Sabtu, 18 Oktober 2014

PENDIDIKAN YANG MENJAMUR, PARADIGMA YANG TERKELUPAS 
(Sebuah Renungan Realitas Lembaga Pendidikan Indonesia) 

Oleh: 
SABUR MS, S.H.I, S. Pd, M.H
 Ahli Hukum Lulusan Magister Hukum Universitas Islam Malang

Selamat datang Kurikulum 2013 dan selamat tinggal Kurikulum 2006

Mungkin inilah kalimat yang pas untuk disampaikan pada tahun pelajaran 2014/2015. Ditengah ketidakpastian nasib kurikulum 2013 dan masih banyaknya sarana prasarana sekolah khususnya swasta yang belum memiliki sarana pendukung ini akan menjadi masalah tersendiri, belum lagi ditambah semakin menjamurnya lembaga pendidikan swasta sampai ditingkat RT. Konsep kurikulum 2013 yang sejatinya merupakan konsep masa depan untuk menghadapi persaingan dunia pendidikan global semakin hari
semakin dipertanyakan. Karena konsep yang dikemas dengan indah belum tentu memiliki paradigma yang bagus dalam konteks sinergitas dengan rialitas objektifitas lembaga pendidikan yang ada. Paradigma sebagai kerangka berfikir harus bermitra dengan konsep-konsep sebagai pengembangan dari paradigma itu sendiri. Semua itu tentunya tidak lepas dikeluarkannya UU tentang Guru dan Dosen yang memberikan “Air Conditioner” (AC) telah melahirkan “gairah masyarakat” untuk mendirikan lembaga pendidikan yang dibungkus dengan kata “perjuangan” dalam mengentas buta huruf yang konon masih banyak dimasyarakat. Respon imbas dari dinginnya “Air Conditioner” (AC) yang ditimbulkan oleh UU tentang Guru dan Dosen seakan menemukan intan berlian yang mendorong kita untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan. Tentunya hal tersebut sangat baik, karena akan membantu pemerintah dalam upaya pengentasan buta hurup di Negara ini apabila didukung dengan sebuah Paradigma yang berorientasikan terhadap rialitas diri secara objektif. Sementara ini apakah kita sudah termasuk didalamnya? Lagi-lagi kita akan terkepung oleh Paradigma itu sendiri. Sebagai bangsa yang besar yang memilki mimpi yang besar tentunya tidak hanya memilki konsep-konsep besar, tetapi harus dilandasi dengan paradigma yang kokoh sebagai ujung tombak dalam mewujudkan mimpi besar tersebut. Sementara ini, kita baru hanya memiliki konsep yang justru mengelupasi paradigma itu sendiri sehingga arah pembangunan pendidikan Indonesia baru sebatas diatas kertas yang tertata rapi di dalam loker lemari. Apakah masih relevan kita mengatakan “Indonesia Hebat”? Bukan Paradigma, Tapi Mimpi 
Konsep pembangunan pendidikan kita tidak boleh hanya berdasarkan pada pemikiran parsial yang dihasilkan dari sebuah mimpi dan sahwat belaka. Membangun Dunia pendidikan tidak hanya sekedar didasari apa adanya atau adanya apa. Sekarang kita ini berada diposisi yang mana? Apa adanya atau adanya apa? Sebuah pertanyaan yang cukup dijadikan renungan karena tidak membutuhkan jawaban. Pembangunan yang tidak memiliki paradigma akhirnya hanya akan berjalan tanpa orientasi yang terarah dan terukur. Hal tersebut hendaknya perlu diperhatikan oleh pemerintah sebagai jangkar dalam turut membangun pendidikan yang berkwalitas. Kesalahan orientasi terhadap pembangunan pendidikan dapat dirasakan bagaimana menjamurnya lembaga pendidikan sampai pada tingkat Rt, bahkan ditingkat Rt terbangun beberapa lembaga pendidikan sejenis. Padahal yang dibutuhkan sekarang tidak lagi kwantitas lembaga pendidikan melainkan bagaimana membangun kwalitas pendidikan yang berdaya saing dengan mekanisme pembinaan yang terarah dan terukur. Semakin menjamurnya lembaga pendidikan yang tidak terkontrol akan melahirkan persaingan yang tidak sehat dengan cara menjelek-jelekkan lembaga pendidikan yang lain. Mengapa demikian? Karena pola pembangunan lembaga pendidikan tidak dibangun dengan sebuah paradigma. Hal tersebut menunjukkan ketidaksiapan untuk bersaing sehingga berbagai cara dilakukan untuk memuaskan konsep “hawa nafsu” yang dibungkus dengan kata “perjuangan” dalam mencerdaskan generasi bangsa ini. Rialitas tersebut akan menjadi ancaman terhadap apa yang telah diamanatkan dalam UU no. 20 tahun 2003 Pasal 3 yang menitikberatkan terhadap pembangunan karakter akhlak mulia. Kalau cara-caranya sudah tidak berorientasikan terhadap pembangunan karakter akhlak mulia bagaimana mungkin kita akan mewujudkan suatu lembaga pendidikan yang akan melahirkan anak didik yang berkarakter akhlak mulia? Pada akhirnya yang menjadi korban tidak lain kecuali masyarakat. Terlebih secara konseptual masyarakat kita sebenarnya belum siap menghadapi semua itu dengan berbagai keterbatasan SDM-nya. Permasalahan ini sampai sekarang belum ada pemecahan bahkan tidak ada regulasi yang mengaturnya. Padahal fenomina tersebut bagian dari salah satu hamcurnya masyarakat baik segi sosial budaya, prilaku dan moralitasnya. Pembentukan karakter anak didik tidak hanya dilakukan pada saat dibangku sekolah oleh sebuah sistem formal, pembentukan karakter anak didik yang berorientasikan terhadap pembangunan moralitas masa depan harus dimulai dari diri pribadi seorang guru dan pengelola pendidikan tersebut. Jadi jangan salahkan anak didik bila suatu saat mereka menjadi anak yang tidak bermoral, melainkan harus ada evaluasi dan introveksi secara konprehensif terhadap pemangku pendidikan itu sendiri agar mau membuka “topeng” yang selama ini terbungkus dengan kata-kata dan senyuman yang berbisa. 
Lahir Sarjana Yang Bukan Sarjana 
Imbas dari lahirnya UU Guru dan Dosen tidak sedikit perguruan tinggi melahirkan prodak-prodak yang tidak layak menyandang sebuah kebanggaan akademik. Seperti menjamurnya program kelas jauh baik di didang program Strata Satu (S.1) maupun program Strata Dua (S.2) yang dilaksanakan apa adanya yang berorientasi terhadap adanya apa. Padahal program tersebut sudah dilarang dengan payung hukum Peraturan Menteri Pendidikan Nasionak terkecuali bagi Perguruan Tinggi yang telah Terakreditasi A. Alasan Menteri Pendidikan Nasional bukan tidak beralasan, karena keberadaan program kelas jauh prosesnya sangat sederhana dan juah dari standar kompetensi akademik sehingga hasil lulusannyapun akan menjadi dipertanyakan kwalitasnya. Mengapa demikian? Inilah yang penulis sebut bahwa orientasi pendidikan bangsa ini sebagian kehilangan paradigmanya sebagai jangkar dalam upaya mencetak generasi bangsa yang kuat dan bermartabat. Akibat dari hal tersebut, lulusan yang sering disebut “Sarjana” juga kehilangan arah, karena “titel” akademik yang mereka peroleh masih jauh dari standar proses yang diharapkan. Kompleksitas potret lembaga pendidikan bangsa ini tidak hanya bisa dibenahi dengan cara-cara konvensional dengan menitikberatkan terhadap pola manajemen yang bertumpuk terhadap dokumen-dokumen administrasi yang didesain dengan rapi. Proses pembinaan memerlukan suatu konsep yang jelas, terarah serta mempunyai tujuan yang lebih jauh kedepan dengan penerapan regulasi yang konsisten dan bertanggungjawab. Sebab pembentukan SDM yang sebenarnya akan ditentukan bagaimana paradigma perguruan tinggi dalam turut berpartisipasi mamberikan sumbangsihnya terhadap kemajuan bangsa ini dengan melahirkan kwalitas Sarjananya. Jangan sampai ada seorang bertitel Magister (Ahli) Pendidikan atau Magister (Ahli) Hukum justru tidak paham pendidikan dan hukum atau titel-titel akademik lainnya. Bila faktanya seperti itu imbasnya juga masyarakat yang menjadi korban. Jadi sangat rasional pada zaman sekrang ini bila orang-orang ingin melepaskan diri dari statusnya sebagai rakyat dengan cara mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, DPR, DPD, Bupati, Wali Kota, Gubernur bahkan Presiden sekalipun modal ledership dan keilmuannya masih jauh dibawah standar. Secara tidak langsung dapat kita katakan bahwa masyarakat sudah bosan bila selalu di politisasi. Pembentukan karakter yang menjadi jargon dunia pendidikan disemua tingkatan ternyata baru sebatas mimpinya orang yang sedang tidur pulas, indah tapi tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Salah satu penyebabnya adalah dissingkronisasi pemerintah, pemangku pendidikan dengan regulasi yang ada tidak berjalan secara maksimal. Akibatnya dunia pendidikan bangsa ini mengalami stagnan dan hanya berkutat pada wacana. Sekrang gelar akademik sudah tidak lagi berorientasikan terhadap nilai-nilai kompetensi, melainkan ibarat pakaian di pasar kaki lima yang diobral untuk sekedar dijadikan “pebalut” badan yang sedang kedinginan. Kendati demikian, tentunya tidak adil bila yang dijadikan objek kesalahan adalah masyarakat pemangku pendidikan. Kita harus melihat secara integral dan tidak bisa secara parsial. Karena kedua unsur antara pemerintah dengan masyarakat saling berkaitan yang dikemas dengan sebuah Peraturan Perundang-Undangan. 
Perlu Regulasi Yang Jelas 
Sementara ini bangsa kita belum memiliki mekanisme regulasi yang pasti, terarah dan orientatif terhadap pembangunan pendidikan jangka panjang. Akibatnya mungkin pada akhirnya tidak hanya dibidang ekonomi yang memerlukan undang-Undang Persaingan Tidak Sehat, di dunia pendidikanpun pada akhirnya diperlukan Undang-Undang Persaingan Tidak Sehat. Hal tersebut tidak tutup kemungkinan dimana negara ini berdasarkan negara hukum yang perlu mengatur segala aktivitas masyarakat dengan sebuah norma termasuk persaingan dalam masalah pendidikan. Tampaknya lucu, tapi penulis anggap hal yang biasa mengingat sebagian moralitas oknum pengelola pendidikan telah terjangkiti virus yang dapat membunuh karakter masyarakat secara pelan-pelan. Penataan pendidikan dengan penetapan regulasi pendirian suatu yang sangat mendesak yang mungkin sulit untuk ditunda lagi. Keterdesakan ini sebagai respon bahwa pendirian lembaga pendidikan akhir-akhir ini telah melengceng dari tujuan awal sebagai media dan sarana perjuangan dalam upaya menata moralitas generasi bangsa ini. Statemen ini mungkin suatu yang akan dianggap kontroversi, namun inilah sebenarnya fakta yang sejatinya tidak memerlukan jawaban secara terbuka. Penilaian ini tidaklah sulit untuk diprediksi, fakta ini dapat dijadikan suatu indikator dari pola-pola gerakan yang dilakukan oleh oknum-oknum dalam rekrutmen peserta didik baru. Pola-pola provokatif dengan menjelek-jelekkan lembaga lain suatu fakta bagaimana karakter jajjalisme untuk memecah belah masyarakat hanya demi kepentingan nafsunya sendiri. Potret ini mungkin tidak sesederhana yang kita lihat kemudian diopinikan suatu yang wajar sehingga diabaikan merusak sendi-sendi dunia pendidikan bangsa ini. Hal inilah yang kurang diketahui dan disadari oleh para pemangku kebijakan sehingga apa yang tersirat didalam UU no. 20 tahun 2003 Pasal 3 yang menitikberatkan terhadap pembangunan karakter akhlak mulia akan menjadi bomerang terhadap perjalanan sejarah pendidikan bangsa ini kedepannya. Mungkinkah kita kalah dengan manusia purba pada zaman prasejarah (zaman batu tua?) yang memiliki pola fikir serta selalu berusaha meninggalkan jejak sejarah yang baik sesudah meninggal.!! Tentu jawabannya tidak! Sudah saatnya pemerintah mengubah pola kebijakan terkait dengan perdirian suatu lembaga pendidikan. Mengubah dalam kanteks bahwa bukan berarti tidak lagi memberi peluang bagi masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam mencerdaskan generasi bangsa ini, melainkan penulis maksud adalah ada penekanan orientasi dengan mengedepankan aspek-aspek penataan dan pembinaan lembaga pendidikan yang ada secara kontinu dan terarah. Sementara akhir-akhir ini, proses pendirian lembaga pendidikan masih bersifat subjektif, non orientatif dan tidak memiliki konsep yang jelas. Ibaratkan mendirikan lembaga pendidikan sebagai lahan dan perusahaan untuk menampung keluarga agar dapat memiliki status sosial sebagai “Pekerja Guru”. Tentunya itu bukan hal yang salah, tetapi perspektifnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Lembaga pendidikan membutuhkan paradigma, konsep yang utuh dengan bertitikberatkan terhadap kwalitas dan moralitas baik dari segi proses implementasi dan proses pra implementasi yang perlu pemahaman secara terintegrasi, tidak parsial. Proses ini masih mengalami kekeringan terhadap sebagian lembaga pendidikan bangsa ini terutama yang berbasis swasta. Maka pembinaan secara terarah, terstruktur dan terprogram terhadap lembaga pendidikan harus lebih dimaksimalkan termasuk membina agar dalam suatu proses dapat menjaga serta mengedepankan etika sebagai tonggak moral. Kalau tidak mau, ya dibubarkan aja lembaga pendidikan tersebut. Masalahnya bangsa ini membutuhkan lembaga pendidikan yang menjadi suritauladan bagi masyarakat bukan malah menjadi virus dalam masyarakat dengan cara meracuni dan memprovokasi masyarakat sehingga menjadi terbelah antara masyarakat itu sendiri. Mungkinkah hal ini terjadi atau bahkan kita sudah menjadi bagian dari itu? 
Kesimpulan 
Kesimpulan dari renungan diatas, penulis berharap lembaga pendidikan bangsa ini akan menjadi salah satu solusi terhadap permasalahan bangsa ini, tentunya bila didukung dengan kinerja serta aspek moralitas semua unsur didalam dunia pendidikann tersebut. Problem bangsa ini sudah cukup pelik, sementara yang diharapkan untuk mengatasi hal tersebut adalah dunia pendidikan yang mendidik, bukan pendidikan yang justru menjadi bagian masalah. Mari kita jadikan lembaga pendidikan bangsa ini sebagai bagian dari solusi berbagai masalah, jangan lembaga pendidikan bangsa ini justru dijadikan sumber masalah. Doc/15/10/2014

Tidak ada komentar: