Minggu, 04 Agustus 2013

PUASA DALAM PERSPEKTIF SEHARI-HARI

Oleh: 
SABUR MS, S.H.I, M.H



Pendahuluan
Bulan Ramadlan adalah bulan yang identik dengan kewajiban berpuasa bagi umat Islam. Pemaknaan puasa bagi masyarakat cenderung diartikan sebuah perbuatan yang tidak makan dan minum pada siang hari. Pemaknaaan yang sangat sederhana ini merupakan pengertian umum yang telah mngakar disegenap lapisan masyarakat. Dengan pengertian puasa yang cukup sederhana tersebut, masyarakat muslim mudah mengimplementasikan bagaimana cara ketika tiba datangnya bulan Ramadlan. Semua tempat-tempat ibadah, musolla maupun masjid penuh dengan semarak lantunan kalamulloh sehingga suasana Ramadlan sangat indah dan menyejukan hati. Terlepas dari semua itu, apakah benar puasa hanya sekedar menahan lapar dan dahaga seperti yang diartikan oleh masyarakat pada umumnya?
Yang Tersisa dalam Puasa
Semua orang akan selalu bermimpi akan besarnya pahala yang akan diperoleh sehingga surga seakan sudah ada dihadapannya. Hal yang demikian bukan suatu kesalahan, berharap sesuatu yang ia lakukan merupakan suatu yang wajar termasuk menharap pahala bagi orang yang melakukan ibadah puasa. Akan tetapi, apakah harapan besar yang mereka angan-angankan sudah sesuai dengan hakikat substansi Ibadah Puasa tadi? Menahan makan dan minum hanya bagian dari substansi Ibadah Puasa. Tujuannya agar orang-orang yang mampu dapat merasakan bagaimanan susah payahnya menahan rasa lapar bagi orang miskin ketika tiada makanan yang akan dimakan. Hikmah dari hal tersebut diharapkan akan menimbulkan kepekaan sosial yang lebih mendalam bagi orang yang mampu secara ekonomi untuk berbagi dan peduli terhadap masyarakat yang lemah dalam segi ekonomi. Akan tetapi, melakukan ibadah puasa yang hanya bertumpu pada katahanan menahan lapar dan dahaga sangatlah tidak cukup bahkan masih jauh dari substansi Ibadah Puasa tersebut. Melainkan bagaimana nilai ibadah puasa yang dilakukan dapat memberi nilai yang lebih substantif, yaitu menahan diri dari segala bentuk perbuatan yang dapat membatalkan nilai atau pahala puasa tersebut. Menahan lapar dan dahaga hanya merupakan syarat formal yang dapat dikategorikan ibadah puasa itu sah. Syarat formal tidak akan memberi nilai lebih bila tidak diiringi dengan syarat materiil yang terkandungnya. Apa itu syarat materiil dalam puasa tersebut? Syarat materiil dalam melakukan ibadah puasa adalah bagaimana kita dapat menghindari perbuatan-perbuatan yang dapat menghilangkan pahala puasa. Seperti contoh, kita disuruh mencangkul lahan tapi tidak diberi pahala apakah kita mau? Tentunya tidak.!!! Sekalipun melakukan ibadah puasa tidak sama dengan orang mencangkul, akan tetapi motivasi orang untuk melakukan ibadah puasa tidak hanya semata-mata karena adanya ancaman sisksaan dari Alloh melainkan pahala besar yang Alloh janjikan akan menjadi motivasi tersendiri. Hal itu tidak bisa dipungkiri. Dan hal tersebut memang janji Alloh kepada orang yang melakukannya yang tidak akan Alloh ingkari. Realitas ini memebrikan hikmah pada kita semua bahwa sebelum berharap pahala besar dari ibadah puasa yang dilakukan, baiknya intropeksi diri lebih jauh; apakah ibadah puasa kita sudah memenuhi syarat materiil(?) Bila ibadah puasa yang kita lakukan hanya bersifat serimonial (tidak makan dan tidak minum) maka kita akan terbak terhadap kesederhanaan pengertian tentang ibadah puasa itu sendiri. Kaitannya dengan hal ini, kita cenderung menjaga bagaimana perut tidak di isi bentuk makanan apapun. Tetapi kita tidak mampu menjaga kemurnian ibadah puasa dengan mengunci “mulut dan hati” untuk tidak berbuat hal-hal yang dilarang Alloh, seperti menggunjing, memfitnah, hasud, dengki dan lain sebagainya. Hal itulah yang cenderung kita lupakan, padahal perbuatan tersebut dapat menguburkan mimpi-mimpi yang diharapkannya. 
Puasa Seutuhnya
Oleh sebab itu, agar harapan dan mimpi yang diharapkan dalam melakukan Ibadah Puasa tersebut kita harus mampu mengartikan ibadah puasa secara konprehensif. Artinya puasa tidak hanya di identikan dengan menahan lapar dan dahaga, puasa merupakan bentuk amaliah yang diwajibkan untuk dilakukan oleh segenap unsur-unsur yang ada pada diri anggota badan manusia. Mulai dari mulut, mata, hati, tangan, kaki dan lain sebagainya. Artinya kita ketika melakukan ibadah puasa harus seutuhnya, sehingga semua unsur yang terdapat pada anggota badan saling mendukung antara satu sama yang lain. Seperti “mulut’ harus mendengar bagaimana rintihan “perut” karena menahan lapar sehingga “mulut” jangan sampai melakukan perbuatan maksiat yang dapat merusak nilai pahala ibadah puasa. Begitu juga unsur badan yang lain. Kesenergian inilah yang nantinya akan mendapat namanya “pahala puasa”, tanpa demikian kita hanya melakukan suatu perbuatan yang bersifat serimonial yang miskin dari nilai-nilai pahala ibadah puasa itu sendiri. Apa ini yang kita harapkan dalam ibadah puasa kita.!! Dalam Puasa ada dua bentuk kata mem-Batal-kan: 1. Membatalkan Puasa dan Pahalanya Membatalkan puasa dan pahalanya apabila kita melakukan tindakan yang memasukan makanan kedalam perut pada waktu siang. 2. Membatalkan nilai pahala Puasa Sementara membatalkan nilai pahala puasa adalah perbuatan-perbuatan maksiat yang kita lakukan selama melakukan ibadah puasa. Seperti korupsi dll. Dua persepektif tersebut secara hukum ada pebedaannya, namun secara substansinya kedua bentuk kata “membatalkan” saling berkaitan sehingga tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling melengkapi, ibarat suami istri yang selalu saling “memberi” terhadap kekurangan masing-masing. Sungguh indah sekali bila hal tersebut bisa kita lakukan dan kita artikan secara baik sehingga kita akan mendapat dua keuntungan; keutungan dunia dan keuntungan akhirat. Ibadah Puasa terasa nikmat bila dapat kita lakukan seutuhnya. 
Penutup
Sebagai kata penutup, mari kita renungi apakah ibadah puasa yang kita lakukan selama sebulan ini telah memenuhi unsur darI syarat-syarat yang diuraikan diatas(?) Hanya kita sendirlah yang bisa menjawabnya secara objektif. Wallohu a’lam bissowaf.. Malang, 04 Agustus 2013.

Tidak ada komentar: