Kamis, 20 Februari 2014

MOMENTUM IMPLEMENTASI KURIKULUM 2013 UNTUK MEWUJUDKAN MIMPI-MIMPI YANG TERABAIKAN

Oleh: SABUR MS, S.H.I., M.H 


Pembinaan, Pengawasan dan Visi Misi Kepala Sekolah bagian tak terpisahkan dari sistem Pendidikan.. Setiap perubahan kurikulum selalu menimbulkan pro dan kontra baik dari kalangan politisi, masyarakat dan pengelola pendidikan. Fenomina tersebut ibarat suatu yang wajar mengingat potret demokrasi identik dengan perbedaan sehingga pemerintah terus berjalan sesuai dengan keyakinan Ijtihadnya.
Secara substantif, setiap perubahan kurikulum yang dilakukan pemerintah tentu mempunyai niat dan angan-angan yang lebih baik kedepannya dan itu tidak disalahkan menurut Hukum. Akan tetapi niat dan angan-angan yang baik tidaklah cukup hanya sekedar dirubah “tema kurikulumnya” sementara proses implementasinya masih tetap mengalami stagnan. Proses Pembinaan dan Pengawasan Perubahan sistem kurikulum selalu berjalan pincang dalam proses implementasinya, kepincangan tersebut berkaitan dengan proses pendukung dari kurikulum itu sendiri. Proses pendukung sangat menentukan keberhasilan setiap “pergantian” kurikulum yang selalu di desain dengan cantik. Pendukung proses implementasi yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan SDM yang kurang memadai. Karena keterbatasan SDM yang selama ini dijadikan kambing hitam bukan permasalahan yang fundamintal sebagai satu-satunya tolak ukur keberhasilan dan kegagalan dari setiap pergantian kurikulum. Melainkan yang paling fundamintal adalah proses pembinaan dan pengawasan dari setiap implementasi kurikulum tersebut. Sebagai penjangga dari semua bentuk program, proses implementasi pembinaan dan pengawasan tidak hanya sekedar asal dilaksanakan untuk memenuhi tuntutan peraturan yang ada, proses tersebut membutuhkan komitmen dari perangkat pelaksana sebagai ujung tombak. Oleh sebab itu, proses pembinaan dan pengawasan harus benar-benar berjalan mulain dari pusat sampai tingkat kabupaten dan kota sehingga objeknya tidak hanya pengelola sekolah melainkan disemua tingkatan saling memberikan evaluasi dan penilaian secara objektif. Ini merupakan sebuah mimpi yang diharapkan menjadi kenyataan sehingga angan-angan untuk menjadikan lembaga pendidikan yang berkwalitas dan berdaya saing dapat diwujudkan. Proses pembinaan dan pengawasan yang berjalan hanya bertumpu kepada penilaian administratif yang dipenuhi dengan aneka macam pewarna sehingga tampak cantik dan bersih sehingga membuat semua terpesona. Dunia pendidikan kita selalu dibayangi dengan mimpi-mimpi besar akan tetapi tidak serius mempermasalahkan proses pembinaan dan pengawasannya. Yang sering menjadi permbicaraan justru masalah kesejahteraan, masalah bantuan, masalah anggaran dll. Manusia tidak akan pernah merasa sejahtera, karena kesejahteraan tidak bisa sekedar diukur dengan seberapa besar gaji yang diterima melainkan sejauhmana rasa “tasyakur”-nya kepada Alloh sebagai dzat pemberi rezeki. Contoh program sertifikasi guru yang tengah berjalan, apa yang didapatkan dari program tersebut? Ternyata tidak membawa perubahan signifikan terhadap kwalitas pendidikan kita.! Yang ada justru berlomba-lomba bagaimana bisa masuk dan lolos sertifikasi sementara bagaimana lembaga pendidikan yang berkwaliatas hanya dijadikan pemikiran dan bahan pemoles di kerta putih saja. Potret ini mengingatkan kita betapa mudahnya seseorang terkesima oleh sebuah kecantikan semu sehingga tidak mampu membedakan dan memposisikannya. Kecantiakan dalam konteks pengelolaan dan implementasi sebuah lembaga seharusnya tidak bertumpu kepada aspek formal yang justru sering menjebak kita kepada sesuatu yang menjadi inti dari penilaian tersebut. Rendahnya Kinerja Kepala Sekolah Disamping maksimalisasi proses pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga pendidikan, seorang kepala sekolah merupakan ujung tombak terakhir dalam mensukseskan setiap implementasi kurikulum pendidikan. Oleh sebab itu, pemerintah seharusnya melakukan kerjasama yang baik dengan lembaga atau yayasan yang menaunginya. Kerjasama ini dapat dilakukan berupa pemberian pemahaman tentang bagaimana membangun sistem pendidikan yang berkwalitas. Membangun lembaga pendidikan yang berkwalitas harus dimulai dari rekrutmen kepala sekolah itu sendiri, mulai dari visi misi, kemampuan dan target yang akan dicapai selama menjabat. Kepemimpinan tidak bisa hanya difokuskan kepada sarjana tertentu, karena kepemimpinan berkaitan dengan pemikiran atau gagasan-gagasan yang memiliki orientasi terhadap kemajuan lembaga tersebut. Maksimalisasi peran kontrol yayasan sebagai penaung terhadap lembaga pendidikan sangat membantu proses pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah sebagai baromiter perkembangan sustu lemabaga pendidikan. Kerjasama seperti tersebut diatas belum sama sekali dilakukan oleh pihak pemerintah. Sehingga tidak sedikit, yayasan hanya diposisikan sebagai tukang stempel dan tidak melaksanakan tugas kontroling yang telah menjadi keajibannya. Hal ini dikarenakan pihak yayasan tidak mengetahui fungsi yang sebenarnya, sementara pihak pemerintah tidak menyentuh apalagi memperhatikan eksistensi yayasan sebagai penaung sustu lembaga pendidikan. Akibatnya, rekrutmen kepala sekolah tidak didasari kepada kemampuan, tetapi berorientasi kepada terhadap hubungan nasab kekeluargaan. Kendati dalam Undang-undang tidak dilarang, akan tetapi proses pendidikan yang berkwalitas tidak bisa dibangun dengan asas tersebut. Terlebih pendidikan berkaitan dengaan masa depan siswa/i untuk mencapai tujuan yang diimpikannya. Maka dari itu, paradigma terhadap pengelolaan pendidikan perlu diperbaiki dan dikembangkan agar bisa menjadi pijakan. Jangan paradigma “Ikhlas” yang diwariskan oleh para ulama’ kemudian dikotori dengan paradigma “materi” yang bersifat pragmatis. Sebab sifat pragmatisme hanya akan mewariskan instanisasi dalam upaya memperoleh suatu tujuan yang kerap mengabaikan nilai-nilai etik serta tujuan awal didirikannya pendidikan itu sendiri. Penataan Mental Sebagai bagian dari “sub sistem” dari pendidikan, maka pembinaan dan penataan mental moral bagi semua unsur yang terlibat harus dianggap sebagai sub sistem yang harus dilakukan dengan target maksimal. Prof. Dr. H. M. Mahfud MD dalam suatu diskusi disalah satu stasiun telivisi mengatakan bahwa permasalahan bangsa ini tidak lagi bergantung pada sistem, melainkan pada aspek moralitas manusianya. Moralitas tentunya sangat erat kaitannya dengan masalah-masalah spiritual religius setiap manusia sebagai fundamin dalam mengontrol prilaku manusia. Sementara sistem hanya bagian terkecil dalam upaya mengontrol prilaku manusia secara dhohir. Kontrol terhadap prilaku manusia tentunya kurang relevan bila hanya bertumpu pada sisi dhohirnya, sementara dari aspek moral religiusnya diabaikan. Padahal awal perbuatan manusia tidak akan begitu saja direalisasikan bila tidak ada dorongan dari dalam (hati sanubari), sementara hati sanubari akan dapat memancarkan sinyal positif bila dibangun dengan pondasi spritual religius yang mencukupi. Konsep ini merupakan pola sistem pembinaan dan pengawasan secara integratif sehingga diharapkan manusia dapat melatih dirinya agar bisa belajar malu dan takut kepada Alloh, bukan takut kepada penegak hukum seperti Polisi, Kejaksaan maupun KPK. Akibat garingnya nilai-nilai moral religius yang di miliki, maka tidak jarang para pejabat Negeri ini terjebat pada perbuatan syirik kepada Alloh. Mengapa harus terjadi demikian(?) mungkin permasalahannya tidak sesederhana yang kita fikirkan, akan tetapi realitas ini perlu mendapat perhatian serius mengingat kondisi aparatur negara ini sudah mengami krisis berkepanjangan yang belum ditemukan solusinya. Sisa mimpi ini merupakan bagian dari permasalahan bangsa ini yang perlu mendapat perhatian untuk mencapai dan membawa lembaga pendidikan bangsa ini yang benar-benar memiliki daya saing dan disegani oleh bangsa lain.
Doc. 12 Januari 2014

Tidak ada komentar: