihatinan, penulis mencoba merekonstruksi paradigma kawin antar agama baik dalam perspekrif agama maupun hukum tentang perkawinan dan Hak asaisi Manusia.
PEMAHAMAN HUKUM YANG BIAS
            Sepengetahuan penulis kecenderungan untuk melakukan kawin antar agama didasarkan atas nama “cinta” bukan ajaran  agama yang seharusnya menjadi barometer. Terlepas dari itu, kini semua ajaran agama, khususnya yang berkenaan dengan masalah perkawinan, mengalami tantangan dalam mengupayakan mereduksi konsepsi agama secara utuh, dimana pada akhir-akhir ini pola fikir masyarakat lebih cenderung positivistik. Tantangan tidak hanya sekedar bagaimana kita dapat mempertahankan tatanan hukum. Selebihnya, tugas terpenting, bagaimana kita dapat mengupayakan merekonstruksi pola fikir masyarakat guna mengarahkan serta menumbuhkan rasa keimanan terhadap konsep-konsep agama tersebut.
            Ditengah kecenderungan pola fikir masyarakat secara positivistik akan berdampak terjadinya kekurang harmunisan antara masyarakat dengan ajaran agama. Hal ini akan mudah terjadi, terlebih terindikasi impotensi yang melanda semangat para orang tua untuk mengembangkan pola agamis dalam kerangka membentuk sebuah karakter anak religius. Impotensi dalam hal ini terwujud bagaimana para orang tua yang telah banyak menafikan ilmu agama sebagai salah-satu penunjang dalam membangun kemapanan beragama secara fundamintal. Untuk itu, ditengah kecenderungan ini, maka diperlukan merekonstruksi keputusan Mahkama Agung tanggal 20-1-1989 No 1400/k/pdt/1986. Yang  mana dalam hal ini, MA dalam putusannya memperbolehkan dan terkesan memaksakan perkawinan antar agama yang dimohonkan oleh Andy Vonny Gani. P yang hendak dilakukan seorang lelaki bernama Andrianus Petrus Hendrik Nelwan.
            Putusan yang kini telah menjadi Yurisprudensi ini memang belum terserap oleh masyarakat pedesaan. Tetapi tidak menutup kemungkinan dalam beberapa tahun kemudian akan menjadi virus bagi eksistensi agama, terlebih diera dimana semakin canggihnya teknologi yang diiringi dengan keterbukaan terhadap segala informasi, serta belum adanya dimensi jenis-jenis penanganan yang diatur dalam UU. Potret ini sangat memperhatikan dimana kecenderungan masyarakat apektasi dan konsumtif dalam menerima dan melihat realitas.
 Sebagai langkah dalam merekonstruksi putusan MA yang telah menjadi yurisperudensi perlu pemahaman suatu UU yang mempunyai korelasi dengannya; yaitu UU No. 1 tahun 1974. Bila disimak mengenai kronologis adanya putusan MA yang melegalkan kawin antar agama disebabkan asumsi ”penafsiran” yang  mengatakan telah terjadinya kekosongan hukum yang mana hal itu tidak perlu terjadi. Untuk lebih jelas dapat disimak salah-satu IKHTISAR hukumnya:
- Bahwa UUP No.1 tahun 1974 tidak memuat ketentuan yang melarang perkawinan bagi mereka yang berbeda agama. Bahwa pasal 27 UUD 45 menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum, tercakup didalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin sesama warga negara walaupun berlainan agama , asas mana sejalan dengan pasal 29 UUD 45 bahwa negara menjamin kemerdekaan bagi setiap warga negara memeluk agamanya masing-masing.
- Bahwa dengan demikian terdapat kekosongan hukum, dan dalam kenyataan yang hidup di Indonesia, tidak sedikit perkawinan atau niat melaksanakan perkawinan berbeda agama, maka tidak dapat di benarkan karena kekosongan  hukum kenyataan dan kebutuhan sosial seperti tersebut dibiarkan tanpa pemecahan hukum, oleh karenanya harus ditemukan hukumnya.

            Mencermati salah satu ikhtisar hukum Mahkamah Agung diatas memang agak terkesan prematur dan sukyektif. Sukyektifitas dalam bunyi ikhtisar ini dapat dilihat bagai mana mungkin  bisa diasumsikan telah terdapat kekosongan hukum! Kendati tidak disebutkan secara tegas mengenai larangaan kawin antar agama, namun ketentuan UU No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) perkawinan adalah sah, apabia diakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, tentunya dapat dijadikan pertimbangan secara obyektif. Karena menurut penulis, intisari dari UU No. 1 tahun 1974 itu adalah pasal 2 ayat (1). Sementara dalam putusannya, MA kurang melibatkan ketentuan pasal tersebut secara obyektif. Kemudian masih dalam UU yang sama disebutkan pula dalam pasal 22 bahwa : perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Kata  “dapat” yang  terdapat dalam pasal 22 bukan berarti kawin beda agama lantas di perbolehkan. Karena dalam penjelasannya diartikan bisa batal atau tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing menentukan lain. Kalau demikian dimana relevansinya dengan kawin antar agama? Sangat jelas perkawinan antar agama tidak disahkan karna tidak memenuhi syarat sahnya perkawinan seagama. Untuk itu, apabila keterangan pasal 22 dikaitkan dengan kawin beda agama bukan lagi memakai “dapat”  batal, melainkan batal demi hukum.
            Oleh karena itu, Syaikh Dr, Yusuf  Qardhawi mengatakan : ketahuilah, sungguh mustahil jika seorang muslimah tetap memiliki kehormatan aqidah dan perlindungan agamanya, jika laki-laki yang menguasainya adalah seorang yang menentang agamanya dengan segala bentuk penentangan. sementara ketentuan UUD 45 pasal 29 ayat (2) hanya sebatas memberi kebebasan melakukan ibadah menurut agama dan kepercayaannya. Pasal 29 ayat  (2) ini tentu tidak dapat dipisahkan dengan  keberadan bunyi pasal 22 mengenai “ibadah” yang mana kawin itu sendiri dalam konsepsi Islam merupakan salah- satu salah satu ibadah. Tiadanya spesfikasi penyebutan mengenai kawin antar agama dalam pasal  29 ayat (2) yang  telah dijadikan salah  satu ikhtisar hukum oleh Mahkamah Agung menunjukkan bahwa adanya keterputusan dalam mengiterpretasikan antara pasal 22 dan pasal 29 ayat (2) UUD 45 tersebut sehingga dapat dikatakan kurang tepat dan bahkan ada unsur kesenjangan  untuk pemaksaan legalisasi kawin antar agama. Indikasi ini tertangkap saat pasal-pasal dari UU yang dijadikan barometer kurang mengena terhadap objek atau subtansi perkara.
            Dengan demikian, secara teori Mahkamah Agung sepantasnya tidak boleh mengeluarkan produk hukum senadiri, mengingat hasil produk hukum yang dikeluarkan sebelumnya sudah ada dan jelas diatur oleh UU No. 1 tahun 1974 . Mahkamah Agung hanya boleh membuat atau mengeluarkan produk hukum sendiri bila suatu masalah dalam masyarakat belum terdapat aturan dalam UU. Kalau memang terjadi kekosongan hukum, maka sebagai lembaga tertinggi, MA memang mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan suatu masalah dengan membuat prodak hukum sendiri, yaitu yurisprudensi. Ketentuan ini disebutkan dalam penjelasan umum UU No. 14 / 1985 tentang MA angka 2 huruf (c) Membuat peraturan sebagi pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Begitu juga dalam penjelasan pasal 14 ayat (1) UU No. 14 / 1970 tentang ketentuan pokok-pokok kekuasaan kehakiman disebutkan: hakim sebagi organ pengadilan dianggap memahami hukum.  Pencari keadilan datang kepadanya untuk memohon keadilan. Andai kata ia tidak menemuklan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggungjawab penuh terhadap Tuhan yang maha esa, diri sendiri, masyarakat bangsa dan negara. Bebeda dengan sistem hukum di AS yang menganut asas Anglo Saxon dimana pertimbangan hukumnya tidak terborgol oleh eksistensi hukum tertulis melainkan lebih cenderung melihat terhadap realitas hidup di masyarakat, artinya putusan seorang hakim dalam memutuskan perkara berorientasi terhadap rasa keadilan yang berkembang dimasyarakat.
            Terlepas dari itu, legalisasi kawin beda agama tidak dapat dibenarkan oleh agama; pertama, kawin antar agama bertentangan dengan norma-norma hukum agama sebagaimana kesaksian Prof. Dr. Hazairin, SH; kedua, kawin antar agama bertentangan dengan eksistensi dan substnsi UU No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1); ketiga, bertentangan dengan roh UUD 45 pasal 29 ayat (2) sebab dengan dikeluarkannya Yurisprudensi tersebut secara tidak langsung MA telah mengintervensi ketentuan ajaran semua agama di Indonesia sebagai mana dijelaskan oleh Prof. Dr. Hazairin, SH, dalam kesaksiannya bahwa: bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri… Demikian juga bagi orang kristen dan bagi orang Hindu Budha seperti dijumpai di Indonesia. Menurut hukum Islam adalah tidak sah perkawinan berlainan agama (surat al-baqarah, ayat. 221). Menurut agama kristen dengan tegas nasehat-nasehat al-kitab perjanjian baru (2 kortinus 6:14).
            Dengan penjelasan Prof. Dr. Hazairin, SH, ini, penafsiran pasal 66 UU No.1 tahun 1974 yang dijadikan salah satu barometer bahwa diberlakukannya pasal yang terdapat dalam Ordonasi Perkawinan Indonesia kristen ( HOCI ) akibat kurang jelasnya UU No. 1 tahun 1974 mengenai kawin antar agama adalah sebuah penafsiran bias, bahkan putusan MA tersebut terlalu jauh sehingga keluar atau melanggar ketentuan UU yang telah ditentukan. Akan tetapi, akibat telah belasan tahun sudah semenjak dikeluarkannya yurisprudensi tentang legalisasi kawin beda agama, maka hal itu akan menimbulkan fenomena baru bila yurisprudensi itu dicabut oleh MA. Mengingat dengan masa yang cukup lama, tentu tidak sedikit, khsusnya masyarakat perkotaan, yang telah melakukan kawin antar agama. Fenomena ini akan menimbulkan buah simalakama, sebab disatu sisi tentu masyarakat dan  para ulama yang punya komitmen terhadap ajaran agama tidak ingin ini terjadi kepada sesama saudara semuslim, disisi yang lain kita juga tidak ingin menimbulkan masalah hukum baru sehingga berdampak terhadap status hukum mereka yang telah bertahun-tahun menjalani kawin antar agama. Namun timbulnya problematika ini sama-sama membawa konsekuensi hukum; yaitu antara hukum positif dilain pihak. Dengan demikian, guna merekonstruksi paradigma kawin antar agama, penulis berpendapat agar dikembalikan pada asas manfaat dan modhorot yang mempunyai implikasi terhadap legalitas secara fundamintal yaitu mencabut yurisprudensi No. 1400/k/Pdt/1986. Sementara bagi yang telah terlanjur melakukan kawin antar agama tetap diupayakan mendapat jaminan hukum secara admenistratif dengan putusan penggantinya. Secara teori memang hal itu masih memungkinkan diatur pada bab tentang ketentuan peralihan. Pun demikian, tetapi perlu kita sadari bahwa teori tidak selalu memborgol terhadap apa yang akan dijadikan hukum melainkan eksistensi dari sebuah teori ilmu hukum adalah bagaimana menciptakan dan memecahkan fenomina dimasyarakat dengan tidak harus melanggar ketentuan hukum masing-masing agama yang akan meresahkan pemeluknya. Dengan demikian tidak tutup kemungkinan bila ini dilakukan sebagai salah satu alternatif solusi agar tidak terlalu memakan korban dan menjadikan fenomina ini semakin kusut.
            Menurut sebagian kalangan, Islam memang tidak secara mutlak melarang kawin antar agama. Kelonggaran ini tidak lain karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa terhadap istrinya dan bertanggung jawab tentang dirinya. Islam menjamin kebebasan aqidah bagi istri yang ahli kitab itu dalam naungan suaminya, bahkan melindungi hak-hak dan kehormatannya denagn syari’at dan bimbingan-bimbingannya. Akan tetapi agama lain, seperti nasrani dan yahudi misalnya, tidak pernah memberikan jaminan kepada istri yang berlainan agama, tidak menjamin kebebasan aqidah dan hak-haknya. Bagaimana mungkin Islam harus mengorbankan masa depan anak-anak gadisnya dan menyerahkan mereka ketangan orang-orang yang tidak mengindahkan perjanjian dan perlindungan terhadap agama mereka? memang terdapat fenomina baru terkait dengan enskalasi (pemantapan) ajaran agama diera global untuk dijadikan sebuah konsepsi ber sosio-budaya kurang menyengat. Untuk itu seharusnya hal-hal yang dipandang perlu agar dimasukkan dalam hukum positif sebagai wujud untuk menumbuh kembangkan kesadaran masyarakat akan  ajaran agamanya. Bila kita melihat realitas hidup ini, memang  masyarakat lebih cenderung takut kepada sejenis UU dari pada ketentuan agamanya. Keterlibatan logika ini perlu diluruskan baik dengan dakwah maupun hukum yang mempunyai daya ekskusi (memaksa). Contoh: sebelum diundangkan UU pemberantasan korupsi, hukum Islam paling terdepan melarangnya. Tetpi apa yang terjadi? Begitu juga fenomina kawin antar agama. Terlebih sejarah membuktikan bahwa sekarang sudah tidak ada yang layak disebut sebagai ahli kitab!! Andaikan putusan MA No.1400/k/Pdt/1986 tidak pernah terjadi mungkin fenomina ini tidak akan sekusut sekarang.

BAGAIMANA RELEVANSINYA DENGAN HAM?  
            Secara konseptual, perjodohan atau perkawinan seorang memang erat hubungannya dengan HAM. Karena perkawinan itu sendiri berkaitan dengan “kebebasan hati nurani” (pasal 4 No. 39/1999 tentang HAM), diantaranya mencintai dan dicintai, memilih jodoh dan melakukan atau membentuk sebuah rumah tangga dengannya. Akan tetapi, sebagai negara hukum, tentu kebebasan dan HAM apapun tidak dapat diimplementasikan begitu saja, apalagi mengobrak-abrik norma-norma hukum agama yang dengan jelas telah digariskan oleh Al-Qur’an dan Hadits. Sebab perkawinan tidak hanya sekedar berkaitan dengan HAM, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, dan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang  sakinah, mawaddah, dan rahmah. Islam tidak hanya sekedar menganggap perkawinan sebatas hubungan perdata saja, melainkan implikasi dari perkawinan tersebut masih tersisakan pertanggung jawaban dihadapan Allah. Pertanggung jawaban ini tidak hanya sekedar hak melainkan kewajiban bagi semua umat manusia. Oleh karenanya konsepsi HAM jangan sampai diartikan setengah- setengah, konsepsi HAM harus disinergikan dan diintegrasikan dengan konsepsi hukum Islam agar terdapat keseimbangan secara obyektif dalam menilai norma-norma yang ada dimasyarakat.
            Dengan demikian, pencegahan kawin antar agama dalam Islam tidak dapat diasumsikan sebagai pelanggaran terhadap HAM, karena dalam UU No.39/1999 tentang HAM pasal 10 ayat (1) menyebutkan: Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan  keturunan melalui perkawinan yang sah. Yang dimaksud tdengan “perkawinan yang sah” adalah  perkawinan yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Sementara ketentuan UU No.1/1974 pasal 2 ayat (2) mensyaratkan bahwa: perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut  hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan ini bersifat obyektif dan inperatif. Ketentuan agar menghargai eksistensi hukum masing-masing agama juga terdapat dalam Konvenan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Oleh sebab itu, alasan apapun sangat disayangkan dengan dikeluarkannya Yurisprudensi No. 1400/k/Pdt/1986 yang menjadi ikon sahnya perkawinan antar agama tanpa memperhatikan norma-norma agama yang ada. Karena dengan demikan MA telah memberlakukan pasal 26 KUH Perdata yang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja dan syarat-syarat serta peraturan agama dikasampingkan.  Padahal pasal ini telah recall semenjak diberlakukannya UU No. 1/1974!! Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi, kendati membentuk sebuah rumah tangga merupakan hak semua manusia, akan tetapi tidak semuanya hak itu dapat diimplementasikan dan kemudian diakomudir dalam Yurisprudensi. Sebab dalam UU 45 mengenai hal untuk merealisasikan suatu hak digariskan dalam pasal 28 ayat (2) bahwa: dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak-hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntunan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keagamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Kewajban dalam pasal ini terdapat agar memprhatikan norma-norma agama menunjukkan bahwa keberadaan yurisprudensi tersebut semakin jelas ketidak tepatan dan bertentangan dengan ketentuan UUD 45 sebagai hirarki hukum tertinggi, dimana kita mengenal asas lex superior derogat lex inferior (hukum yang lebih tinggi derajatnya, membatalkan hukum yang lebih rendah derajatnya). Sementara pasal 29 ayat (2) UUD 45 hanya menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk  agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepecayaannya itu. Kata “menurut agamanya masing-masing” sudah memberi gambaran bahwa yang dimaksud ajaran agamanya masing-masing yang terdapat didalamnya ialah ketentuan agama itu sendiri, begitu juga dalam beribadah. Jadi tidak logis bila MA mengasumsikan telah terjadi kekosongan hukum tentang kawin antar agama. Bukankah  perkawinan dalam Islam merupakan salah satu ibadah yang disebutkan UUD 45 pasal 29 ayat (2)!! Dengan demikian MA telah menabrak dan mengitevensi ketentuan kebebsan menjalankan ibadah masing-masing agama yang telah dilindungi UUD 45 yang mana hal ini dapat dikatagorikan sebagai pelanggaran terhadap HAM.
            Konsepsi HAM yang  didomonasi kalangan intlektual barat memang  tidak semuanya salah dan benar. Tetapi dilain pihak mereka telah mendistoris sejarah, padahal sebelum diadakannya: Declaration of Human Right, Islam telah menjadi pelopor terderpan dalam memperjuangkan HAM. Namun bedanya, HAM dalam persefektif Islam tidak hanya berkaityan dengan masalah keperdataan saja, selebihnya Islam juga terdapat hak-hak untuk tidak menabrak norma-norma agama; diantaranya tentang sahnya perkawinan antar agama. Namun hal ini seakan telah  pudar akibat terkontaminasinya sebagian ummat Islam yang sengaja digiring terhadap kebutaan akan kewajiban dan tanggung jawab mereka guna mengikuti garis-garis ajaran agama. Untuk itu, masyarakat Islam dituntut agar inovatif menggali konsepsi HAM yang seirama dengan konsepsi Al-Qur’an dan Hadits, baik yang berkaitan dengan masalah sosio-budaya maupun hukum. Ini suatu tuntutan dan tanggung jawab bagi intelektual muslim dalam mengupayakan penyadaran ummat Islam atas konsepsi HAM yang telah disodorkan orang-orang kapitalis, agar mau membudayakan pola fikir kritis-obyektif terhadap hal-hal yang telah menjadi rialitas. Yang menjadi fenomina sekarang adalah tidak sedikit masyarakat Islam yang  bisanya hanya mengamini apa yang datang dari barat, terutama pola budaya berpakaian.

PENUTUP
            Menurut analisa hukum penulis, eksistensi putusan Mahkamah Agung No. 1400/k/Pdt/1986 yang mempresentasikan sebagai akibat terjadinya kekosongan hukum tidak tepat. Dengan demikian keberadaannya perlu dipertanyakan legalitasnya, mengingat secara teori tidak mungkin hanya sekedar putusan dapat mengalahkan atau mengenyampingkan substansi ketentuan pasal-pasal UUD 45 maupun UU No. 1/1974. Terlebih perkawinan dalam persepektif Islam merupakan salah satu yang mempunyai nilai ibadah yang mana hal ini pula telah dilindungi oleh UUD 45 untuk dapat dilaksanakan secara bebas tanpa ada campur tangan dari siapapun termasuk putusan MA. Sementara eksistensi putusan MA penulis anggap telah mengintervensi dan memprkosa ajaran Islam. Sebagai  pertanggung jawaban yuridis, tentunya MA mau mencabut putusan tersebut karena cacat secara hukum akibat bertentangan dengan ketentuan UUD 45 pasal 29 ayat (2).

Tidak ada komentar: