Rabu, 12 November 2014

PRESIDEN JOKO WIDODO VS UPORIA “MASYARAKAT” 

Oleh: SABUR MS, S.H.I., M.H 
Ahli Hukum Lulusan Magister Hukum Universitas Islam Malang 

Kita rakyat Indonesia sudah sepantasnya mengucapkan Selamat kepada Bapak Ir. H. Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia. Mengamati sejarah disetiap pergantian Presiden, masyarakat selalu mengharapkan yang lebih baik dari sebelum-sebelumya. Harapan baru yang lebih baik dikarenakan adanya kekurangan-kekurangan yang belum sempat tersentuh secara maksimal oleh pemerintah yang sebelumnya. Suatu yang sangat manusiawi dimana manusia tidak bisa lepas dari selimut tebalnya berupa sifat kekurangan yang dimilikinya. 
Harapan dan Mimpi 
Antusiasme masyarakat terhadap dilantiknya Ir. H. Jako Widodo sebagai Presiden RI dapat diindikasikan sebagai wujud betapa besarnya harapan masyarakat kedepan yang lebih baik. Harapan masyarakat kecil tidaklah berlebihan bahkan harapan yang diinginkan tentu sanagat sederhana, yaitu perbaikan ekonomi yang dapat mendongkrak tarap kehidupannya. Harapan yang melampaui batas yang diekspresikan mungkin sebagai wujud betapa lelahnya masyarakat terhadap potret politik Bangsa ini yang penuh dengan sandiwara dan sinetron kejar tayang, yaitu kebijakan pragmatif dan sepi dari orientatif sering tidak menyentuh terhadap substansi kebutuhan masyarakat. Mungkin darama politik bangsa ini tidaklah sama dengan sinetron-sinetron yang ada ditelevisi, tetapi apabila kita amati tahapan proses yang bersifat pragmatif kemungkinan sulit dapat dibedakan. Letak kesamaannya terdapat pada dua unsur: pertama mungkin berkaitan dengan keuntungan; dan yang kedua berkaitan dengan kematangan dalam mempersiapkan naskahnya. Oleh sebab itu, antusiasme masyarakat yang cukup besar ini janganlah diapresiasi sebagai wujud kegembiraan semata tanpa ada keinginan besar yang diharapkannya. Pesta rakyat yang dilakukan oleh sebagian masyarakat sebagai simbol dan hak kedaulatannya yang dipercayakan kepada sang Presiden. Kita semua harus peka dan menfsirkan keinginan rakyat tanpa harus terikat dengan motode tafsir apapun. Karena kebutuhan dan harapan rakyat adalah fakta, bukan mimpi yang sering disuguhkan oleh polisi Negara ini. Harapan bahkan mimpi yang begitu besar dari masyarakat ini memberikan isyarat bahwa perubahan fundamintal berkaitan dengan masa depan kesejahteraan masyarakat menjadi harapan dan mimpi terbesar. Oleh sebab itu semoga Presiden Joko Widodo beserta para pembantunya benar-benar dapat memahami dan menterjemahkan dalam sebuah keputusan politik berupa kebijakan yang pro rakyat. Kebijakan secara obyektif yang berorientasi terhadap kesejahteraan masyarakat harus mempunyai master plan yang jelas dan terarah jauh kedepan, bukan sebuah kebijakan yang hanya berorientasikan terhadap kepentingan politik sesaat. Masyarakat tidak lagi membutuhkan “masakan siap saji”, melainkan masyarakat membutuhkan “peralatan yang dapat digunakan” masakan siap saji yaitu modal usaha. 
Uporia: Kultur Lima Tahunan 
Sudah menjadi tradisi dimana setiap adanya pergantian Presiden baru selalu muncul harapan baru dengan menampilkan ekpresi kegembiraan yang berlebihan. Menyajikan ekspresi dengan kegembiraan yang berlebihan bukan suatu yang dilarang dalam sistem hukum Indonesia, tetapi jangan sampai harapan dan mimpi yang begitu besar tersebut justru menjadi bom waktu untuk meratapi nasib yang akan berakhir dengan sebuah kekecewaan. Oleh karenanya, uporia yang dimulai dengan kebahagiaan dengan harapan dan mimpi yang besar tidak jarang justru sebaliknya menjadi kultur “kekecewaan” lima tahunan juga. Sebab uporia yang di publikasikan di media-media masa dan elektronik bukan sebagai gambaran dari masyarakat itu sendiri, melainkan hanya sebatas uporia atas kemenangan dari sebuah pendukung dan simpatisan saja. Kegembiraan yang berlebihan tidak dilahirkan dari masalah substantif, uporia dilahirkan hanya dari rasa kepuasan “nafsu” atas kemenangan seseorang yang dianggap Jago-nya. Kerena demikian, uporia terhadap kemenangan dari hasil Pemilu (apaun bentuknya) ibaratkan sebuah pertandingan antar masyarakat itu sendiri. Memang hal tersebut tidak dilarang, karena uporia apapun bentuknya merupakan hak asasi dari semua masyarakat Indonesia sebagai imbas dari kebebasan dalam menentukan pilihannya. Dari sinilah kemudian pesta “uporia” dijadikan ajang lima tahunan disetiap berakhirnya Pemilu yang penulis sebut sebagai “kultur lima tahunan”. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, memang Bangsa Indonesia banyak mendapat pujian dari negara besar. Pujian tersebut karena adanya perspektif bahwa masyarakat yang tergolong masih labil dan belum mengetahui roh arti demokrasi itu sendiri tetapi dapat menjalankan dengan baik, sehingga potret ini menggambarkan kematangan bangsa kita dalam berdemokrasi dapat dijadikan salah satu contoh oleh dunia lain. Itulah yang sampaikan oleh Presiden Negara Adidaya Amerika Serikat Barak Husen Obama. Tapi ada pertanyaan, apakah benar opini tentang kematangan Bangsa dalam berdemokrasi? Kalau menurut penulis, potret demokrasi yang tengah berjalan di Negara kita ini bukan bentuk kematangan, melainkan potert masyarakat kita masih lugu, polos dan jujur sehingga mereka mudah dipolitisasi oleh para politisi bangsa ini. Masyarakat sudah menjadi langganan diakalin oleh para pemimpin bangsa ini melalui orasi kampanyenya dengan segudang janji-janji yang terkadang tidak rasional.! Andai masyarakat kita sadar dan matang berdemokrasi, apakah layak mereka di kibuli disetiap pelaksanaan Pemilu? Lalu apakah layak kita mendapat pujian dari Negara lain? Tentunya tidak. Oleh sebab itu, pujian-pujian dari negara luar terhadap pelaksanaan demokrasi bangsa ini sepatutnya perlu direvieu untuk dikaji terhadap objektivitasnya. Pujian yang terkadang menyimpan sebuah misteri terselubung membuat seseorang akan melupakan jati dirinya sendiri yang sebenarnya, sehingga membuat orang terbuai dan tidak berdaya ketika melihat sebenarnya akan terjadi. 
Penutup 
Kesimpulan dari uaraian diatas, penulis memiliki harapan besar agar Pemerintahan Presiden Ir. H. Joko Widodo benar-benar merealisasikan “reformasi mental” dengan lebih mengoptimalkan pendidikan politik terhadap masyarakat. Bangsa ini tidak hanya membutuhkan reformasi sistem, selebihnya bagaimana permasalah fundamintal bangsa ini dapat dicermati, diamati untuk dicarikan solusi konkritnya.

Tidak ada komentar: