Selasa, 07 Oktober 2014

Buntut Polemik UU Pilkada, Koalisi Merah Putih vs Koalisi Indonesia Hebat 

Oleh: SABUR MS, S.H.I, M.H 
Ahli Hukum Lulusan Magister Hukum Universitas Islam Malang 

Drama politik tentang UU Pilkada yang baru disahkan oleh DPR sepertinya tidak hanya akan berhenti di palu Ketua DPR RI, palu Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung sepertinya harus turut ikut ambil bagian dalam upaya untuk menemukan ke absahan UU Pilkada tersebut. Kedua lembaga tinggi negara tersebut sekarang menjadi salah satu pusat perhatian setelah seminggu ini bertumpu pada “nyanyian-nyanyian” DPR disenayan. Siapakah yang berhak menangani polemik UU Pilkada ini?
Melihat Pokok Masalah 
Permasalahan hukum berkaitan dengan pokok yang dijadikan suatu perkara. UU Pilkada yang baru di sahkan oleh DPR RI masih menyisakan masalah berkaitan dengan proses Pemilihan langsung dan tidak langsung. Serpihan masalah hukum ini berkaitan dengan kata “demokrasi” yang mengundang banyak tafsir dengan berbagai argumentasinya. Tafsir jalanan yang tengah marak tentang kata “deokrasi” sedikitnya akan membawa dampak legalitas suatu prodak hukum yang telah ditetapkan sebagai UU. Terlepas dari hiruk pikuk dilapangan, maka perlu dianalisis benarkah UU Pilkada yang baru disahkan perlu di yudiciel review atau yudiciel konstitusi? UUD 1945 Bab VI Pasal 18 ayat (4) hanya menyebutkan bahwa: Gubernur, Bupati dan Wali Kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, dan dipilih secara demokratis. Kata demokratis banyak yang mengertikan suatu proses langsung yang menitikberatkan terhadap keterlibatan langsung masyarakat sebagai pemegang kedaulatan. Namun disisi yang lain memahami kata “demokrasi” tidak harus ditafsirkan sebagai proses dengan keterlibatan langsung masyarakat. Argumen tersebut didasari sistem pemerintahan kita yang manganut sistem keterwakilan. Oleh sebab itu, demokrasi dalam konteks Pilkada dapat dipilih langsung oleh anggota DPRD sebagai justifikasi masyarakat itu sendiri. Perbedaan tefsir terhadap UUD 45 Pasal 18 ayat (4) tentang “demokratis” menurut penulis bukan masalah ada dan tidaknya pertentangan pada sistem pemilihan kepala daerah yang baru di sahkan dalam UU Pilkada. Hal ini merujuk tiadanya pengertian kata “demokratis” yang menyebutkan adanya pemilihan langsung atau pemilihan melalui sistem demokrasi perwakilan melalui DPRD, melainkan yeng terjadi lebih cenderung pada masalah keyakinan argumentasi dan angin politik yang berhembus pada saat ini. Proses Hukum Lebih Lanjut Melihat argumentasi dari pihak yang merasa kalah dalam proses penetapan UU Pilkada menganggap masih ada sela hukum yang dapat mewujudkan keinginannya, yaitu melalui Judiciel Konstitusi ke Mahkamah Konstitusi. Anggapan ini tentu sangat wajar mengingat perbedaan tafsir terhadap UUD 45 Pasal 18 ayat (4) tidak dapat dibatasi oleh norma apapun. Namun yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah benar UU Pilkada yang baru di sahkan ada norma yang bertentangan dengan UUD 45 Pasal 18 ayat (4) sehingga MK harus mengotori palunya? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat tugas pokok atau kewenangan Mahkamah Konstitusi secara jernih sebagai gerbang terakhir dalam mencari “keadilan” politik hukum di Negara ini. Sebab kekurang jernihan dalam melihan tugas atau kewenangan Mahkamah Konstitusi terkadang memunculkan opini publik seakan-akan yang disalahkan lembaga MK itu sendiri. Untuk lebih mengetahui apakah polemik UU Pilkada layak diajukan ke MK, maka perlu dipahami Pasal 10 ayat (1) huruf (a). Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menguji dalam hal ini yaitu berkaitan dengan ada dan tidaknya suatu UU bertentangan dengan UUD 45. Dari ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) memberikan pemahaman bahwa disamping keputusan MK bersifat final dan mengikat, akan tetapi MK tidak boleh memberikan Putusan yang melebihi kewenangannya, yaitu membuat norma baru. Terlepas apa itu benar atau tidak, langkah hukum yang akan diambil oleh para pihak civil sociaty ke Mahkamah Konstitusi harus dianggap sebagai suatu proses pendidikan hukum yang sedang berjalan di Negara ini. Artinya semua harus menghargai karena itu adalah suatu hak setiap warga negara dalam upaya mewujudkan impian keadilan sesuai dengan keyakinannya. Sebagai negara yang demokratis, kita harus mampu membangun opini publik yang bersifat mendidik dengan menghargai segala hak konstitusional warga negara ini. Janganlah masyarakat dijadikan bahan pembodohan dengan cara menggiring kearah budaya syu’udhon, karena hal tersebut sangat jauh dari konsep bersosio-budaya yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. 
MK Tidak Berwenang Menguji UU Pilkada? 
Kalau mengatakan bahwa MK tidak memiliki wewenang menguji UU Pilkada, maka ada dua hal yang perlu dipahami yaitu: Pasal 18 ayat (4) UUD 45 dan UU MK Pasal 10 ayat (1) huruf (a). Kedua pasal dalam perundang-undangan ini memiliki kesinambungan karena berkaitan dengan pokok materi dan kewenangan sekalipun berbeda secara hirarki. Pasal 18 ayat (4) UUD 45 misalnya berkaitan dengan pokok materi dalam norma UU Pilkada, pokok materi sebagaimana disebut adalah berkaitan ada dan tidaknya pertentangannya, sementara UU MK Pasal 10 ayat (1) huruf (a) berkaitan dengan masalah kewenangan MK itu sendiri. Kalau memang UU Pilkada ditafsirkan bertentangan dengan UUD 45 itu masih baru tahap penafsiran tekstual, maka belum tentu dapat dibenarkan secara kontekstual. Sebab “kata Demokratis” yang terdapat dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 45 masih berbentuk amvibalen. Berbeda dengan pemilihan presiden dan wakil presiden yang secara jelas disebutkan dengan “Pemilihan Langsung”. Kata “demokrasi” dengan kata “Pemilihan langsung” yang terdapat dalam UUD 45 tentunya tidak hanya sekedar permainan bahasa, melainkan memilki kandungan makna tersendiri yang tidak secara general dapat disamakan. Karena dalam leteratur manapun, makna demokrasi lebih kepada pengertian suatu kegiatan yang bersifat terbuka dan tidak menutup-nutupi dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Kemudian bagaimana dengan mekanisme pemilihan lewat DPRD, apakah dapat dijustifikasikan sebagai sebuah tindakan yang tidak demokratis dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat? Tentunya tidak semudah itu kita menafsirkan bahwa kata “Demokratis” adalah suatu proses pemilihan yang tidak melibatkan langsung masyarakat, melainkan harus dilihat secara konprehensif mulai dari system ketatanegaraan yang dianut bangsa ini yang berimplikasi terhadap implementasinya. Melihat uraian diatas, sekalipun tidak secara langsung saya mengatakan bahwa MK tidak berwenang menguji UU Pilkada karena masih lemahnya argumen yang mengatakan bahwa telah terjadi pertentangan dengan UUD 45, akan tetapi jika Pasal 18 ayat (4) UUD 45 di analisis dengan keberadaan Pasal 10 ayat (1) huruf (a) sepertinya tidak ada celah hukum bagi MK untuk menangani masalah ini. Artinya, polemik UU Pilkada bila di bawa ke Mahkamah Konstitusi bukan suatu langkah tepat karena 99% MK akan menolaknya. 
Peratuara Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) 
PERPPU memang salah satu mekanisme hukum yang dilindungi oleh UUD 45 yang diberikan kepada Presiden sebagai inisiator, akan tetapi PERPPU membutuhkan kalkulasi politik di DPR. Hal ini disebutkan dalam UUD 45 Pasal 22 ayat (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang. Kemudian dalam ayat (2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Selanjutnya dalam ayat (3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut. Jadi secara politik, penyelesaian polemik UU Pilkada melalui mekanisme Perppu belum akan bisa menyelesaikan permasalahan dalam waktu singkat. Karena ketentuan UUD 45 Pasal 22 ayat (3) bersifat mengikat terhadap Presiden sehingga tidak terlalu banyak memberikan ruang terhadap peluang akan diterimanya Perppu oleh DPR yang mayoritas dikuasai oleh Koalisi Merah Putih. Tidak hanya permasalahan politik disenayan, mengeluarkan Perppu saya kira juga tidak cukup kuat argumentasi hukumnya. UUD 45 sendiri menyebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa...... pertanyaannya, sejauhmana “kegentingan yang memaksa” terkait polemik UU Pilkada? Kalau memang polemik UU Pilkada dianggap “kegentingan yang memaksa” tentunya berkaitan dengan masalah keamanan dan masa depan Negara dan hal tersebut juga harus atas persetujuan DPR.! Kalau memang “kegentingan yang memaksa” merupakan hak subjektifitas Presiden, apa tidak lebih baik Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden saja (?) Dekrit adalah pengambilan suatu keputusan didalam bentuk pernyataan dalam situasi yang genting oleh pemegang kekuasaan dan mendapat legalitas berdasarkan undang-undang. Apakah memungkinkan Dekrit Presiden dikeluarkan terkait polemik UU Pilkada? Sebab syarat bisa dikeluarkannya Dekrit Presiden adalah: Munculnya kemacetan dalam pemerintahan (staknasi) dalam situasi yang genting munculnya suatu ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintahan Tergantung pada situasi politik, sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan yang perlu penataan. Sementara keberadaan Negara tidak mengalami goncangan politik ditataran masyarakat bawah. Padahal syarat “kegentingan yang memaksa” sebagaimana diamanahkan UUD 45 yang dijadikan tolak ukur anggota DPR yang berakrobat disenayan melainkan situasi sosial, budaya, politik, hukum dan ekonomi. 
Judicial Legislatif 
Judicial Legislatif juga bagian dari mekanisme dalam memperbaiki sebuah UU yang telah berlaku. Prosesnya kurang lebih dengan perubahan melalui mekanisme PERPPU. Kesamaannya adalah terletak pada peta kekuatan politik di senayan sebagai bagian dari eksekutor. Mekanisme judicial legislatif untuk sementara ini hanya sebatas teori sementara dalam tataran implementasi masih jarang diopinikan sebagai bagian dari sebuah solusi dalam memperbaiki hukum yang dianggap bertentangan dengan UU yang lain. Namun dalam kaitan dengan polemik UU Pilkada, judicial legislatif lebih memberi kepastian hukum sekalipun prosesnya memerlukan waktu dan tenaga. Ketepatan ini dikarenakan UU Pilkada secara substantif tidak bertentangan dengan UUD 45 Pasal 18 ayat (4) sehingga secara tidak langsung Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang untuk menanganinya. Keberadaannya ini sangat tegas disebutkan di dalam UU MK Pasal 10 ayat (1) huruf (a). Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu, kendati UU Pilkada sudah disahkan dalam sidang paripurna DPR, akan tetapi eksistensinya masih belum dapat di implementasikan. Hal tersebut dikarenakan UU Pilkada tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan juga dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang lebih bersifat sepesialis. Didalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah Pasal 24 ayat (5) disebutkan bahwa: Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan. Bila dilihat pertentanagn dua norma dalam UU yang berbeda, semakin memperkuat tiadanya hak dan wewenang secara hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk menanganinya. Kemudian, dalam segi norma, UU Pilkada tidak memenuhi asas kepastian Hukum sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 Pasal 5 huruf (a) kejelasan tujuan dan hurup (d) dapat dilaksanakan dan Pasal 6 ayat 1 huruf (i) ketertiban dan kepastian hukum;. Tiadanyan kesinkronan antara UU yang memiliki keterkaitan menunjukkan bahwa UU no. 22 tahun 2014 tentang Pilkada tidak dapat dilaksanakan karena tiadanya tujuan yang jelas, ketertiban dan kepastian hukum. Menurut penulis, kepastian hukum sebagaimana disebutkan dalam UU no. 10 tahun 2004 Pasal 5 huruf (i) berkaitan dengan masalah pertentangan norma yang terkadung dalam UU no. 22 tahun 2014 tentang Pilkada, khususnya tentang system pemilihan kepala daerah sehingga kandungan norma yang ada tidak memiliki daya mengikat. Oleh sebab itu, UU Pilkada ibaratkan macan ompong yang tidak memiliki kekuatan apapun sehingga tidak perlu dijadikan suatu kegaduhan hukum. 
Penutup 
Pasca penetapan RUU Pilkada sebagai UU, pro dan kontra terus menggelinding, kendati belum sampai kepada situasi “kegentingan yang memaksa”, penetapan UU Pilkada terkesan tergesa-gesa dan dipaksakan sehingga kurang menyentuh terhadap substansinya. Artinya, DPR yang baru dilantuk harus lebih peka terhadap aspirasi masyarakat banyak. Oleh sebab itu, penulis berpendapat, dalam menyimak polemik UU Pilkada solusi politik dan hukum yang paling elegan adalah dengan cara judicial legislatif. Mengapa harus judicial legislatif? Proses judicial legislatif diyakini oleh penulis sebagai solusi yang memberikan peluang untuk saling menghargai karena tahapan dan proses yang akan dilakukan dapat mengakomodasi unsur kepentingan Koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat yang berorientasi terhadap kemaslahatan bangsa dan negara. Memang solusi judicial legislatif membutuhkan waktu yang cukup dan memangharus demikian. Karena untuk menata tatanan demokrasi ini ke arah yang terbaik tidak bisa dengan cara-cara instan seperti adanya PERPPU terkecuali keadaan yang genting sebagaimana diamanatkan oleh UUD 45. Untuk itu dalam sila ke 4 Pancasila permasalahan yang ada sebisa mungkin dapat diselesaikan dengan musyawaroh mufakat sebagai wujud karakter asli bangsa ini. 
Doc. 02/09/2014. http://saburmh.blogspot.com

Tidak ada komentar: